Manusia adalah makhluk ciptaan Tuhan yang memiliki banyak kelebihan. Kita dapat melihatnya dari dua hal, rasio atau akal dan intuisi atau hati. Dua hal ini menjadi sesuatu yang memainkan peran penting dalam perkembangan peradaban manusia.
Mengapa demikian? Sebab melalui dua hal itu manusia memperoleh pengetahuan. Pengetahuan ini kemudian berperan dalam menciptakan, mengubah, bahkan menghancurkan suatu peradaban.
Peradaban, demikian kita kenal memiliki banyak corak. Salah satu istilah yang populer dalam dunia Filsafat adalah ‘Peradaban Olah Pikir’ atau penalaran. Jika kita lihat dari sejarahnya, sejak abad Ke-6 SM manusia telah hidup dalam peradaban oleh pikir ini. Phytagoras, Empedocles, Hermes, Plato, Aristoteles, dan Plotinusa adalah sedikit dari sekian banyak filsuf yang kita kenal hingga saat ini.
Seputar Filsafat Islam
Pemikiran para filsuf generasi awal, kemudian menjadi inspirasi para tokoh pemikir Filsafat Islam di era Hellenisme. melalui Filsuf Al-Kindi, Filsafat Islam mulai dibangun secara sistematis dengan Filsafat Paripatetik-nya. Era pemikiran emas itu sempat terhenti akibat serangan Al-Ghazali atas filsafat melalui bukunya Tahafut al-Falasifah. Para orientalis yang melakukan riset ke Timur Tengah memberikan argumen bahwa setelah serangan telak yang dilakukan al-Ghazali, Filsafat Islam mengalami kemunduran. Tetapi argumen itu kemudian di bantah oleh Henry Corbin dan di perkuat oleh Hossein Nasr. Keduanya berpendapat bahwa Filsafat Islam tidak mengalami kemunduran akibat ulah Al-Ghazali.
Suhrawardi Al-Maqtul dan Filsafat Iluminasi
Filsafat Islam sejatinya mengalami perkembangan ditangan filsuf muda asal Persia, Suhrawardi Al-Maqtul, seorang penggagas Filsafat Illuminasi sebagai kritik dan metode baru atas Filsafat Paripatetik.
Suhrawardi memiliki nama lengkap Abu al-Futuh Yahya bin Habasy bin Amirak as-Suhrawardi al-Kurdi. Pria dengan nama panggilan Syaikh al-Isyraq ini lahir di wilayah Jibal, Iran Barat Laut pada tahun 1153.
Master Of Illumisionist adalah salah satu julukan terkenal yang ia miliki, meski demikian ia lebih dikenal dengan sebutan al-Maqtul. Gelar terakhir ini disematkan atas kejadian tragis yang menimpa Suhrawardi di masa akhir hidupnya.
Semangat menggebu Suhrawardi di masa muda membawanya pergi ke daerah-daerah bekas Hellenisme seperti Syria, Anatolia, Persia dan Aleppo. Ia belajar filsafat, teologi dan hukum kepada Majduddin al-Jili di Maroko. saat itu ia juga berkenalan dengan Fakhruddin Ar-razi, teman sekelasnya yang berbeda pandangan dengannya. Ia juga belajar filsafat dan logika dengan Fakhr ad-Din al-Mardini, salah satu orang yang kemudian turut mempengaruhi paham filsafat Suhrawardi.
Setelah puas belajar filsafat, ia berpindah tempat ke Isfahan, Iran Tengah yang dikenal memiliki tata kota dan lingkungan yang asri pada masanya. Di sana ia belajar logika kepada Zhahir ad-Din al-Qari merujuk kepada kitab Al-Bashair an-Nashiriyyah. Selain itu ia juga mempelajari tata cara menjadi sufi, bahkan ia langsung mempraktekkan kesufiannya dengan corak ibadah, berfalsafah, dan kontemplasi. Proses pengembaraan itu ia akhiri di Damaskus, Syria dan pergi ke Aleppo sebagai tempat terakhir yang ia kunjungi.
Di Aleppo, ia melakukan pendekatan secara persuasif kepada penguasa Aleppo, yaitu Malik Az-Zhahir putra Shalahuddin al-Ayyubi, sebagai tokoh dari Perang Salib. Pendekatan yang dilakukan oleh Suhrawardi dilakukannya dengan hadir di majelis-majelis ilmiah yang diadakan oleh Malik Az-Zhahir yang dikenal sangat mencintai ilmu pengetahuan. Dari sanalah eksistensi Suhrawardi mulai terlihat dengan mengalahkan lawan debatnya. Kecerdasannya dalam berargumen membuat lawan berbicara tak berkutik, dibuatnya sehingga gagasan unggul Suhrawardi mulai dilirik oleh penguasa Aleppo.
Karena kecerdasannya itu, Suhrawardi diangkat menjadi penasehat khusus Malik Az-Zhahir. Rupanya kesuksesan yang diraih Suhrawardi membuat iri para Ulama dan Fuqaha yang ia kalahkan saat beradu argument. Atas kejadian ini, para Ulama dan Fuqaha mulai membuat fitnah yang ditujukan kepada Suhrawardi. Akan tetapi, fitnah itu tidak memberikan dampak besar kepada Suhrawardi. Disebabkan karena perlindungan Malik Az-Zhahir yang mematahkan semua tuduhan keji kepada Suhrawardi. Rupanya keadaan ini tidak membuat Ulama dan Fuqaha jera, mereka mencari jalan lain untuk menggoyahkan Suhrawardi dengan menulis surat kepada Shalahuddin al-Ayyubi. Dengan tuduhan bahwa Suhrawardi membawa ajaran sesat dan dapat merusak akidah Islamiyyah serta merusak agama. Ia dianggap terlalu menonjolkan unsur kebatinan dalam persoalan teologi.
Lebih lagi, paham Suhrawardi dekat dengan Syiah Ismailiyyah. Pada masa itu, toleransi antar sekte belum terbentuk. Pada masa itu, Mazhab yang berkuasa adalah Mazhab Sunni. Dengan kata lain, para pembenci Suhrawardi memanfaatkan paradigma ini untuk melenyapkan Suhrawardi. Atas desakan yang dilakukan oleh para Ulama, akhirnya Shalahuddin al-Ayyubi memerintahkan putranya Malik Az-Zhahir untuk memenjarakan Suhrawardi. Tidak jelas bagaimana proses meninggalnya Suhrawardi, Ziai mengatakan bahwa Suhrawardi meninggal di hukuman gantung. Sejarah mencatat Suhrawardi meninggal pada 29 Juli 1191 M.
Nampaknya, Suhrawardi dalam perjalanan mencari ilmu terprovokasi oleh pemikiran beberapa tokoh. Diantaranya adalah Hermes Trismegistus atau dalam Islam dikenal sebagai Nabi Idris AS. Ia dikenal sebagai Abu al-Hukama wa Atthiba. Menurut Suhrawardi, Hermes adalah seorang utusan Tuhan yang mampu menerjemahkan pesan-pesan Tuhan dan merasionalkan pesan tersebut sehingga mudah dipahami oleh manusia.
Selanjutnya adalah pemikiran dari kelompok Zoroastrianisme yang dikembangkan oleh Zoroaster. Kelompok ini memiliki paham bahwa sang penguasa adalah cahaya, cahaya yang melahirkan dunia terang dan dunia kegelapan. Semakin dekat dengan cahaya, maka manusia akan lebih mudah mengetahui kebenaran. Sebaliknya, apabila jauh dari cahaya, maka proses mencari kebenaran semakin jauh. Dapat diindikasikan bahwa ajaran Illuminasi Suhrawardi menggunakan konsep Zoroastrianisme.
Keberhasilan Suhrawardi dalam mensintesa simbol cahaya Zoroastrianisme ke dalam Filsafat Islam merupakan pondasi awal terbentuknya Filsafat Illuminasi (cahaya). Ia menyatakan bahwa adanya alam semesta ini bukan berasal dari ketiadaan, tetapi berasal dari yang ada. Dari yang ada, memancarkan (illuminasi) sebuah cahaya yang menjadi sebab eksistensi (di luar dirinya) bagi adanya alam semesta ini. Jadi, adanya eksistensi disebabkan oleh sang sebab yang menimbulkan akibat dari dirinya sendiri. Pancaran cahaya inilah sebagai asal muasal yang membentuk semua eksistensi di alam dunia.
Dalam membangun filsafat illuminasinya, Suhrawardi memperdalam filsafat Yunani kuno dengan tokoh Plato, Aristoteles, dan Platonis. Ajaran Plato dan Plotinus yang nantinya akan banyak mempengaruhi illuminasi Suhrawardi. Sedangkan ajaran Aristoteles yang ada di dunia Islam mengilhami filsafat paripatetik. Sebab itu, Suhrawardi membangun filsafat illuminasi sebagai kritik atas filsafat paripatetik, terlebih dalam proses pencarian kebenaran.
Metode yang digunakan dalam Filsafat Paripatetik adalah metode definisi. Di sinilah kritik dimulai. Pasalnya, definisi adalah satu-satunya jalan untuk mencari kebenaran. Suhrawardi kemudian menolak metode ini karena terkesan diskursif. Menurutnya, metode definisi gagal dalam membangun sebuah pengetahuan. Hal ini terjadi karena keterbatasan pemahaman manusia terhadap sesuatu. Jika pengambilan definisi dilakukan dengan membedakan yang esensial umum dengan diferensi yang khusus, maka tidak akan menghasilkan sebuah pemaknaan yang tepat. Berikutnya yang dikritik oleh Suhrawardi mengenai esensi dan eksistensi pada filsafat paripatetik.
Begitulah kiranya sekelumit kisah mengenai Suhrawardi dan penggambaran umum terhadap konsep filsafat yang ia bangun dalam umur yang terbatas akibat gejolak perpolitikan pada masa itu. Walaupun filsafat Islam mendapatkan serangan keras dari al-Ghazali dan praktik sosial keagamaan pada masa itu, tidak meredupkan Suhrawardi sebagai filsuf muda yang memiliki semangat tinggi untuk kemajuan ilmu pengetahuan, khususnya dalam bidang filsafat. Masa hidupnya tidak lama, akan tetapi pengaruh pemikirannya dapat dirasakan sampai saat ini serta dijadikan rujukan bagi orang yang berkeinginan untuk belajar Filsafat Illuminasi.
Tulisan ini pernah tayang di buletin Ushuliyyah edisi 28 dalam rubrik Tokoh.