24.8 C
Yogyakarta
Monday, December 23, 2024
spot_img

Jhon Fawer, Literasi, dan Refleksi

Rabu malam di pertengahan bulan Mei itu merupakan malam yang sedikit berbeda bagi para kader HMI Komisariat Ushuluddin. Jika biasanya mereka pergi ke warung kopi untuk sekadar mengerjakan tugas kuliah, rapat, atau melepas jenuh setelah seharian beraktivitas. Maka malam itu mereka duduk bersama di warung kopi untuk nobar dan diskusi film berjudul Fawer: The Winner Stands Alone. Selain itu, sastrawan terkenal asal Medan, Saut Situmorang dan Ketua Umum HMI Cabang Yogyakarta, Anas Kurniawan turut diundang untuk mengisi diskusi film ini.

Sekilas Tentang Fawer: The Winner Stands Alone

Film dokumenter karya sutradara asal Medan, Kiki Nasution ini, secara garis besar mendokumentasikan perjuangan seorang Jhon Fawer dengan Literacy Coffee miliknya. Literacy Coffe merupakan kedai kopi sekaligus perpustakaan milik Jhon. Sebagai orang yang bergelut dalam studi sejarah, Jhon Fawer memiliki ketertarikan untuk mengangkat sejarah dan kebudayaan lokal tempat ia berasal. “Sejarah Opera Batak” adalah judul skripsi yang mengantarkannya menjadi seorang sarjana pendidikan sejarah dari Universitas Negeri Medan.

Saat mengajukan judul itu, ia mendapat apresiasi dari dosen pembimbingnya, meski demikian ia juga sempat diminta untuk mempertimbangkan kembali pemilihan tema dan judul itu, mengingat sangat terbatasnya sumber literatur dengan tema terkait. Hal itulah yang kemudian memotivasinya untuk mengumpulkan berbagai dokumen tertulis mengenai Sumatra khususnya Batak. Kini ia telah memiliki sekitar lima ratus buku yang membahas Sumatra dan Batak, dan telah banyak mahasiswa yang meminjam buku-buku itu untuk keperluan skripsi, tesis, dan disertasi.

Suasana Malam Itu

Sejak pukul enam sore, di sudut lesehan Kopi PakPho terlihat kesibukan beberapa kader dan pengurus bidang PTKP HMI Komisariat Ushuluddin. Mereka tampak berlalu-lalang mempersiapkan segala keperluan untuk kegiatan nobar dan diskusi malam harinya, mulai dari proyektor, meja dan kursi, juga spanduk yang sengaja di pasang terbalik sebagai layar, mereka susun sedemikian rupa.

Sekitar jam delapan malam, Saut Situmorang dan Anas Kurniawan telah hadir, orang-orang pun mulai berdatangan memenuhi setiap sudut lesehan Kopi PakPho. Kedua pembicara yang diundang untuk mengisi diskusi malam itu duduk di salah satu kursi panjang yang telah disediakan, sembari berbincang hangat dengan sesekali diiringi gelak tawa. Beberapa orang yang hadir tampak mengabadikan momen dengan kamera smartphone-nya.

Menjelang pukul sembilan, spanduk lusuh yang sengaja di pasang terbalik itu mulai diterangi oleh cahaya film dari proyektor, lampu-lampu dimatikan dan 30an orang yang hadir mulai terdiam, semua mata tertuju pada layar, beberapa tampak berdiri sambil menikmati pemutaran film malam itu.

Setelah kurang lebih satu jam pemutaran film, sesi diskusi dilangsungkan. Saut Situmorang mengawali pembicaraan dalam sesi diskusi ini dengan berkomentar soal film Fawer: The Winner Stands Alone.

Menurut Saut Situmorang, satu hal yang disayangkan dari film ini adalah pemilihan judul yang menggunakan Bahasa Inggris, padahal jika menggunakan bahasa Batak akan lebih eksotis, tuturnya.

Selain itu, banyak hal yang kurang dari film ini, karenanya, Saut menyebut film ini belum utuh sebagai sebuah film dokumenter. Tetapi, ia memahami bagaimana sulitnya mengumpulkan data-data terkait Sumatra khususnya Batak, “sampai hari ini pun, jika melihat dari literatur-literatur yang ada, kebanyakan justu memuat tulisan-tulisan tentang Jawa”, terangnya.

Saut kemudian menceritakan, ketika dirinya berkesempatan untuk merantau dan menjadi mahasiswa di Selandia Baru. Di kampus tempat ia berkuliah terdapat jurusan Indonesian Studies, namun sebagain besar materi pembelajaran yang ada di jurusan itu cenderung hanya membahas Jawa.

Menurut Saut, hal ini sedikit banyak dipengaruhi oleh keadaan sosial yang ada di zaman kolonial, karena di masa itu para penjajah lebih lama menguasai Jawa, “karena lebih lama menjajah Jawa, orang Belanda menjadi sangat ‘akrab’ dengan Jawa”, tambahnya.

Kemudian Saut Situmorang menilai bahwa hal yang dilakukan Jhon Fawer, yakni mengumpulkan dan mengoleksi berbagai literatur tentang Sumatra juga mendirikan Literacy Coffee, perpustakaan berkonsep kafe itu sangat luar biasa. Karena dengan itu, dapat menggiring orang-orang yang datang, yang awalnya mereka datang hanya untuk sekadar bersantai sembari menikmati kopi, juga ikut membaca buku-buku yang ada di sana.

Setelahnya, diskusi beralih pada persoalan literasi. Bagi Anas Kurniawan, kemampuan literasi erat kaitannya dengan kemampuan memproyeksikan pengetahuan yang kita miliki. Dalam hal ini, Jhon Fawer dapat dijadikan salah satu contohnya, ketika seorang mahasiswa sejarah memproyeksikan pemahaman dan minatnya dengan mengumpulkan berbagai literatur yang berkaitan dengan sejarah juga sosial budaya Sumatra.

Lebih lanjut, Anas menyatakan bahwa sebenarnya aktivis literasi adalah kritik terhadap sistem pendidikan kita yang keberpihakannya tidak jelas. “pendidikan mestinya berpihak kepada, yang sering kita ucapkan ketika LK1, berpihak kepada Mustadh’afin, kepada kaum yang tertindas”, tambahnya.

Menurut Anas, Jhon Fawer adalah nol koma sekian persen dari sekian banyak masyarakat Indonesia yang memiliki kesadaran, yang mampu menganalisis dirinya, yang mampu melihat keberadaan dirinya, yang mampu melihat keadaan sosial kemasyarakatannya, bagaimana ilmu pengetahunannya bisa bermanfaat bagi masyarakatnya.

Diskusi malam itu berakhir sekitar pukul sebelas malam. Beberapa orang terlihat merapat ke Saut Situmorang dan segera mengambil potret bersama, sebelum kemudian pulang. Beberapa lainnya yang sebagain besar adalah kader HMI Komisariat Ushuluddin masih bersantai sembari berbincang-bincang, sebelum pada akhirnya kembali ke kediaman masing-masing.

Sudut Pandang Penulis

Sebenarnya ada hal yang menarik untuk disoroti terkait diskusi persoalan literasi dan kegiatan di komisariat. Hampir seminggu sebelum kegiatan nobar dan diskusi film itu dilangsungkan, saya sempat ngopi dan ngobrol bersama Bung Irfan, sapaan akrab Kepala Bidang PTKP Komisariat Ushuluddin.

Di tengah obrolan, ia menceritakan kegalauannya soal sedikitnya para kader yang datang di setiap kegiatan-kegiatan komisariat. Irfan memiliki anggapan sementara terkait hal ini, menurutnya barangkali teman-teman kader merasa kegiatan yang ada belakangan ini terkesan monoton, sehingga hanya sedikit dari mereka yang tertarik untuk mengikuti kegiatan yang ada. Karenanya Irfan berharap, kegiatan nobar dan diskusi film yang juga merupakan ide dari bidang PTKP ini dapat memberikan warna baru untuk kegiatan di komisariat.

Pandangan sempit saya sebagai kader “Newbie” di komisariat ini adalah, barangkali kawan-kawan pengurus bisa lebih sering mengadakan kegiatan nobar, olahraga bareng, dan lain semacamnya, sehingga kegiatan-kegiatan yang ada di komisariat tidak terkesan monoton, tidak hanya seputar baca buku dan diskusi saja.

Seperti yang Anas Kurniawan sebutkan dalam sesi diskusi bedah film ini, bahwa “kemampuan literasi erat kaitannya dengan kemampuan memproyeksikan pengetahuan apa yang kita miliki”. Artinya kemampuan literasi itu turut berperan dalam pemunculan ide-ide dan inovasi-inovasi baru, melalui pemahaman dan analisis diri, pemahaman mengenai lingkungan sekitar. Jika konteksnya adalah sebagai pengurus organisasi, maka kemampuan untuk memahami apa yang butuhkan dalam kehidupan berorganisasi menjadi suatu yang penting.

Tulisan ini pernah tayang di buletin Ushuliyyah edisi 30 dalam rubrik Kolom.

 

Ariefiansyah Ibnu Ramadhan
Mahasiswa Studi Agama-Agama di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Related Articles

Stay Connected

- Advertisement -spot_img

Artikel Terbaru