Udah jadi pengetahuan umum, kalo interaksi cinta-cintaan pasangan jaman sekarang itu sangat jauh beda dengan dulu. Kalo dulu untuk sekadar sapa menyapa masih harus nulis surat yang kadang nulisnya pagi selesainya sore, sekarang udah nggak lagi.
Apalagi bagi yang LDR-an, mereka udah punya cara alternatif seperti berkirim pesan lewat WhatsApp sampai vidio call-an untuk sekadar ngebantu ngilangin rasa rindu sebelum akhirnya bertemu. Jangankan yang LDR-an, yang nggak pun juga sama.
Sebuah pertanyaan yang dianggap lebay
Biasanya, pertanyaan sederhana seperti, “udah makan belum?” akan banyak menghiasi percakapan mereka. Dan hal ini saya rasa emang udah lumrah bagi sepasang kekasih.
Namun, pertanyaan yang sebetulnya lumrah ini, seiring berjalannya waktu mulai dianggap lebay oleh beberapa orang. Alasannya, pertanyaan tadi dianggap berlebihan.
Saya yakin, di antara kalian pernah di cap ataupun mencap lebay seseorang hanya karena masalah di atas. Kalo saya sendiri, sempat punya pengalaman terkait hal ini.
Upaya untuk nggak dibilang lebay
Dulu semasih PDKT sama si dia, saya sering dikasi saran oleh seorang teman untuk menjadi manusia yang nggak membosankan. Salah satunya ya, dengan cara meminimalisir kata-kata yang dianggapnya lebay, salah satunya pertanyaan di atas tadi.
Berbulan-bulan saya PDKT sambil lalu menghindari pertanyaan tadi. Hingga akhirnya saya ditolak. Bayangkan, berbulan-bulan saya kerahkan segala cara dan upaya, hanya untuk mendengar kata “nggak” darinya. Sungguh perjuangan yang tak dimenangkan.
Banyak tenaga yang terkuras sia-sia
Benar sih, penyebab utama kenapa saya ditolak bukan karena ikut saran dari seorang teman tadi, toh sarannya pun emang nggak ngejamin saya bisa diterima juga—emang udah nasib aja karena punya tampang minimalis.
Tapi dari kejadian itu, saya mulai sadar bahwa banyak tenaga yang terkuras sia-sia. Nggak, bukan karena saya ditolak. Penolakan adalah bagian dari ornamen hidup. Yang saya maksud sia-sia yaitu upaya untuk nggak dibilang lebay ini.
Karena setelah saya mencoba berpikir lebih objektif lagi, sebenarnya pertanyaan “udah makan belum?” itu nggak lebay, melainkan saran teman dan pengetahuan saya yang semenjana inilah yang nggak benar.
Kasih sayang kok iya dianggap lebay
Begini, saya coba jelaskan. Dalam suatu hubungan, komunikasi yang terbuka dan kepedulian terhadap pasangan itu punya peranan penting untuk bisa membangun ikatan yang kuat. Menanyakan apakah pasangan kita udah makan apa belum seharusnya ditafsiri sebagai rasa peduli.
Karena sejatinya, tindakan seperti itu mencerminkan upaya untuk lebih memahami dan mendukung pasangan dalam aktivitas sehari-hari. Bukan hal asing lagi kan, kalo kesibukan atau stres dapat membuat seseorang melupakan waktu makan.
Nah, pertanyaan seperti inilah yang sering kita anggap biasa aja akan menjadi sangat penting. Karena selain pengingat, pertanyaan tadi juga dapat membuat kedekatan emosional kita makin erat. Ini bentuk kasih sayang loh, masak iya mau dianggap lebay. Kan aneh!
Tolok ukur yang nggak masuk akal
Saya rasa, apa yang saya tulis ini bisalah, memberi kalian sudut pandang baru. Karena pada dasarnya, pertanyaan yang kalian anggap berlebihan ini nggak ada bedanya sama orang tua kita yang juga sering mengingatkan dengan pertanyaan serupa.
Terkahir, meski saya gagal punya pasangan, saya akan tetap lantang mendukung sejoli yang sering menanyakan udah makan apa nggak kekasihnya. Karena emang nggak masuk di akal kalau pertanyaan itu dijadikan tolok ukur seseorang untuk bisa disebut lebay.
Tulisan ini pernah tayang di buletin Ushuliyyah edisi 33 dalam rubrik Rehat.