25.4 C
Yogyakarta
Monday, December 23, 2024
spot_img

Dilematisasi dalam Tubuh Komisariat: Refleksi 60 Tahun Himpunan

“Sapere Aude! Kenali zamanmu, Kenali tindakanmu.” (Bukan Medioker)

Minggu, 5 Februari 2023 menjadi momen memperingati hari lahir yang ke-60 tahun, Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Komisariat Ushuluddin dan bertepatan dengan milad HMI yang ke-76 tahun. Peringatan hari milad tersebut mengusung tema “Dies Natalis dan Pentas Seni Kader, Merajut Silaturrahmi, Ushuluddin Untuk Negeri” yang diselenggarakan di Lava Bantal. Jl. Berbah, Prambanan, Jragung, Kalitirto, Kabupaten Sleman, DIY.

Acara tersebut pada dasarnya menjadi penting untuk terus diperingati kembali. Setiap ‘kelahiran dan kesituasian’ dari suatu hal yang tujuan dan tindakannya turut menjaga, melestarikan, membangun, dan memperbaiki dalam sifat alamiahnya dapat menimbulkan fungsi latensi tersendiri apabila tidak ‘diperingati’ ataupun ‘dibicarakan’. Semua rekam rekam jejak itu lambat laun berada dalam fase ‘keterlupaan’. Ketika tidak dibahasakan lagi, HMI akan tertimbun, hilang, dan hanya akan menjadi puing-puing lusuh dari kejayaan masa lalu. Laju HMI dari masa ke masa terus terdesak dan mengalami pasang-surut yang sangat fluktuatif. Jikalau ditelisik lebih lanjut hari ini, HMI masih saja berkutat dalam tempurung kecil yang dirasai cukup nyaman di tengah-tengah disaster dan arus cepat globalisasi yang sewaktu-waktu dapat merobohkan cangkang kecil tersebut.

Konflik sebagai “Yang Seharusnya”

Dalam tubuh himpunan yang terpecah menjadi dua dalam tataran ideologisnya, konflik intern tidak lagi dapat dihindari. Pada tahun 1986 pasca Kongres ke-16 di Padang, lalu dikenallah dua bentuk representasi dalam satu kesatuan HMI, yakni HMI-DIPO dan HMI-MPO yang masih eksis sampai detik ini.  Ketegangan yang dihadapi himpunan pada masa itu disebabkan oleh adanya intervensi serta hagemoni oleh pemerintah Orde Baru yang memaksakan Pancasila sebagai ‘Asas Tunggal’ untuk segenap ormas dan OPK melalui UU ormas nomor 8 tahun 1985. 

Jika penyelesaian atas konflik ideologis tersebut berupa reunifikasi, maka solusi tersebut untuk hari masih dapat dibilang utopis dikarenakan keduanya sudah terlanjur menemukan bentuk aktual dan memiliki tujuan tersendiri. Belum lagi urusan konflik yang terus berkepanjangan, yakni konflik antara senior yang masih saja terlihat dan konsekuensinya dapat secara turun-temurun pada pengaderan. Mungkin saja sebagai salah satu solusi alternatifnya ialah reunifikasi-politis. 

Benturan keras mengakibatkan ‘chaos’ yang mengindikasikan adanya sebuah perkembangan dalam konteks interaksi sosial yang ada dalam suatu sistem dan tidak dapat dinetralisir. Konflik bisa saja diartikan sebagai suatu kondisi yang harus terjadi untuk tujuan tertentu. Sebagaimana yang diutarakan oleh Lewis A. Coser, bahwa adanya konflik tidak selalu mensyaratkan konsekuensi negatif ataupun disfungsional. Konflik disuguhkan layaknya berbagai macam menu makanan untuk dinikmati bersama dan semata-mata aspek penolakan dan penerimaan selalu saja timbul dari perbedaan preferensi menu di atas meja.

Revolusi Industri 4.0 dan Society 5.0 

Kemajuan dalam makna historisnya selalu saja menampakkan akuisisi atas pencapaian-pencapaian dari perkembangan kapasitas manusia sebagai subjek sekaligus objek yang menjalankan segenap aktivitas-aktivitasnya secara sistematis. Di mana segenap kemajuan dan perkembangan tersebut pada hari ini nampak sebagai ‘pisau bermata dua’.

 Beranjak dari kehidupan nenek moyang manusia yang berkisar 8000 tahun SM, kemajuan yang pertama kali dicapai oleh manusia ialah bertambahnya kapasitas software dari fisologisnya. Hanya dengan bermodalkan software tersebut, nenek moyang kita perlahan-lahan mulai membentuk sandi-sandi, memanfaatkan bebatuan dan tumbuhan, membentuk koloni, menulis, dan mengenal istilah ‘memiliki’. Sampai pada hari ini, salah satu kemajuan mutakhir dari manusia ialah menciptakan sarana baru yang disebut AI (Arttificial Intellegent) sebagai sarana yang tidak pernah leluhur kita bayangkan sebelumnya.

Memahami dunia hari ini berarti memahami sejarah dan kondisi subjek pelakunya dari masa ke masa. Memahami segala bentuk sistem relasi yang dibangun di atasnya dengan tujuan menyusun serangkaian proyeksi ataupun alternatif-alternatif yang dapat dijadikan pegangan untuk lebih mampu menentukan langkah dalam menghadapi segenap perubahan-perubahan kedepannya dan memanfaatkan segala sarana dan prasarana dengan sebaik mungkin.

Kita tiba pada era di mana teknologi diterima begitu saja tanpa dipertanyakan ‘keadaanya’. Dalam konteks Revolusi Industri 4.0 dengan sarana AI dan robotik yang bertujuan untuk mempermudah setiap laku praktis manusia, hal tersebut nampak  sah-sah saja. Namun, bagaimana jadinya apabila sarana-sarana penunjang yang fantastis tersebut tidak didampingi dengan kesadaran dari pengguna sarana fantastis tersebut.? Oleh karena itu Society 5.0 merupakan konsep yang menekankan manusia sebagai komponen utama dalam menjalankan segenap tindakan mereka dengan sarana alat-alat fantastis tersebut. Supaya alat-alat fantastis tersebut memiliki output yang tepat berdasarkan fungsinalnya.

Slavoj Zizek mengungkapkan bahwasanya, “Mungkin pada abad ke-20 ini, kita terlalu cepat untuk mengubah dunia terlalu banyak dan terlalu cepat. Kini, telah tiba waktu di mana kita untuk berfikir dan menafsirkan ulang lagi.” 

Dikarenakan segenap loncatan-loncatan baru oleh aktivitas personal ataupun kelompok dari berbagai sektor yang sangat cepat, kerap kali mengaburkan langkah-langkah aktualisasi goals dari Himpunan itu sendiri. Belum lagi mencoba untuk keluar dari konflik persinggungan internal-eksternal, oleh karena itu segala bentuk keterlibatan aktif para aktor dalam berbagai ranah (kemahasiswaan, keislaman, dan keindonesiaan) menempati posisi yang fundamental sebagai agent dalam upayanya menampakkan manifestasi dan menciptakan konsekuensi positif dalam tindakan nyatanya demi keberlanjutan ekosistem himpunan yang diidealkan oleh himpunan dan relevan dengan zamannya.  

Komisariat Ushuluddin Hari Ini

Komisariat Ushuluddin hari ini diselimuti problematika dan tantangan yang cukup kompleks. Mulai dari pasang surut elektabilitas bidang-bidang yang masih belum maksimal seperti bidang Pemberdayaan Perempuan (PP) yang belum stabil, PTKP yang menerapkan sistem politik kampus elitis yang memilih untuk absen dalam mengambil peran di sebagian struktural kampus, dan yang terbaru ialah pembekuan Korps HMI Wati (KOHATI). Sedangkan pada ranah kader tersendiri, kecenderungan kader hari ini berorientasi kepada kegiatan-kegiatan yang menunjang keprofesian, sehingga komisariat diharapkan sebagai wadah yang mampu memfasilitasi penyaluran minat dan bakat para kader. 

Problem-problem yang dihadapi saat ini terutama di dalam tubuh komisariat sangatlah beragam. Refleksi setelah Dies Natalis sejatinya merupakan upaya untuk menampakkan blind spot (titik buta) dan juga sebagai upaya untuk menentukan langkah ke depannya yang belum terlihat ataupun baru disadari, baik itu mempertanyakan elektabilitas komisariat sebagai wadah pertama dalam berproses kader di bidang Organisasi Kemahasiswaan yang sesuai dengan cita-cita besar HMI itu sendiri. Oleh karena itu kesadaran kolektif dari segenap organ yang hidup di dalam tubuh HMI secara umum dan Komisariat secara khusus dalam rangka ‘merawat ingatan’ dituntut untuk terus memerhatikan kondisi objektif di sekitaran.

Beranjak dan bercermin dari rentang perjalanan Komisariat selama beberapa periode terdahulu, Ketua Umum Komisariat, Fadli Waldi menyoroti tentang urgensi dan elektabilitas dari Komisariat sebagai nomos terkecil dari tubuh besar HMI yang tidak boleh sampai mengalami stagnasi dalam upayanya melahirkan kader-kader ‘Insan Cita’ yang bernafaskan ke-Islaman dan ke-Indonesian serta berkualitas dan mampu menjadi problem solver atas tantangan zamannya. 

“Untuk kedepannya, semoga Komisariat Ushuluddin mampu menciptakan sebuah poros baru yang terus aktif, adaftif, dan berkelanjutan dalam berbagai lini. Baik itu dari segi kemahasiswaan, lingkungan, dan masyarakat luas.” pungkas Ketum yang kerap disapa dengan panggilan Waldi.

Tulisan ini pernah tayang di buletin Ushuliyyah edisi 27 dalam rubrik Fokus Utama.

Muhammad Izzan Fahmi
Mahasiswa Aqidah dan Filsafat Islam UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Related Articles

Stay Connected

- Advertisement -spot_img

Artikel Terbaru