25.4 C
Yogyakarta
Monday, December 23, 2024
spot_img

Hal-hal Ganjil Menjelang Semester Ganjil

Semester genap dalam program pembelajaran dan pendidikan di Indonesia akan segera berakhir. Hal ini menandai akan dimulainya tahun ajaran baru juga munculnya wajah-wajah baru di berbagai institusi pendidikan.

Universitas menjadi institusi pendidikan yang akan paling sibuk dalam menghadapi pergantian tahun ajaran ini.  Persiapan untuk tahun ajaran baru itu bahkan telah dimulai dari jauh-jauh hari, termasuk upaya penyebaran iklan penerimaan mahasiswa baru dalam berbagai media.

Seleksi Nasional Berbasis Tes (SNBT) telah dilaksanakan pada tanggal 8-14 Mei 2023 dan 22-28 Mei 2023. Selain SNBT, jalur lain, seperti SNBP (Seleksi Nasional Berdasarkan Prestasi) yang juga populer disebut sebagai jalur undangan. Jalur ini dibuka lebih awal, yakni pada 9 Januari-9 Februari 2023.

Dari dua jalur utama ini, telah banyak siswa yang dinyatakan lulus dan menjadi mahasiswa baru di berbagai perguruan tinggi di seluruh Indonesia. Berdasarkan data yang dirilis oleh Badan Pusat Statistika (BPS), bahwa jumlah mahasiswa baru yang telah dinyatakan lulus pada tahun 2023 ialah sebanyak 7,8 juta orang.  Dengan rincian 3,3 juta mahasiswa di perguruan tinggi negeri dan 4,4 juta mahasiswa di perguruan tinggi swasta.

Jumlah ini akan terus bertambah seiring dengan dibukanya jalur-jalur penerimaan lain oleh berbagai perguruan tinggi lainnya.

Di samping besarnya jumlah mahasiswa baru yang akan diterima, pihak kampus juga akan menerima banyak pekerjaan yang harus segera diselesaikan. Pekerjaan ini tidak hanya berkutat seputar urusan administrasi dan penerimaan mahasiswa baru, namun juga pada hal-hal yang selama ini telah menjadi keresahan banyak orang, khususnya mahasiswa, berkaitan dengan isu-isu ganjil yang berkembang di perguruan tinggi.

Sebut saja, isu kekerasan seksual yang menjadi pembicaraan hangat dalam lingkungan mahasiswa dan perguruan tinggi. Pasalnya, isu ini tidak hanya dibahas oleh para akademisi, aktivis kampus, dan mahasiswa. Nama-nama semisal Najwa Shihab dari kalangan influencer yang getol membicarakan isu tersebut di kanal YouTubenya. Bahkan, Menteri Pendidikan Nadiem Makarim juga seringkali menyampaikan sosialiasi mengenai kampus yang aman dari kekerasan seksual.

Dilansir dari Harianhaluan.com, berdasarkan data yang dirilis oleh Komnas Perempuan, bahwa dari tahun 2015 hingga 2021 kasus kekerasan seksual paling banyak terjadi di perguruan tinggi. Bahkan, melalui survei yang dilakukan oleh Kemendikbudristek bahwa 77% kasus kekerasan seksual pada tahun 2022 berasal dari perguruan tinggi.

Di sisi lain, dengan tingginya angka kekerasan seksual yang terjadi di perguruan tinggi, beberapa kalangan masyarakat dari berbagai organisasi malah menyampaikan keberatan mereka atas Permendikbud Peraturan Pencegahan dan Penangan Kekerasan Seksual (PPKS). Sejumlah organisasi seperti Muhammadiyyah dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menolak peraturan tersebut, khususnya pada kalimat “tanpa persetujuan korban”. Kalimat ini dinilai dapat menjadi landasan legalisasi atas perzinahan.

Wakil Sekretaris Majelis Diklitbang PP Muhammadiyah, Adam Jerusalem mengatakan dalam diskusi MNC Trijaya “Jadi kami minta peraturan ini dicabut dan direvisi. Supaya kekerasan seksual itu terdiri dari paksaan dan juga suka sama suka. Kita sebagai negara yang memiliki nilai-nilai agama dan ketimuran ini, kan tidak bisa membiarkan (seks bebas). Jadi kalau kita bisa membuat terobosan hukum yang mengatur itu, kenapa tidak”.

Menurut Ismi Dwi Astuti Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Sebelas Maret Surakarta, dalam wawancaranya dengan Tribunnews, mengatakan bahwa kekerasan seksual di perguruan tinggi seringkali terjadi karena bahwa dalam masyarakat Indonesia perempuan-sebagai pihak yang rentan menjadi korban—seringkali ditempatkan pada posisi kedua. Selain itu, adanya relasi kuasa menjadi faktor utama terjadinya kekerasan seksual. Seringkali pelaku yang memiliki otoritas lebih besar melakukan tindakan kekerasan seksual terhadap korban, semisal kasus-kasus yang pelakunya adalah dosen.

“..ini bisa terjadi karena relasi kuasa yang tidak seimbang, sehingga ketika seseorang mendapat perlakuan pelecehan seksual seringkali mereka tidak berani mengatakan tidak, celakanya mereka juga tidak memiliki keberanian untuk melaporkan apa yang mereka alami,” tukasnya.

Selain kasus kekerasan seksual, tindak pidana korupsi (tipikor) ikut memerahkan rapor perguruan tinggi di Indonesia hari ini. Mirisnya, tindakan ini malah banyak dilakukan oleh pihak rektorat dan orang-orang di jajaran tinggi kampus.

Kasus terbaru yang menyentak perhatian masyarakat ialah tindakan korupsi yang dilakukan oleh Rektor Universitas Udayana Bali, I Nyoman Gede Antara bersama 3 orang lainnya. Mereka diduga melakukan korupsi atas dana Sumbangan Pengembangan Institusi (SPI) mahasiswa baru. Buntut dari kasus ini, menyebabkan kerugian total Rp 443,9 miliar dan kerugian perekonomian negara Rp 334,57 miliar.

Sebelumnya, pada 2022 lalu, kasus korupsi di perguruan tinggi juga terjadi di Universitas Lampung. Tindakan ini dilakukan oleh Rektor Unila, Karomani, yang melakukan suap dan jual beli bangku penerimaan calon mahasiswa baru. Selain Karomani, beberapa orang dari jajaran tinggi kampus seperti Wakil Rektor I dan Ketua Senat juga ikut terjerat kasus ini. Dilansir dari DetikEdu, bahwa Karomani ikut serta dalam penentuan kelulusan mahasiswa baru jalur mandiri dan mematok harga dari 100 hingga 350 juta  untuk meluluskan calon mahasiswa.

Atas berbagai kasus yang menjerat para pejabat perguruan tinggi tersebut, Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara yang dirilis oleh KPK mencuat di jagat publik. Laporan tersebut menyebutkan bahwa Ari Kuncoro, Rektor Universitas Indonesia, memiliki harta kekayaan paling besar di antara kalangan para rektor di seluruh Indonesia, yakni sebesar Rp 62 Miliar. Kemudian diikuti oleh Rektor Universitas Gajah Mada, Ova Emilia, sebesar Rp 28 miliar dan Rektor Institus Teknologi Sepuluh November (ITS), Moch. Ashari dengan kekayaan sebesar Rp 26 miliar. 

Di samping kasus korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan, julukan yang disematkan kepada perguruan tinggi sebagai pusat intelektual dan akademisi tercoreng. Pasalnya, banyak dari kalangan dosen senior dan bahkan rektor di berbagai perguruan tinggi terjerat kasus ‘perjokian’ karya ilmiah dan plagiarisme. Sebut saja, Muryanto Amin, sebagaimana yang dilaporkan Merdeka.com pada 2021 lalu, dinyatakan terbukti telah melakukan tindak plagiarisme dalam penerbitan karya ilmiah. 

Selain itu, dosen-dosen senior dari Universitas Negeri Padang (UNP) dan Universitas Brawijaya (UB), juga terkena kasus perjokian ilmiah dengan menggunakan tenaga mahasiswa dan dosen muda untuk membuat karya ilmiah atas nama dirinya, sebagai upaya percepatan meraih gelar guru besar. Menurut laporan Kompas, UNP bahkan memiliki Tim Percepatan Guru Besar, yang berupaya untuk melakukan riset dan pengerjaan karya ilmiah atas nama dosen-dosen senior. Tim ini melibatkan para mahasiswa dan dosen muda, sedangkan para dosen senior tersebut sangat minim berkontribusi dalam pengerjaannya.

Belakangan, publik juga menyoroti persoalan penganugerahan gelar Honoris Causa (Doktor Kehormatan) yang dinilai sangat politis. Penganugerahan ini kerap kali melibatkan para pejabat publik dan politisi. Pada 3 Maret lalu, Erick Tohir, Menteri BUMN dianugerahi gelar HC oleh Universitas Brawijaya yang kemudian ditanggapi negatif oleh Aliansi Mahasiswa Resah (AMARAH) Brawijaya dan melakukan aksi penolakan. Hal yang sama juga terjadi di UGM pada 13 Februari lalu, dimana 353 dosen dari 14 Fakultas menolak penganugerahan gelar HC kepada seorang pejabat publik.

Ubedilah Badrun, Pendiri Forum Komunikasi Senat Mahasiswa se-Jakarta (FKSMJ) dalam tulisannya di Tempo.co mengatakan “Pemberian gelar Doktor Honoris Causa yang marak diberikan kepada politisi di Indonesia tanpa bisa membuktikan jasa luar biasa di bidang ilmu pengetahuan teknologi dan kemanusiaan menunjukkan ada semacam ruang transaksional yang begitu kuat karena mempertimbangkan posisinya sebagai elit politik. Ini berpotensi adanya semacam transaksi kepentingan”.

Menurutnya, secara kuantitatif perguruan tinggi Indonesia memang mengalami peningkatan. Terlebih beberapa universitas masuk dalam peringkat 100 perguruan tinggi terbaik di dunia. Namun, secara kualitatif, sedang mengalami penurunan. Hal ini dikarenakan maraknya praktek korupsi, kolusi, plagiarisme dan lain sebagainya, yang mencoreng nama baik perguruan tinggi.

Ia juga menambahkan bahwa perguruan tinggi Indonesia hari ini sedang mengalami masa kelam dan duka. “…Sebab universitas hadir sejatinya untuk menjadi penerang dari kegelapan. Pencerah rasionalitas dari episode barbarian. Pengembang ilmu pengetahuan dari episode ke-jumud-an. Pembangun rasionalitas dari hegemoni doktrin dan dogma. Penegak kebenaran ilmiah dari pembenaran irasionalitas. Pembela demokrasi dan kemanusiaan dari diktatorisme dan otoritarianisme kekuasaan. Bukan untuk mendamba pada kekuasaan dan mabuk gelar kehormatan. Apalagi memperjualbelikan,” ujarnya.

Tulisan ini pernah tayang di buletin Ushuliyyah edisi 30 dalam rubrik Fokus Utama.

Abil Arqam Lubis
Mahasiswa Aqidah dan Filsafat Islam UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Related Articles

Stay Connected

- Advertisement -spot_img

Artikel Terbaru