Belakangan, banyak video yang membahas mengenai bobroknya organisasi mahasiswa beredar di berbagai platform media sosial. Mereka yang membahas terkait hal ini adalah para influencer yang telah lama berlalu-lalang di dunia kemahasiswaan.
Ada nama-nama semisal Eno Bening dan Yasir Abdad yang videonya sempat viral perihal pembahasan eksistensi organisasi mahasiswa hari ini. Dalam video singkat itu, mereka mencoba mengulik sekilas hal-hal negatif yang berkembang di dalam dunia keorganisasian mahasiswa. Singkatnya, ada beberapa poin penting yang saya garisbawahi.
Pertama, adalah urusan ketepatan waktu. Ketidaktepatan ini bukan hanya 5-10 menit, namun bisa terhitung berjam-jam. Parahnya, hal semacam ini sudah menjadi pemakluman umum di mana anggota-anggotanya sudah wajar akan molornya program dan acara dalam organisasi itu.
Ini juga termasuk pada saat sedang melaksanakan rapat. Pembahasannya selalu muter-muter dan cenderung hanya berlomba-lomba beradu gagasan. Arogansi dan sifat ngeyel ala anak organisasi biasanya muncul di sini. Tidak salah sebenarnya jika ingin menjadi kritis. Namun, sebelum mengajukan kritik, seorang yang mengaku intelektual perlu mendasarinya dengan argumen yang kuat pula. Buntut dari peraduan argumen yang muter-muter ini, adalah rapat berlangsung hingga larut malam.
Poin berikutnya, adalah organisasi mahasiswa kian melanggengkan arogansi senior. Seorang anggota organisasi baru harus patuh dan hormat kepada anggota yang lebih tua. Dalam beberapa kasus yang lebih parah, senior bisa melakukan hal yang semena-mena kepada juniornya. Sangat disayangkan, bila arogansi senioritas tersebut dihias dengan kata-kata ‘keluarga’.
Perlu digarisbawahi sebenarnya, bahwa senioritas perlu ada dan tidak selalu harus dikonotasikan negatif. Namun, yang perlu ditekan adalah arogansi yang muncul dari senioritas tersebut. Arogansi ini yang kemudian menciptakan sikap kesemena-menaan seorang anggota kepada bawahannya.
Selanjutnya, persoalan pengumpulan massa partai dalam pemilu juga mereka soroti. Pasalnya, rekrutmen anggota yang diadakan punya tujuan lain, yakni agar suatu organisasi dengan corak partai tertentu punya massa yang banyak dan elektabilitas semakin tinggi.
Imbasnya, banyak anggota organisasi yang amburadul statusnya pasca pemilu. Pengurus organisasi tidak memperhatikan lagi anggota-anggota baru yang bahkan tidak punya niat yang jelas untuk masuk organisasi. Beberapa bahkan termakan oleh janji-janji pra-pemilu.
Terakhir dan mungkin yang paling urgen, adalah ketidakmampuan organisasi mahasiswa hari ini untuk mengadvokasi isu-isu sosial yang berkembang baik dalam kampus maupun masyarakat. Sekalipun ada, gerakan-gerakan ini hanya berada dalam ranah melawan kebijakan-kebijakan pemerintah. Sekali lagi tidak salah! Namun, begitu banyak persoalan-persoalan lain seperti pendidikan, lingkungan, kesetaraan dan lainnya yang perlu diperhatikan.
Di sisi lain, keikutsertaan mereka dalam aksi-aksi juga perlu dipertanyakan. Apakah mengikuti aksi di jalan merupakan bentuk idealisme dan cinta terhadap keadilan atau yang sebenarnya mereka cintai adalah imaji mengenai mahasiswa aktivis yang keren. Atau yang lebih parah lagi, cuma sekadar ikut-ikutan agar bisa buat konten dan update story’.
Dari sekian kritik yang diutarakan oleh influencer mahasiswa di atas, bukan berarti organisasi mahasiswa harus benar-benar dibubarkan. Indonesia sangatlah membutuhkan perannya dalam menjaga stabilitas negara. Sebagai misal, saya ingin membandingkan hal tersebut dengan pernyataan Pak Mahfud beberapa waktu mengenai DPR. Ia mengatakan “Lebih baik punya DPR yang buruk, daripada tidak punya DPR sama sekali”.
Memang organisasi mahasiswa belakangan memiliki setumpuk rapor yang buruk. Namun, bukan berarti dengan dibubarkannya organisasi tersebut, akan membawa sesuatu yang lebih baik pula.
Kita sejenak perlu melihat kembali rekam jejak perjuangan organisasi mahasiswa dalam menjaga stabilitas negara.
Telah sama-sama diketahui, bahwa perjuangan kemerdekaan Indonesia dipelopori oleh gerakan para pemuda. Mayoritas pejuang dari kalangan pemuda itu sendiri adalah mahasiswa yang memiliki basis kemampuan organisasi yang kuat. Kita dapat melihat melalui gerakan Boedi Oetomo, Deklarasi Sumpah Pemuda, Perhimpunan Indonesia, Algemene Studiclub, hingga komunitas pelajar Prapatan 10 dan Menteng 56. Melalui organisasinya masing-masing mereka mengawal perjuangan Indonesia menuju kemerdekaan.
Pasca kemerdekaan, yakni pada era mempertahankan kedaulatan dan kemerdekaan bangsa Indonesia, kita mengenal organisasi mahasiswa semisal Himpunan Mahasiswa Islam dan Pelajar Islam Indonesia yang ikut menjaga kedaulatan dan kemerdekaan bangsa Indonesia. Perjuangan ini ditandai dengan keikutsertaan mereka dalam perang melawan agresi militer Belanda.
Kemudian, organisasi kemahasiswaan dengan berbagai ideologi lainnya ikut berdiri. Seperti GMNI, PMII, IMM, KAMMI, IPNU, dan lain sebagainya. Gerakan barisan organisasi mahasiswa ini berperan besar dalam mengawal dan mereformasi negara Indonesia. Di antara gerakan utamanya adalah upaya menumbangkan rezim otoriter Soeharto.
Pada era kontemporer, gerakan-gerakan organisasi mahasiswa juga ikut menjaga keadilan dan kesejahteraan masyarakat melalui advokasi isu sosial, seperti dalam penolakan pengesahan undang-undang yang dianggap tidak adil, penyalahgunaan kekuasaan, konflik agraria, dan lai sebagainya.
Rekam jejak tidak dapat secara naif kita lupakan saja. Apalagi dengan serta merta mem-bukuhitam-kan sejarah tersebut melalui rapor buruk eksistensi organisasi mahasiswa hari ini.
Melalui beberapa wawancara tidak langsung yang saya lakukan, beberapa mahasiswa hari ini masih ambigu dalam menilai eksistensi organisasi mahasiswa. Banyak yang skeptis melihat realita yang terjadi di dalamnya. Di lain sisi, metode perekrutan sering kali menawarkan janji-janji pergerakan yang lagi-lagi khas mahasiswa organisasi, yakni dibalut dengan retorika ciamik.
Beberapa orang yang menilai organisasi mahasiswa secara negatif, melihat bahwa adanya perekrutan memiliki tujuan politik praktis. Yakni mendulang suara dan elektabilitas dalam Pemilwa. Selain itu, branding organisasi mahasiswa yang identik dengan demo dan aksi unjuk rasa membuat beberapa pihak tidak tertarik untuk mengikuti organisasi tersebut.
Sekalipun, unjuk rasa dan demo tersebut merupakan upaya memperjuangkan demokrasi, banyak yang kemudian memandangnya sebagai gerakan anarkisme. Ini merupakan tantangan berat bagi organisasi mahasiswa sendiri, bagaimana dapat mengembalikan pamor tersebut di samping perubahan dinamika dan mental kaum milenial hari ini.
Di sisi lain, banyak pula yang memandangnya melalui kacamata optimis. Beberapa organisasi mulai membenahi sistem dan programnya untuk tidak terpusat pada hal-hal yang bersifat demo dan unjuk rasa. Sektor kewirausahaan, jurnalistik, kesenian, dan intektual mulai menjadi fokus yang pelan-pelan ingin dibangun oleh organisasi mahasiswa.
Beberapa pandangan lain melihat secara lebih luas. Bahwa bukan organisasi mahasiswa yang hari ini tidak dapat menjawab dan mencari solusi atas permasalahan sosial yang ada. Namun, secara keseluruhan, mahasiswa hari inilah yang memang tidak sanggup untuk melaksanakan itu, baik dari kalangan anggota organisasi maupun bukan.
Terakhir, begitu banyak hal yang perlu direvisi dan reformasi oleh organisasi mahasiswa dalam menjalankan keorganisasiannya tersebut. Melalui rekam jejak tadi, kita melihat bahwa beban yang dipikul oleh mahasiswa sebenarnya sangatlah berat.
Secuil utas oleh ‘Sang Nabi’ mahasiswa Indonesia, Soe Hok Gie, agaknya bisa menjadi renungan “Terkadang aku merasa malu melihat mahasiswa yang sok berkuasa. Merintih kalau ia terus ditekan tetapi, selalu menindas kalau dia sedang berada dalam kekuasaan tertingginya. Mementingkan kepentingan golongan mereka. Kasihan adik-adik baru yang baru saja datang dan menjadi korban dari kepentingan kekuasaan mereka”.
Tulisan ini pernah tayang di buletin Ushuliyyah edisi 29 dalam rubrik Pojok Kampus.