“Tidak boleh dibunuh sekalipun itu orang jahat,
tidak boleh diperkosa sekalipun itu kuda.” –Am Siki
Novel Orang-Orang Oetimu adalah salah satu dari beberapa karya terbaik Felix K. Nesi, seorang alumnus SMA Seminari Lalian juga Fakultas Psikologi Universitas Merdeka Malang. Novel terbitan Marjin Kiri dengan tebal 220 halaman ini, mendapatkan penghargaan sebagai pemenang I seyembara novel Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) 2018.
Sesuai dengan judulnya, novel Orang-Orang Oetimu mengangkat latar tempat di Oetimu, sebuah wilayah pelosok di Nusa Tenggara Timur, dengan latar waktu tahun 1990-an dan latar sosial kehidupan masyarakat juga realita sosial yang ada setelah masa kolonial dan saat masa orde baru. Satu hal yang unik dan menarik dalam novel ini adalah pengemas satire dan kritik sosial yang sangat tajam dengan bahasa yang mampu membuat pembaca terhayut dalam alur ceritanya.
Pada bagian awal novel, kita disuguhkan kehebohan warga Oetimu saat persiapan menonton final piala dunia antara Prancis melawan Brazil. Di tahun 90-an sangat sedikit orang yang memiliki televisi, begitu pula di Oetimu, hanya tiga orang yang memiliki televisi di sana salah satunya adalah Sersan Ipi, seorang polisi yang merupakan cucu dari Am Siki, tokoh yang dihormati sebagai pahlawan di Oetimu.
Sersan Ipi di kenal oleh masyarakat Oetimu sebagai seorang aparat yang seringkali semena-mena dalam menjalankan tugasnya. Ia sering menggunakan kekerasan seperti memukul bahkan memeras orang-orang yang ia anggap melakukan sebuah kesalahan. Privilege-nya sebagai cucu Am Siki membuat orang yang seringkali menjadi korban kekerasaannya tidak berani melawannya. Hingga pada malam itu Sersan Ipi mengundang seluruh warga untuk datang “nobar” piala dunia juga berpesta dengan berbagai olahan daging, bir, dan sopi di pos polisinya. Orang-orang heran atas ketidakbiasaan Sersan Ipi, sekaligus merasa senang atas undangan itu. Tentunya Sersan Ipi memiliki maksud dan tujuan tertentu dalam hal ini.
Di bagian cerita yang lain, ada satu paragraf yang sangat menggambarkan realita sosial saat ini. “Lama-kelamaan mereka benar-benar berhenti bersekolah. Yang perempuan menjadi pelacur usia dini dan yang laki-laki bekerja penuh waktu sebagai pencari pakan untuk sapi dikarantina. Mereka harus menerima kenyataan, bahwa untuk menjadi cerdas, mereka membutuhkan uang. Sopir angkot hanya mau mengantar ke seolah bisa dikasih uang. Guru-guru pun hanya mau mengajar bila dikasih uang. Namun uang tidak gampang dicari. Hanya daun yang gampang dicari. Dan hanya sapi, di kandang karantina itu yang mau dikasih daun.”. Ini adalah realita yang sedang terjadi saat ini, di mana pendidikan yang berkualitas seringkali hanya bisa didapatkan oleh orang-orang yang memiliki kemampuan lebih dalam hal finansial.
Di bagian lainnya, melalui karakter Muder Teresa digambarkan bagaimana perilaku politikus yang memanfaatkan kesenjangan sosial untuk mencitrakan diri sebagai “pahlawan” bagi orang-orang miskin dengan sengaja mengajak media untuk menyoroti dan memberitakan apa yang ia lakukan, yang kemudian menjadikannya sebagai bahan pencitraan untuk mendapatkan suara dan memperoleh sebuah jabatan di lembaga pemerintahan.
Di bagian yang lain, ada satu adegan yang menggambarkan bagaimana tentara sebagai aparat negara berlindung di balik alasan “Kecintaannya terhadap Negara” untuk menutupi tindakan-tindakan buruk yang mereka lakukan. Pada bagian ini ada kutipan yang sangat bagus kiranya untuk dikutip,
“Kesatuan negara? Kesatuan negara yang mana? Yang harga mati itu? Yang harga mati itu kemanusiaan! Yang harga mati itu keluarga saya, Keparat Tolol! Enyah kau dari hadapan suami dan anak saya. Sangkamu kesatuan negara lebih penting daripada… Puih! Anjing!”
Masih banyak lagi adegan-adegan yang sarat akan kritik sosial di dalamnya, seperti adegan-adegan yang berkaitan dengan seks, institusi gereja, dan lain sebagainya yang sengaja tidak ditulis dalam resensi ini.
Secara garis besar, novel ini adalah sebuah novel yang bagus dan dapat dikategorikan sebagai novel bergenre etnografis karena selain mengangkat berbagai persoalan sosial di suatu wilayah, Felix K. Nesi juga mewarnainya dengan berbagai cerita-cerita legenda, mitos-mitos, dan berbagai istilah-istilah lokal di dalamnya. Meski demikian, ada satu kekurangan di dalam novel ini, yakni banyaknya tokoh-tokoh yang membuat pembaca awal akan merasa sedikit kebingungan dalam memahami alur ceritanya. Tetapi itu hanya sedikit kekurangan di balik sekian banyak kelebihan yang ada.
Di sisi lain, meskipun setiap adegan yang ada di dalam novel ini fiksi, Felix K. Nesi dalam sebuah liputan berkata dengan terus terang bahwa ia melakukan riset dengan sangat dalam. Bahkan kasus-kasus yang di dalam novel ini, seperti hal-hal yang berkaitan dengan gereja, polisi, tentara, juga negara adalah hal yang ia lihat dari realita sosial yang terjadi di sekitarnya. Dalam liputan tersebut Felix mengatakan, “Banyak sekali hal-hal yang di novel itu sebenarnya saya ambil dari obrolan-obrolan lepas”, kemudian ia menambahkan, “Saya membaca laporan untuk menuliskan novel ini, dan saya harus membaca laporan kekerasan di Timor Leste”.
Sebagai penutup, novel ini sangat direkomendasikan sebagai salah satu bacaan reflektif, dan sebagai bentuk apresiasi kiranya tidak berlebihan jika novel Orang-Orang Oetimu ini menjadi novel etnografis yang patut diacungi dua jempol.
Tulisan ini pernah tayang di buletin Ushuliyyah edisi 27 dalam rubrik Resensi Buku.