Revolusi sosial adalah satu tema besar yang diusung oleh Nabi Muhammad SAW, ketika diutus ke tengah-tengah masyarakat Arab. Arab ketika itu terbilang sebagai peradaban yang tertinggal khususnya dalam hal moralitas. Ia tenggelam di antara kemasyhuran peradaban Romawi dan Persia yang secara teritorial mengapitnya.
Usia risalah Muhammad memang hanya berkisar 23 tahun. Namun dalam kurun waktu yang terbilang singkat itu, revolusi sosial yang ia usung dapat menciptakan suatu peradaban yang besar dan bahkan pernah menjadi paling maju di muka bumi.
Eksploitasi terhadap manusia dan ketimpangan ekonomi ialah beberapa di antara permasalahan paling besar yang berkembang pada kalangan masyarakat Arab kala itu. Risalah Islam yang dibawanya memberikan pelbagai ajaran-ajaran yang secara Zahir hanya berisi larangan dan perintah. Namun, sejatinya perintah dan larangan tersebut membawa nilai-nilai yang sangat berimplikasi besar bagi permasalahan sosial di masyarakat.
Dalam ajaran Islam, kita mengenal Puasa dan Zakat sebagai 2 pilar utama yang menunjang keberislaman seseorang. Dua hal ini termasuk dalam rukun Islam yang secara hierarki berurutan dan umumnya diadakan pada waktu yang bersamaan, yakni pada Bulan Ramadhan.
Bila ditelisik lebih lanjut, kita akan menemukan bagaimana Puasa dan Zakat sebagai dua hal yang termasuk pokok ajaran Islam, memiliki dampak yang sangat besar dalam mengentaskan permasalahan sosial di masyarakat, khususnya dalam permasalahan ekonomi.
Puasa secara makna leksikal sepada dengan kata menahan. Umumnya, menahan di sini dipahami sebagai menahan diri dari makan dan minum. Padahal, makna menahan tersebut punya konotasi yang lebih luas. Ia berkaitan dengan bagaimana seorang yang melaksanakan puasa, dapat mendidik dirinya untuk mengendalikan nafsu biologisnya. Ketika nafsu biologis tersebut tidak dapat dikendalikan, ia akan dapat memunculkan kerusakan-kerusakan pada jiwa atau tubuh seseorang dan bahkan akan berdampak bagi lingkungan sosialnya.
Mungkin hal ini terkesan dilebih-lebihkan, tetapi kita tidak dapat menyangkal bagaimana pola konsumtif seseorang pada akhirnya akan dapat menciptakan problem sosial. Pola konsumsi yang berlebihan dapat melemahkan rasa kepedulian seseorang terhadap lingkungannya dan lalu berimplikasi kepada kesenjangan sosial dalam masyarakat.
Perihal kesenjangan sosial, adalah suatu permasalahan yang tak menemui titik terangnya di Indonesia. Kita melihat begitu banyak tuna wisma dengan berbagai macam bentuk dan motif di jalanan. Namun, di jalanan yang sama kita kemudian melihat betapa kendaraan-kendaraan pribadi dengan harga selangit melalu-lalang.
Kita masih sangat menyayangkan tragedi yang terjadi beberapa waktu lalu, bagaimana seorang remaja belasan tahun dengan bernas menyiksa seorang anak sambil memamerkan mobil mewah milik ayahnya, yang seharusnya belum boleh ia kendarai. Remaja ini ialah putra dari pejabat perpajakan di Indonesia, yang terindikasi memiliki total kekayaan yang tidak wajar.
Namun, kita tidak berfokus dari mana pejabat pajak itu menuai kekayaan tersebut. Yang lebih mengherankan ialah, bagaimana seroang remaja belasan tahun telah memiliki sifat arogansi atas kekayaan yang seharusnya tidak pantas ditunjukkan bahkan oleh seorang presiden pun.
Ini menjadi suatu persoalan besar yang perlu kita cari akar permasalahannya.
***
Bulan Ramadhan sebagai salah satu bulan paling suci dalam ajaran umat Islam, membawa nilai-nilai yang dapat menjawab berbagai persoalan ini. Namun sangat disayangkan sebenarnya, banyak orang Islam yang kemudian tidak dapat menangkap makna filosofis di balik hadirnya Bulan Ramadhan. Umat Islam, di Indonesia khususnya, malah salah menangkap poin-poin penting dalam bulan Ramadhan.
Telah disebutklan sebelumnya, bahwa puasa memiliki makna menahan. Yakni menahan diri dari berbagai syahwat-syahwat biologis yang dapat membatalkan puasa, dengan tujuan membentuk kemampuan pengendalian atas diri sendiri. Namun, ketika Ramadhan datang, kita malah melihat bagaimana pola konsumsi masyarakat meningkat. Seseorang yang berpuasa boleh jadi menahan dirinya utnuk tidak makan dan minum dari sejak terbitnya fajar hingga terbenamnya matahari. Namun, ketika waktu berbuka tiba, ia membalas puasanya tersebut dengan makan dan minum secara berlebihan bahkan lebih daripada saat ia tidak melakukan puasa.
Hal yang sama juga terjadi pada persolan zakat. Para pembayar zakat, atau yang kemudian disebut sebagai Muzakki, memandang bahwa zakat hanyalah urusan menyalurkan harta yang dimiliki kepada mereka yang membutuhkan. Bahwa semata-mata ini dilakukan hanya berdasarkan kewajiban bagi seorang muslim, tanpa melihat nilai-nilai inti dari syariat tersebut.
Zakat sejatinya sarat akan nilai-nilai filantropis. Yakni upaya menumbuhkan rasa cinta kepada sesama manusia. Bahwa seseorang Muzakki memiliki rasa tanggung jawab sosial berupa pemberian harta kepada kaum-kaum yang membutuhkan. Adanya dibalik ini, seharusnya akan dapat menumbuhkan rasa cinta antara sesame manusia.
Zakat jika ditinjau dari sisi ekonomi, pada dasarnya dapat menjadi solusi yang efektif bagi penditribusian kekayaan dan pemerataan ekonomi. Orang-orang yang harga kekayaannya telah mencapa nisab tertentu, diwajibkan untuk mengeluarkan zakat dan disalurkan kepada masyarakat miskin yang membutuhkan.
***
Makna-makna filosofis ini adalah yang seharusnya oleh umat Islam dapat ditangkap. Agar ibadah-ibadah yang dijalankan bukan hanya berorientasi untuk menuai kenikmatan-kenikmatan ukhrawi, namun bisa membawa perubahan-perubahan dalam kehidupan manusia sebagaimana revolusi sosial yang dibawa oleh Nabi Muhammad.
Tulisan ini pernah tayang di buletin Ushuliyyah edisi 28 dalam rubrik Editorial.