Politik identitas menjadi suatu isu yang kian panas hari ini. Terlebih Indonesia kini sedang dalam perjalanan menuju pesta demokrasi 2024. Selain panas, isu ini juga terkesan dipanas-panasi. Pasalnya, banyak orang dari kalangan tertentu memanfaatkan identitasnya untuk mendulang suara dan elektabilitas. Tidak salah kemudian Muhidin M Dahlan, dalam suatu tulisannya yang diangkat oleh Mojok, mencaci maki dan mem-pukimak-kan politik identitas menuju tahun pemilu 2024. Sastrawan sekaligus pendiri majalah Tempo, Goenawan Mohamad dalam satu tweet-nya menyebut bahwa bau busuk 2024 sudah tercium dari hari ini.
Memang benar, politik identitas sangatlah berbahaya. Indonesia sebagai negara yang plural acap kali berada pada tepi jurang perpecahan. Pada 2019 lalu, kita meyaksikan bagaimana kasus penghinaan kepada etnis Papua di Surabaya, dapat menyulut api perpecahan yang sangat besar. Semangat referendum Papua bahkan semakin berkobar. Untungnya hal tersebut dapat diredam sekalipun meninggalkan bekas konflik identitas dan SARA yang mendalam.
Islam sebagai agama yang mendominasi di negara yang kaya akan kemajemukan ini, menjadi salah satu golongan utama yang terdampak politik identitas tersebut. Suara politik umat Islam kemudian dapat dengan mudah ‘digoreng’ oleh mereka yang berkepentingan khusus. Kita yang muak dengan situasi sepeti ini menyayangkan bilamana pakaian keislaman secara praktis digunakan untuk memuaskan hasrat politik pribadi atau golongan tertentu. Kondisi seperti ini pulalah yang agaknya menginisiasi Nurcholish Madjid mengangkat suatu tulisan bertajuk Islam Yes, Partai Islam No dan sempat panas beberapa dekade lalu.
Tak hanya sampai di situ, dalam internal umat Islam sendiri perpecahan juga terjadi dan bahkan persoalannya lebih kompleks. Di Indonesia sendiri kita tidak dapat mengotakkan dalam suatu golongan tertentu. Ada berbagai macam gologan penganut Islam yang terdiri dari mazhab, organisasi masyarakat, ideologi, dan haluan politik yang berbeda. Sehingga api perpecahan dalam umat Islam sendiri juga sangat gampang disulut.
Mengherankan sebenarnya, melihat bagaimana 77 tahun lalu, para pejuang kemerdekaan Indonesia dapat membentuk suatu negara dengan kemajemukan sebagai identitasnya, namun perihal konflik dan perbedaan hari ini tetap tidak selesai. Seakan-akan kemajemukan dan keberagaman tersebut hanyalah prestasi yang bernilai kosong.
Ini merupakan permasalahan yang pelik. Khususnya dalam persoalan identitas dan haluan politik umat Islam. Namun disini kita dapat satu garis besar bahwa hal ini pada dasarnya terjadi oleh karena sikap fanatisme terhadap golongan. Rasa kebanggaan atas identitas tertentu yang kemudian menciptakan orang-orang fanatik dan sangat temperamen bila mana golongan atau kelompoknya diusik.
Bila meninjau permasalahan ini secara lebih mendalam, kita dapat menemukan bahwa akar persoalan pada dasarnya terdapat pada sikap bertaklid buta umat Islam hari ini. Sebenarnya, permasalahan ini telah lama diwanti-wanti oleh kalangan ulama dan pemikir Islam sebelumnya, bahwa ia dapat menciptakan kemudaratan yang besar dalam internal umat Islam.
Dalam hal ini, kita tidak berupaya untuk membongkar seluk beluk penggunaan identitas-identitas tertentu khususnya Islam sebagai senjata elektabilitas menuju tahun politik 2024. Namun, lebih kepada bagaimana taklid buta dan pengaruhnya terhadap sikap fanatisme suatu kelompok yang berpotensi memecah belah umat Islam, sebagai warga bernegara.
Persoalan Taklid Buta
Secara garis besar, taklid adalah mengikuti dan menerima sesuatu dari orang lain, tanpa memiliki dasar pengetahuan dan sumber atas apa yang orang tersebut sampaikan. Biasanya sikap ini didasari oleh rasa penghormatan atau kepercayaan berlebih kepada seseorang atau golongan yang dirasa telah memiliki otoritas dan kualitas, sehingga apa pun yang berasal darinya dianggap benar.
Persoalan taklid sebenarnya telah lama mengudang banyak perdebatan ulama mengenai hukumnya. Sebagian Ulama mengatakan bahwa ia adalah sikap yang sebaiknya dijauhi dan dihindari. Beberapa ulama lainnya menghalalkannya dengan beberapa syarat tertentu dan ada pula yang dengan keras mengharamkan sikap taklid tersebut.
Terlepas dari perdebatan mengenai halam-haramnya, seluruh ulama sepakat bahwa taklid membawa dampak buruk. Bagi seseorang yang bertaklid dalam urusan peribadatannya, akan menghilangkan esensi dan nilai peribadatan itu sendiri. Pasalnya, ia melakukan ibadah tersebut hanya didasari oleh karena orang lain melakukan hal tersebut. Ia bahkan tidak paham apa dan mengapa ia harus melaksanakan peribadatan tersebut.
Ini dapat kita lihat bagaimana dua organisasi masyarakat Islam terbesar di Indonesia saling bersinggungan perihal tata cara melaksanakan salat. Anehnya, dua ormas ini bahkan berubah fungsi menjadi semacam mazhab dalam beribadah. Persoalan satu gerakan saja, sebagian kecil kemudian menganggapnya sebagai kesesatan. Lucunya, ketika orang tersebut ditanyai mengapa ia melaksanakan ataupun meninggalkan satu gerakan tersebut, ia tidak tahu apa landasan ataupun dalil yang membicarakan mengenainya.
Dalam urusan sosial akan lebih berbahaya lagi. Seseorang yang bertaklid bisa saja melakukan sesuatu yang buruk dan berdampak negatif terhadap kehidupan sosial, hanya karena ikut-ikutan dan tunduk atas perintah orang yang ia hormati. Beruntung jika ia diarahkan kepada hal-hal yang baik. Namun, apa jadinya bila taklid itu malah mengarahkannya kepada hal-hal buruk yang memicu problem di kehidupan sosial.
Sebut saja peristiwa Bom Bali yang meninggalkan bekas mendalam bagi bangsa Indonesia pada tahun 2004 lalu. Mereka yang menjadi pelaku pemboman tersebut, dapat dipastikan adalah korban dari sikap taklid buta ini, yang menelan mentah-mentah dogma dan doktrin pemimpinnya bahwa tindakan tersebut merupakan suatu bentuk Jihad dan perang suci atas nama Tuhan.
Sikap menghormati atau bahkan cenderung mengkultuskan seorang tokoh agama juga merupakan diantara fenomena taklid yang sangat berbahaya. Ini sering kali kita temui dalam kehidupan masyarakat desa yang alam fikirannya masih didominasi oleh cara pandang mitologis. Mereka gampang sekali untuk merujuk berbagai persoalan ke tokoh agama setempat dan menganggap segala titah yang keluar dari mulut tokoh agama tersebut sudah pasti benar.
Walhasil, tokoh agama dalam beberapa kasus dapat menjadi senjata untuk menggiring opini masyarakat demi kepentingan-kepentingan yang kadang kala tak kasat mata.
Ini benar-benar persoalan besar. Penyakit taklid buta ini tidak hanya terdapat pada kalangan awam. Bahkan sekelas mahasiswa yang seharusnya sudah punya suatu sikap kemandirian dalam berpikir juga ikut-ikutan terjangkit penyakit yang merusak ini. Hal ini saya lihat sendiri, di salah satu kampus negeri ternama, bagaimana mahasiswa yang terafiliasi dalam satu organisasi tertentu dapat dengan mudah digiring oleh golongan tertentu untuk melakukan hal-hal yang bersifat destruktif dan tidak mencerminkan sikap intelektual.
Dalam taraf universitas, kita menyaksikan bagaimana kalangan akademisi dan intelektual dapat dengan mudah dihegemoni pikirannya oleh budaya keilmuan barat. Hal ini acap kali kita temui di kampus universitas Islam negeri. Sekalipun tidak sepenuhnya buruk, namun banyak dari budaya barat yang tidak cocok dan sesuai dengan budaya Indonesia. Mereka yang diserang penyakit taklid ini, memandang barat adalah lambang kemajuan dan kemodernan. Sehingga apa pun yang berasal dari barat harus diamini pula.
Lihatlah bagaimana para berbagai aktivis yang mengadopsi konsep-konsep dari barat yang pada dasarnya terkesan terlalu dipaksakan untuk disuarakan di Indonesia. Acap kali para aktivis semacam ini mendiskreditkan agama, terutama Islam yang memiliki penganut terbanyak di negara ini. Mereka menyerang beberapa istilah- dan konsep dalam agama Islam yang menurut mereka bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan. Lebih parah lagi, kelompok-kelompok seperti ini dengan gampang mengobrak-abrik makna esensial dari pada istilah ataupun konsep tersebut dan kemudian mengaitkannya dengan tragedi-tragedi masa lalu, seakan-akan Islamlah yang mengajarkan hal tersebut.
Seharusnya, jika mereka ini mau bersikap adil, mereka tidak akan menerima secara mentah pandangan-pandangan barat mengenai sebuah konsep atau istilah dalam Islam. Namun, berupaya memahami lagi konsep tersebut dengan merujuk ke sumber teks aslinya dan mempelajari apa dan bagaimana sebenarnya konsep atau istilah itu seharusnya dijalankan. Apakah konsep tersebut sesuai dengan yang hari ini dijalankan oleh umat Islam, atau sebenarnya salah dan tidak sesuai konsep aslinya sehingga pada akhirnya memicu berbagai persoalan dalam kehidupan sosial.
Kita menyayangkan hari ini, betapa banyak orang-orang berpengaruh yang kemudian dengan mudah menggiring massa yang awam dan lalu memengaruhi pikiran mereka dengan doktrin-doktrin yang memecah untuk kepentingan pribadi atau golongannya. Sudah jadi maklumat umum, bahwa menjelang tahun pemilu, orang-orang semacam ini muncul ke permukaan dan menyampaikan bualan-bualan kepada masyarakat untuk meraup suara seluas-luasnya. Korbannya ialah orang-orang awam, para muqallid (orang yang bertaklid), yang menerima mentah-mentah apa yang disampaikan kepada mereka.
Situasi ini sangat destruktif bila terus-menerus terjadi dan berkembang biak. Umat akan terpolarisasi dan dengan sangat gampang digembala dan disabung untuk ego dan kepentingan tertentu. Wallahua’lam.
Tulisan ini pernah tayang di buletin Ushuliyyah edisi 27 dalam rubrik opini.