Tahun ini, HMI Komisariat Ushuluddin mengadakan dies natalis ke-60. Acara ini diisi dengan pentas seni kader, bazar produk buah tangan kader Ushuluddin (baju kaos, gelas, dan kalender). Kegiatan ini dihadiri oleh kader-kader Ushuluddin, beberapa Pengurus HMI Cabang Yogyakarta, dan para alumni HMI Komisariat Ushuluddin.
Pada momen ini, selain berbicara mengenai refleksi yang terus didengungkan setiap tahun, kiranya ada dua poin penting yang perlu dicatat dalam benak kita. Pertama adalah ikatan emosional, baik sesama kader komisariat, atau dengan alumni. Hal ini sedana dengan apa yang disampaikan Fadli Waldi, Ketua Umum HMI Komisariat Ushuluddin, saat memberi sambutan, “Seperti yang sudah kita tahu, selain menjadi jantung sekaligus tempat suci para kader untuk berproses, komisariat adalah tempat berpulang”. Poin kedua, selain usaha agar tetap bergerak, menyiapkan diri untuk menata arah komisariat ke depannya.
Penataan diri dalam tubuh komisariat, setidaknya bisa menyesuaikan dengan situasi dan kondisi psikologis para kader baru. Perkembangan teknologi digital membawa perubahan yang sama sekali berbeda dan begitu cepat. Ini bukan barang baru dan tidak bisa kita anggap hal sepele. Pola kaderisasi dan sistem yang ada perlu ditata ulang.
Tentu, hal ini bukan perkara mudah. Di satu sisi, daya tawar HMI jika hanya mengandalkan romantisme sejarah pendahulunya, tidak akan lagi menjadi gerbang megah yang menjadi pintu masuk mahasiswa.
Komisariat yang merupakan jantung dari kaderisari, sudah sepantasnya peka akan perkembangan teknologi. Bukan hanya itu, perlu kita perhitungkan juga cara untuk menangani berbagai hal yang berbau sensasional. Manusia modern sudah mulai terbentuk ke dalam dunia yang praktis, serba instan, dan tidak mau ambil pusing dalam mengambil tindakan.
Eksistensi komisariat harus diusahakan hadir dalam wajah baru. Kajian mengenai media masih minim dilakukan di komisariat. Walaupun ada, masih sekedar diskusi ringan tanpa ada pengaplikasian yang nyata. Hal ini harus benar-benar kita pikirkan. Pengurus komisariat harus menemukan metode-metode yang lebih efektif agar kader lebih siap menghadapi permasalahan yang semakin hari semakin kompleks.
Pertanyaan lain yang perlu diperhitungkan, mengenai tujuan HMI yang berbunyi “Terbinanya Insan Akademis, Pencipta, Pengabdi yang Bernafaskan Islam, dan Bertangung Jawab atas Terwujudnya Masyarakat Adil Makmur yang Diridhoi Allah SWT”. Apakah kita bisa menjamin, poin pertama dari tujuan itu tidak akan dimanipulasi oleh Artificial Intelegent?
Standarisasi insan akademis zaman pendahulu HMI tentu berbeda dengan standarisasi insan akademis masa sekarang. Ilmu pengetahuan sudah berkembang dengan pesat. Salah satu contoh yang sangat jelas yaitu metode dalam mendapatkan ilmu. Kita bisa mendapatkannya di mana saja. Bahkan diskusi dengan AI lewat ChatGPT bisa saja lebih menarik ketimbang MOT, semisal.
Ada lelucon menarik dari salah satu kader, “Bung Pane tidak pernah kuliah memakai Zoom”. Jika kita dengar sekilas mungkin pernyataan ini hanya sekedar lelucon biasa. Namun, jika kita renungi kembali ini merupakan satu hal yang sangat urgent bagi kader HMI saat ini. Dimana kita tidak bisa terlena dengan euforia kesuksesan HMI masa lalu.
Hal lain yang disayangkan dalam perayaan dies natalis tahun ini partisipan dari para alumni tidak terlalu banyak. Apakah kepedulian alumni semakin menipis? Atau malah tidak percaya lagi pada komisariat Ushuluddin? Menurut beberapa keterangan, ketidakhadiran para alumni dikarenakan banyaknya alumni yang sudah di luar kota dan banyak yang sibuk bekerja.
Sebenarnya ini tidak terlalu menjadi masalah. Dies natalis bukan hanya sekedar ajang nostalgia berlebihan antara kader dan alumni, tapi ada hal yang lebih penting untuk dibicarakan lebih lanjut. Contoh paling dekat adalah bagaimana agar roda organisasi bisa tetap tumbuh dan lebih baik dari sebelumnya.
Sekali lagi, selain penataan arah baru di ranah digital, ikatan emosional tetap menjadi yang pertama. Dampak yang ditimbulkan bukan main jika ikatan ini dilepas. Komunikasi yang buruk, membuat penataan wajah baru komisariat tidak bisa direalisasikan dengan mudah.
Tulisan ini pernah tayang di buletin Ushuliyyah edisi 27 dalam rubrik editorial.