Sebagai jantung suatu bangsa, pendidikan memiliki sejarah yang panjang dan kompleks. Pendidikan turut berperan dalam peradaban masyarakat di seluruh dunia. Pendidikan hadir sebagai proses yang bertujuan untuk menyediakan pengetahuan, keterampilan, nilai-nilai dan pemahaman.
Pendidikan yang berkualitas memberi dampak yang luas pada pembangunan masyarakat. Kualitas pendidikan menentukan pula kualitas perkembangan sosial, ekonomi, politik, dan lain sebagainya.
Lalu, bagaimana ketika pendidikan hanya bisa diakses oleh kelas ekonomi menengah ke atas? Bagaimana jika pendidikan dijadikan produk bisnis belaka? Ragam pertanyaan tersebut sangat relevan dengan kondisi pendidikan hari ini, khususnya di Indonesia. Bagaimana tidak, komersialisasi pendidikan sebagai kepentingan profitabilitas menjadi fokus utama intistusi pendidikan saat ini. Kurikulum pendidikan hari ini hanya berorientasi pada tuntutan pasar.
Jika pendidikan dijalankan dengan tujuan komersial belaka dan disandingkan dengan administrasi yang ribet, akan berdampak pada penurunan mutu pendidikan tersebut. Hal ini pula lah yang membuat akses pendidikan menjadi semakin tidak merata.
“Biaya kuliah mahal mas, keluarga kami nggak mampu.” Ujar emak-emak kere yang tulus di luar sana menampilkan potret institusi pendidikan formal hari ini, terutama perguruan tinggi sebagai strata tertinggi dalam dunia pendidikan. Administrasi yang begitu rumit di perguruan tinggi justru membuat nilai esensial pendidikan hanya sebatas lomba kecakapan administrasi saja.
Cobalah kita berkaca pada masa pra tahun ajaran baru, institusi pendidikan berlomba-lomba mem-branding kampus atau sekolahnya, agar para mahasiswa dan pelajar baru tertarik untuk masuk. Padahal, itu hanyalah jebakan membosankan yang didesain secara sistematis. Anomali adalah diksi yang tepat untuk potret wajah pendidikan kita hari ini.
“Pendidikan murah adalah hak segala anak bangsa”. Pendidikan modern lah justru yang mematahkan semangat diksi demikian. Hal ini dikarenakan pendidikan formal yang semakin jauh dari harapan anak-anak bangsa. Materi yang tidak kontekstual menciptkan ketidaksesuaian antara materi yang dipelajari di kelas dengan realitas yang terjadi di masyarakat.
Kita sepakat bahwa pendidikan sudah sangat jauh dari wajah aslinya. Fenomena korupsi, guru yang mencabuli muridnya, hakim yang mudah disuap, anak pejabat yang suka main hakim sendiri dan berbagai rentetan kasus lainnya, adalah imbas daripada pendidikan yang keluar dari jalur koridornya.
Bagaimana tidak, ilmu yang didapat dari pendidikan adalah semacam supir yang selalu menyetir seseorang kepada jalan yang tepat atau justru jalan yang salah. Pendidikan yang tepat ataupun tidak akan dengan mudah ditransfer seseorang untuk kemudian menjadi landasan atas tindak tanduknya.
Kendaraan roda dua yang harusnya diisi dengan Bahan Bahkar Minyak (BBM) malah justru di isi dengan minyak goreng. Ini adalah analogi yang agaknya cocok untuk menggambarkan dunia pendidikan saat ini. Pendidikan yang buruk menghasilkan dampak negatif yang luas pada individu dan masyarakat. Keterbatasan pengetahuan dan keterampilan oleh anomali tersebut dapat menyebabkan keterhambatan perkembangan pribadi dan profesionalisme.
Tidak jarang kita semua melihat pelajar dan mahasiswa hari ini yang memiliki tabiat-tabiat buruk seperti manja, merendahkan pekerjaan orang lain, hipokrit, suka membanding-bandingkankan orang lain menurut strata sosial, membuang-buang waktu, dan lain sebagainya. Kebobrokan tersebut tak lain datang dari libido pendidikan yang sudah menjadi anomali.
Kita harus secara jujur mengakui bahwa selama dua belas tahun mengenyam pendidikan sekolah dasar hingga menengah atas bahwa pikiran kita dipenjara. Kita tidak dilatih untuk berpikir kreatif dan kritis. Kita justru disuruh diam dan menghafal pelajaran yang monoton, dengan dalih sopan dan santun ke guru.
Sopan dan santun adalah mata pelajaran yang tak tertulis di kurikulum. Namun pelajaran yang tak terhitung jumlah SKS nya ini, yang selalu saja jadi dalih. Dampak daripada itu individu kehilangan rasa percaya diri, takut untuk mengeluarkan pendapat, demam panggung, larut dari penilaian orang lain, oleh karena momok penilaian dibangku kelas, akhirnya pengalaman-pengalaman itu yang memproduksi karakter seseorang.
Pendidikan formal mestinya melahirkan wong-wong yang mempunyai imajinasi yang progresif, yang mampu menjawab persoalan sosial hari ini, yang mempunyai keberpihakan pada suatu hal yang benar dan tepat. Itu semua didapat jika berada di lingkungan pendidikan yang berkualitas. Namun, potret pendidikan sekarang terbalik. Justru sekolah dan kampus memprodukasi wong-wong yang imajanasi statis dan tidak ada keberpihakan.
Pada Akhirnya, orang semacam itulah yang akhirnya berkoar-koar dan yang tampak di depan publik. Doktrin pendidikan di Indonesia yang mementingkan kesopanan hingga pikirannya pun dapat disopankan. Padahal jelas sopan dan santun itu bahasa tubuh. Bagaimana bisa pikiran yang bebas disopankan.
Akhirnya dengan dalih berbicara ketika disuruh itulah yang membuat imajinasi wong-wong itu statis. Banyak orang pintar di negeri ini justru diam, salah menafsirkan filosofi padi. Akhirnya, yang koar-koar di ruang publik adalah orang yang tidak mampu memproduksi gagasan progresif untuk menjawab persoalan-persoalan sosial.
Pemangku kebijakan perlu berkomitmen, untuk merestorasi sistem pendidikan dengan pendekatan yang berkelanjutan. Peran pemerintah tidak hanya, datang pura-pura baik pada masa pemilu. Janji memperbaiki sektor pendidikan sangat rasional ketika keluar dari mulutnya saat kampanye. Namun, ketika duduk di jabatan tertentu, penyakit amnesia datang seolah diatur.
Pemangku kebijakan harus terus memperhatikan ketimpangan pendidikan. Karena sistem pendidikan yang tidak adil dapat menciptakan ketimpangan sosial dan ekonomi. Reformasi sistem pendidikan harus mendorong akses yang setara bagi semua individu, tanpa memandang latar belakang sosial, ekonomi, atau etnis.
Perbaikan kurikulum, metode pengajaran, penilaian, dan fasilitas pendidikan. Hal ini akan membantu pelajar atau mahasiswa keluar dari penjara-penjara yang diataur dari kurikulum statis. Sehingga muara dari pendidikan gamblang untuk mempersiapkan pelajar untuk tantangan dunia nyata. Kolaborasi, pengawasan yang ketat, dan evaluasi berkala itu yang diharapkan masyarakat sebagai langkah memastikan penerapan yang efektif dan memeperbaiki pendidikan bagi masa depan bangsa yang lebih baik.
Sistem pendidikan warisan kolonial yang kolot dan statis perlu direformasi sampai ke akar-akarnya. Emak-emak sudah frustasi dengan sistem pendidikan yang ada. Pendidikan menjadi momok yang menakutkan bagi ibu-ibu yang rela tahan lapar, hemat setiap harinya, demi menyisipkan uang untuk menunggu jadwal pembayaran biaya pendidikan anaknya. Namun benefit yang didapat hanya sekedar formalitas belaka.
Ijazah dan titel hanyalah legitimasi bahwa seseorang pernah duduk di bangku sekolah. Dan kita hari ini masih saja berkutat pada budaya ‘orang dalam’ sebagai cara mendapatkan pekerjaan. Haknya untuk kerja yang layak setelah lulus sekolah atau kuliah diambil seseorang yang tidak punya kualiatas namun punya orang dalam.
Orang asing jadi anak kesayangan, anak bangsa jadi kacung di rumahnya sendiri. Hak anak bangsa yang keluar dari rahim emak miskin itu diperkosa dan dirampas. Hal tu semua adalah dampak dari sistem pendidikan yang bobrok. Pendidikan formal pada akhirnya bukan menjadi peluang. Namun, ia malah berubah menjadi momok yang menakutkan bagi emak-emak kere yang tulus di seberang sana. Lantas, kapan hal ini akan direformasi?
Tulisan ini pernah tayang di buletin Ushuliyyah edisi 30 dalam rubrik Opini.