Secara sederhana, narasi toleransi merupakan rights to differ, hak untuk berbeda. Ruang berbeda ini sangat luas. Namun, persoalan yang banyak dibicarakan adalah terkait dengan keagamaan dan keyakinan. Pada prinsipnya, seluruh umat manusia diberi panggung, bukan hanya perbedaan etnis atau budaya, tapi juga dalam merayakan perbedaan agama dan keyakinan. Tahun ini, kita memiliki masalah baru, dalam toleransi.
Pada Rapat Koordinasi Nasional (Rakornas) di Sentul International Convention Center (SICC) 17 Januari 2023 lalu, Presiden Joko Widodo memberi arahan tegas supaya Pemerintah Daerah (Pemda) dan Forum Koordinasi Pimpinan Daerah (Forkompimda) menjamin hak beragama dan beribadah seluruh warga sesuai jaminan UUD 1945, khususnya Pasal 29 ayat (2). Namun, pada kenyataannya, arahan tersebut diabaikan.
Eskalasi atas tindakan intoleransi muncul setelah arahan yang diberikan Presiden. Siaran pers Setara Institute (2023) mencatat beberapa esk alasi intoleransi—mulai dari gangguan, penolakan dan pembubaran peribadatan di sejumlah daerah. Beberapa diantaranya pelarangan aktivitas keagamaan Jemaah Ahmadiyah Indonesia (JAI) oleh Forkompimda, Sintang, Kalimantan Barat (26/1). Hal serupa terjadi di Parakansalak, Sukabumi (2/2) berdasarkan kesepakatan Bupati dan Forkompimda. Di Kabupaten Purwakarta Jawa Barat, Pemerintah Daerah (Pemkab) menyegel bangunan Gereja Kristen Protestan Simalungun (GKPS) (1/4).
Kasus lainnya, kemudian menjadi sorotan publik, penutupan dengan terpal Patung Bunda Maria di Lendah, Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta (22/3). Peristiwa ini berujung dengan kesalahan informasi pihak kepolisi-an, bahwa penutupan patung dilakukan sukarela oleh pemilik tempat ibadah.
Persoalan lain yang kemudian muncul, terjadi intimidasi kepada jurnalis Tempo dari Gerakan Pemuda Ka’bah (GPK) yang merupakan underbow Partai PPP. Jika kita melihat laporan tahunan dan siaran pers yang dikeluarkan Setara Institute, Center for Religious and Cross-Cultural Studies (CRCS) UGM, Wahid Institute dan Imparsial, Indonesia memiliki rapor merah mengenai toleransi beragama yang harus segera dibenahi.
Dalam 10 tahun terakhir, persoalan kebebasan beragama dan pendirian rumah ibadah sangat kompleks. Ada banyak sekali faktor yang menjadi penyebabnya. Semua konflik pasti memiliki latar belakang yang berbeda di setiap tempat. Sebenarnya, ada dua aktor penting yang bermain: pemerintah pusat dan daerah.
Perlu diakui,dalam hal ini, peran pemerintah menjadi sangat penting. Pertama, masalah stuktural terkait kebijakan legal formal mengenai perizinan pembangunan rumah ibadah. Setidaknya pemerintah, terutama Menteri Agama, bisa meninjau ulang ketentuan diskriminatif di dalam PBM 2 Menteri tahun 2006 yang dianggap menjadi penghambat. Seharusnya, pemerintah memfasilitasi hak warga negara dalam beragama.
Kedua, persoalan sosio-kultural terkait relasi antar pihak yang berbeda. Pemerintah daerah, memiliki kesempatan dengan adanya Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) untuk mengambil peran. Fungsi ini bisa diperluas pada tatanan kampanye toleransi, perjumpaan lintas agama, serta resolusi konflik dan mediasi yang harus terus dikawal.
Melihat beberapa kasus di atas, apakah toleransi di Indonesia sudah menunjukkan sikap kedewasaannya, atau masih jalan di tempat?
***
Selama bulan Ramadan, sebagian akademisi dan pejabat kita dengan bangga menarasikan toleransi dan keberagamaan di Indonesia. Seolah-olah kita sudah selesai dengan hal itu. Narasi toleransi bisa kita temukan di berbagai platform. Pertama, narasinya hanya berkutat di ranah kelompok mayoritas.Kedua, pembicaraan yang sering diulang, perihal memupuk kesalehan paripurna sebagai umat beragama.
Ramadan, seolah-olah hanya menjadi momentum,untuk meningkatkan hubungan personal dengan Tuhan, dengan segala pola berlebihan yang bisa kita lihat di media sosial. Sedangkan, instrumen yang paling penting adalah meningkatkan kualitas pribadi yang secara determinan dampaknya berpengaruh pada ruang publik.
Akhir-akhir ini, pembicaraan toleransi semakin absurd. Boleh dibilang, tidak ada toleransi otentik hari ini. Jika ada, mungkin hanya golongan tertentu yang memilikinya. Selain karena kurang tegasnya pemerintah dalam menangani kebebasan beragama, intoleransi bisa muncul dan tumbuh secara tiba-tiba karena toleransi otentik belum tertanam dalam masyarakat kita. Toleransi yang tengah digaungkan belakangan ini masih sebatas pseudo-toleransi.
Seseorang, akan bersikap toleran lebih karena koeksistensi sosial yang bersifat superfisial. Sikap seperti ini mungkin akan ditemukan di beberapa tempat. Dengan demikian, yang tercipta adalah toleransi formal-transaksional. Toleransi macam ini pada dasarnya hanya berbentuk seremonial belaka. Ucapan hari raya atau serangkaian acara keagamaan, terkadang hanya berbentuk simbol atau instrumen semata. Seseorang bisa saja toleran karena alasan tata krama sosial, bukan karena ketulusan.
Tidak sulit kita temukan, beberapa orang akan merasa imannya diganggu oleh orang lain. Perkara ini menjadi semakin sulit jika dihadapkan dengan fakta, bahwa itu tidak bisa dihindari. Akhirnya, di ruang publik, persoalan kebebasan beribadah dan beragama bukan menjadi problem sosial,tapi iman. Sekali lagi, toleransi bukan hanya sekedar jumlah rumah ibadah yang didirikan. Bukan pula banyaknya pertemuan lintas agama. Tidak juga deklarasi damai yang hanya disorot media mainstream dan media sosial. Toleransi beragama di Indonesia masih menyimpan sekam. Sedikit saja terkena percikan api, hangus sudah bangsa ini.
Maka, toleransi bukan hanya ”hak” untuk berbeda, tetapi menjadi ”kewajiban” untuk menghargai perbedaan. Sebagai sebuah bangsa yang beragam, apa yang kita butuhkan adalah ketegasan pemerintah, ikut andilnya LSM, pemuka agama, dan akademisi dalam kampanye toleransi. Selain itu, kita harus memupuk kesadaran diri masing-masing, bahwa perbedaan adalah fakta.Bukan mitos.
Dalam waktu dekat, kita akan menghadapi pesta politik di tahun 2024. Hal ini akan bertambah runyam jika tidak diperhatikan lebih cermat.
Tulisan ini pernah tayang di buletin Ushuliyyah Edisi 29 dalam rubrik Editorial.