Malam begitu tenang. Alunan musik mengalun merdu. Ketenangan yang selalu membawa ke dalam rangkaian imajinasi liar di dalam otak, mencairkan kumpulan es yang menggeliat di urat syaraf Mak Pengok. Mak Pengok selalu sendiri membui di dalam angket di perabotan rumah, manakala tidak merasakan asupan batin seperti sedia kala.
Matahari selalu terbenam begitu cepatnya, disusul dengan bulan yang malu akan nasibnya yang disaingi oleh gemintang. Mak Pengok merenung dengan tujuan yang tidak berujung. Selalu mengikuti alur sungai dengan segala kondisi yang tidak menentu. Mak Pengok egois dengan kemampuannya melintasi pusaran air yang dikerumuni buaya buas. Merasa pemilik dari negeri sukma asli, tidak butuh asupan masukan dari orang lain.
Mak Pengok keturunan berada yang bergelimang harta dari petinggi negeri Sukma. Dengan keahlian warisan khusus, seolah Mak Pengok memiliki kekuasaan di antara domba yang diasuhnya menyimpangkan rasa empati manusia dan menggantikannya dengan arogansi yang terpampang tamak memakannya. Semua itu serasa timpang balik dengan kawan baiknya Kohwah.
Petakan pohon tersusun rapi dari jalan utara sampai ke timur, diiringi puluhan tanah liat yang menutupi gerombolan pakaian, jajan, sepatu, alat dapur, dan lain sebagainya. Kohwah sang pemilik, merupakan saudagar kaya asal Bukit Lintung. Ia senantiasa duduk di atas kumpulan pohon sukma. Sedari 6 kalender, Mak Pengok ikut gendongannya di tanah Sukma.
Waktu menunjukkan gambaran orang dalam posisi Ruku’, membuat badan Mak Pengok tergerak mencari butiran gula yang dikerubungi oleh semut merah, berangkat menuju tempatnya Kohwah. Setibanya di sana, Mak Pengok langsung melakukan ritual kebiasaannya; ngopi ringan di toko Kohwah.
Tiba- tiba suara dari arah timur tenggara menyengat telinga Mak Pengok, mengayunkan panggilan agar segera datang menemuinya. Mak Pengok berayun dari posisi jongkok, merangkak ke depan untuk segera berdiri dan menemui Kohwah.
“Apa?” Serunya dengan suara gelagapan seperti ingin mengeluarkan taji.
“Jadi begini, ruko ini mau aku jual ke orang. Nah, kamu nanti enggak bisa ketemu sama aku lagi sepertinya,” ujar Kohwah dengan senyuman seolah menyambut Mak Pengok dengan ramah.
“Oh begitu…, emang kenapa rukonya mau dilepas?” Tanya Mak Pengok dengan lantang.
“Enggak apa-apa, aku lagi sakit, jadi butuh uang untuk berobat,” sambil mengelus dadanya dengan satu tangan. Kohwah sakit sudah lama, 20 kalender tercetak dilalui olehnya. Ia menahan perih jantung yang selalu membayang arah terpejamnya mata. Beribu pengobatan telah dicoba, namun memang nasib berkata lain.
Tak lama kemudian, datanglah seseorang dengan jas rapi menghampiri Mak Pengok sambil tersenyum kecil kepadanya. Memperkenalkan diri dia di depan mata egois Mak Pengok, gigi melingkar menyerupai eceng gondok sambil mengucap “Santo”. Balasan yang diharapkan tidak semestinya terurai dari mulut pemilik negeri Sukma ini, yang sedari tadi melirik Santo, tanpa membalas sapaannya.
Sahut Kohwah melingkari perkenalan mereka “Mak Pengok namanya, dia temanku di sini”. Santo tersenyum melihat Kohwah dan mengajak Kohwah dengan kode pengusaha seperti biasanya. Pergi meninggalkan Mak pengok yang menatap tidak suka kepada Santo.
Tiga kalender berlalu degan cepatnya. Sekarang di setiap tepi jalan memang terdapat banyak sekali ruko-ruko milik orang bukit lintung, tidak tahu pasti apa yang menyebabkan semua itu terjadi. Dan banyak orang yang mengatakan kalau orang dari bukit lintung merupakan raja pedagang. Tidak tahu sampai mana ujungnya, yang selalu menganggap bahwa semua tangan negeri Sukma telah teratur semua dalam rekayasa dogma untuk memperkuat ikhtiar. Simbiosis seperti apa pun tak pernah tahu akan sampai mana ujungnya.
Di pinggir ruko kediamannya, dari sebuah mobil hitam muncullah sesosok pria dengan jas dengan balutan penak pernik. Ia menjinjing kresek hitam yang seakan jadi tameng bagi gedung gedung yang ia miliki. Seluruh perempuan mestinya akan tunduk dengan lirikan dan lambaian tangannya. Ia sekarang telah menjadi bos besar, sang pemilik ruko di tepian jalan Negeri Sukma.
Mendadak sebuah ambulan datang dengan ngebut, melewati sekumpulan mobil. Mobil tersebut melintasi setiap orang di pinggir jalan. Tidak lama usai hilangnya jejak sang pembunyi alarm darurat itu, banyak sekali orang dari berbagai sudut tepi jalan Negeri Sukma berkumpul untuk melihat siapa yang menjadi pusat perhatian sampai sejauh ini.
Mak Pengok menengok ke bapak tua yang umurnya kira-kira hampir sama dengan tahun rilis motor usang miliknya. Mak Pengok seraya mendayukan bibirnya bertanya mengenai apa yang terjadi.
“Kenapa mereka ke rumah sakit ramai-ramai, memang di sana ada pembagian sembako?” Tanya Mak pengok sambil melipatkan kedua kakinya dengan santai duduk di samping kakek itu.
“Oh, itu pemilik baru dari kios kita ini, kayaknya lagi bagi bagi kartu sehat,” jawab kakek itu sambil terbatuk dan melingkarkan jari ke mulutnya. “Dulu nak, aku kira ngikutin orang bukit lintung itu enak, eh ternyata memang tidak, lah wong aku sudah 30 tahun kerja di tempat ini. Baru tahun-tahun ini lho yang enak”.
Tersentuh hati Mak Pengok mendengar perkataan kakek tua karatan yang tinggal menunggu pohon rindang mengambil jiwanya. Dengan dipukulnya pekong si pemimpin Negeri Sukma ini, mendadak ia berubah.
Mendengarkan kakek tadi, hati Mak Pengok tergetar untuk melihat kejadian di rumah sakit itu. Mendadak badannya terangkat ke atas dan meninggalkan si kakek dengan senyumannya.
Langkah kaki Mak Pengok menyeberang ke tepi jalan tepat di depan rukonya. Ia heran mengenai sosok santo yang seolah berubah menjadi superman di tengah kerumunan zombie liar. Di sudut ruangan rumah sakit itu, banyak sekali kerumunan orang-orang, bak kupu kupu ditaman bunga. Mereka mengambil hal yang bisa dimanfaatkan untuk dijadikan puing penghasilan ataupun makanan.
Matanya disiram oleh pemandangan Santo yang membagikan obat herbal secara gratis kepada setiap sudut orang yang ada di ruangan itu. Seakan semua orang melihat mutiara di antara serpihan jerami yang menumpuk. Mak pengok dengan sedikit perubahan gejolak perasaan di hatinya, pun menjadi tercengang.
Hari demi hari terasa tampak sepi. Segerombolan burung yang mengicau seakan tidak tampak, seolah berlalu meninggalkan kebiasaannya. Pahlawan yang tidak nampak lagi batang hidungnya meredupkan suasana dari sang cakrawala. Santo tergeletak jatuh sakit seperti yang dialami Kohwah serasa meng-copy kejadian keramat mantan pemilik ruko itu.
Dulu kala, tepatnya lima puluh enam kalender silam, terjadi penggerusan massal di tempat berdirinya ruko-ruko di situ, banyak kutukan yang terlontar dari para mangsa kepuasan rohani Negeri Sukma kepada setiap pemilik ruko yang meneruskan.
Seakan-akan kutukan itu masih menyelimuti toko tua tersebut. Sehingga Santo terkena dampaknya. Beribu kali dia berobat ke sana kemari layaknya televisi yang di kontrol oleh remote, tidak mengenal seberapa besar biaya yang dipakai.
Melihat ada yang kurang dengan hari biasanya, Mak Pengok datang ke kakek tua yang kemarin ia tanyai mengenai Santo. Serasa seperti menjemput cewe yang bereuforia ingin dinner, kakek itu seperti menyadari kedatangan Mak Pengok. Dan semua yang digelisahkan terbaca secara langsung dengan ringkas di benaknya, menjawab semua tanya yang terlontar dari Mak Pengok yang melibatkan kutukan dari warga Sukma kala itu. Sedang penawar dari penyakit itu sendiri merupakan kamboja berbau melati yang diwariskan secara turun temurun dan hanya dimiliki olehnya sendiri.
Mendengar ucapan kakek itu, dengan lekas Mak Pengok mengambil kendaraannya serta bergegas mendapati obat yang ada di rumahnya. Ia lalu berangkat ke tempat Santo untuk menyembuhkan penyakitnya. Dengan kemampuan khusus dan obat penawar, Santo pun terselamatkan dari penyakit yang menghantuinya.
Keesokannya dengan penuh rendah hati, Santo datang menemui Mak Pengok untuk berterima kasih. Santo menawarkan sebagian rukonya untuk diambil kuasanya oleh Mak Pengok. Terkaget bukan kepalang sosok yang besar ini. Ia tak tanggung-tanggung meluapkan rasa terima kasih, menjadikan kesadaran arogansi Mak Pengok menjadi hilang melebur seperti pohon yang tersambar petir. Nyatanya berkah yang dimiliki secara personal haruslah disebarluaskan.
Kohwah berada di pojokan sambil bertepuk tangan sambil menyunggingkan senyum yang membingungkan. Dia adalah dalang dari semua skenario ruko ini. Tidak lain adalah untuk meredam arogansi teman baiknya, Mak Pengok. ”Obat kesadaran sukses,” dia berkata dengan penuh keberhasilan.