24.8 C
Yogyakarta
Monday, December 23, 2024
spot_img

Mahasiswa vs Artificial Intelligence: Sebuah Keresahan Tentang Pergolakan Kreativitas

Artificial Intelligence mulanya ada untuk mempermudah dan membantu pekerjaan manusia. Namun, secara tidak sadar Artificial Intelligence justru telah menggeser eksistensi kemanusian itu sendiri dari masa ke masa.

Algoritma komputer dan kecerdasan buatan telah mengubah hidup kita. Kecerdasan buatan dalam kehidupan sehari-hari telah banyak membantu kita dalam hal memilih atau mengambil keputusan. Baik dalam aspek menonton video, baca buku, mendengar musik hingga mencari jawaban yang kita tidak ketahui.

How to Stay Smart In a Smart World, sebuah buku karya seorang psikolog dan saintis, bernama Gerd Gigerenzer. Dalam bukunya itu, Gigerenzer mengupas bagaimana algoritma AI, kecerdasan non-manusia bakal ikut membentuk dan menentukan masa depan dunia.

Kecerdasan buatan, Gigerenzer menyebutnya sebagai kalkulator yang semakin pintar menyelesaikan perhitungan dan persamaan yang semakin kompleks. Secanggih apapun, kinerja AI adalah mesin perhitungan. Kenyataannya, AI kini bisa menyusun tulisan, membuat rancangan desain, membuat foto atau video, melukis, dan memenuhi permintaan manusia.

Perseteruan Kreativitas dan Nalar Kritis Mahasiswa VS Kecerdasan Buatan (Artificial Intelligence)

Pada tahun 2015, kecerdasan buatan (Artificial Intelligence) mulai mampu membuat suatu karya seni berbasis gambar dan ilustrasi. Hal ini kita cukup memberi perintah melalui teks atau beberapa kalimat pendek. Maka, Secepat pula, kualitas kemampuan chatbot AI akan menghasilkan karya seni yang sangat bagus.

Sedangkan pada Tahun 2022 lahir sejumlah aplikasi Artificial Intelligence, platform AI art generators  seperti Dall.E-2, Craiyon, MyHeritage’s, Midjourney, adalah beberapa contoh mesin pelukis yang populer. Dengan hadirnya berbagai platform mesin pelukis itu, membuat ilustrasi atau melukis menjadi semudah menulis kalimat yang kita inginkan. Sungguh miris, kini siapapun bisa menjadi ‘pelukis berbakat’. Tidak lagi milik spesifik segelintir pelukis betulan. Kecerdasan buatan telah memasuki wilayah kreativitas yang semula hanya sebagai kemampuan manusia.

Situasi ini justru menimbulkan kekhawatiran, amarah, dan perdebatan yang tak pernah selesai di kalangan mahasiswa; utamanya bidang kesenian. Setelah penyair, cerpenis, esais, dan novelis merasa tersaingi dengan platfom seperti ChatGPT, kini seluruh kalangan mahasiswa kesenian bertanya-tanya soal keberlangsungan nasib ‘profesinya’ beberapa tahun yang akan datang.

Sementara mahasiswa yang lain, ikut terjebak pada kenyaman yang telah disediakan oleh kecerdasan buatan (Artificial Intelligence). Membuat makalah, jurnal, skripsi dan berbagai tugas dari dosen, kini hanya perlu meminta bantuan ‘tuhan’ AI. Tak dapat dipungkiri kalangan mahasiswa akan kehilangan ketajaman intelektualnya ataupun nalar kritisnya.

Kekhawatiran itu beralasan. Kecerdasan buatan (Artificial Intelligence) mengambil-alih kerja, kretivitas dan nalar kritis manusia. Mungkinkah nalar kritis mahasiswa di lingkungan akademik di bajak oleh teknologi kecerdasan manusia? Bagaimana nasib manusia kreatif dan masa depan kreativitas, ketika AI semakin mendominasi? AI telah menjelma berbagai kekhawatiraan yang akan membunuh eksistensi manusia.

Kekhawatiran terhadap ancaman teknologi atau kecerdasan buatan, ada suatu reaksi dan respon yang sering di utarakan melalui kisah novel, atau sains-fiksi. Dari novel Frankenstein, sampai dongeng Prometheus, hingga film Terminator, telah menggambarkan ancaman yang sangat luar biasa kecerdasan buatan pada keberlangsungan hidup manusia.

Dalam film Terminator AI berjejaring Skynet berniat menumpas manusia. Kecerdasan buatan menjadi “mimpi buruk”, alih-alih sekedar mempermudah dan membantu, justru berpotensi melumpuhkan manusia.

Penulis menganggap bahwa manusia saat ini bukan lagi cuma dari narasi kisah fiksi. Seorang sejarawan, Yuval Noah Harari dalam bukunya Homo Sapiens “dalam satu atau dua abad mendatang manusia akan lenyap, bumi akan didominasi atau entitas cerdas baru.” Mungkinkah akan terjadi “ledakan kecerdasan?” Ray Kurzweil dalam bukunya “The Singularity is Near” memprediksi mesin cerdas manusia Artificial General Intelligence (AGI) akan terwujud pada tahun 2029 dan mendorong level AGI bertambah pesat menjadi Artificial Super-Intelligence (ASI) terealisasi pada tahun 2045.

Masa depan kemanusiaan sebenarnya berada di tangan manusia sendiri. Berpulang pada kemampuan manusia untuk mencari solusi atas masalah yang dibuatnya. Terserah manusia akan berseteru bahu membahu bekerja sama dengan AI untuk mengoptimalkan kreativitas dan nalar kritis yang dibangun mahasiswa.

Evolusi kecerdasan buatan akan terus berlanjut, dan tak bisa ditolak atau dihentikan. Kretivitas dan nalar kritis manusia secara umum harus ditingkatkan untuk memastikan masa depan sepenuhnya berada dalam genggaman kemanusiaan.

Related Articles

Stay Connected

- Advertisement -spot_img

Artikel Terbaru