Mengawali tulisan kali ini tentu, setiap individu ataupun kelompok dalam cakupan luas, pernah terlintas dalam sudut introspeksinya terkait apakah hidup untuk pemenuhan atas hal-hal tertentu? Atau lebih spesifik tujuannya yakni, apakah hidup memang untuk kebahagiaan? Ataukah hidup memang untuk mengisi kekosongan makna? Secara gamblang dapat dikatakan bahwa, segala pemenuhan ditentukan oleh diri kita sendiri secara independen. Dengan ilustrasi real bahwa yang memiliki kuasa ataupun kehendak atas diri sendiri ialah diri itu sendiri.
Seseorang bisa saja merasakan senang ataupun sebaliknya ketika berserah terhadap barang-barang tertentu ataupun melakukan setiap kegiatan-kegiatan tertentu yang di dalam keadaan tersebut terdapat semacam kekaburan atas dorongan, motivasi, ataupun reaksi atas pemenuhannya. Ada semacam kehendak, will yang transendental atas setiap motif dari segala kegiatan kita tanpa terkecuali.
Oleh karena itu, dalam setiap usaha untuk memahami setiap aspek yang metafisik layaknya kehendak ataupun dasar sebab-akibat tertentu, menjadi penting untuk mengetahui semacam kaca mata, pisau bedah, ataupun garpu dan sejenisnya untuk menyingkap realitas tersebut.
“Das ding an sich”, ternyata bagi Immanuel Kant “Yang ada pada dirinya tidak dapat diketahui” atau yang Kant sebut sebagai noumena. Sedari dulu Kant menguatkan dalam prolegomena (1783) yang ditujukan untuk ‘kritik akal budi murni’ bahwa setiap-setiap penampakan empiris tidak dapat diturunkan untuk dijadikan sebuah kognisi bagi akar metafisik. Karena metafisika bagi Kant bergantung pada kemampuan akal, yang hampir dalam relasinya dengan pengalaman sangat nihil.
Karena berangkat dari sebuah faktor universal tentang hukum alam sebagaimana ‘Adanya’, Kant menggagas kategori kompleks lalu menunjukan konsep murni pengalaman pada struktur pemahaman.
Kant dengan metafisik-transendentalnya hadir sebagai pendobrak keterbatasan ketika ada sesuatu yang dijadikan batasan. Kant dengan rasionya tidak lantas disebut kaum rasionalis yang khas dengan abstraktifnya, akan tetapi ‘kritis’ dia jadikan untuk tidak mencantumkan batas eksplorasi pada kemungkinan-kemungkinan yang mampu direngkuh pengetahuan manusia.
Hume membangunkan Kant dengan prinsip keseragamannya atau ‘skeptisisme’ dalam sebab-akibat lalu, Kant memperoleh jawaban dari skeptisisme tersebut dengan merekonsiliasikan antara rasionalisme dengan empirisme dalam magnum opus-nya pada 1781 yakni Critique of Pure Reason dengan prolegomena sebagai primer dengan harapan lebih mudah dipahami. Magnum opus dari Kant mewujudkan kesadaran bahwa metafisika harus memiliki sebuah pondasional yang kokoh supaya metafisika dapat diandalkan sebagai pijakan serius.
Schopenhaeur beranggapan bahwasanya apabila Kant menyampaikan tentang eksistensi dunia yang tidak mampu dicerap melalui observasi empirik dan hadir sebagai teka-teki maka Schopenhaeur menganggap Kant telah keliru. Menurut Schopenhaeur, seharusnya apabila eksistensi dunia ditampilkan sebagai sebuah teka-teki, tentu solusi dari teka-teki yang menyelubungi dunia seharusnya tampak melalui pemahaman dunia secara menyeluruh, bukan dari konsep universal yang melampaui.
Karena metafisika bagi Kant bergantung pada kemampuan akal, yang hampir dalam relasinya dengan pengalaman sangat nihil dunia pengalaman. Karena itu tugas metafisika tidak untuk melampaui pengalaman di mana dunia itu ada, tapi guna memahaminya secara menyeluruh, semenjak pengalaman eksternal adalah sumber utama dari semua pengetahuan. Karena itu solusi dari teka-teki yang menyelubungi dunia hanya mungkin bila pengalaman eksternal dan batin dikombinasikan.
Rumusan awal dari Kant, terkait noumena yang tidak dapat diketahui, bagi Schopenhaeur belumlah final. Karena apabila ketika menuntut penyingkapan atas phaenomena maka seharusnya instrumen batiniah mampu menangkap pemahaman atas noumena dengan cara mencapai kesadaran atas will, Schopenhaeur menyebutnya sebagai thing-in-it self atau yang ia sebut dengan gerbang sempit menuju kebenaran.
Schoupenhaeur sendiri menjerumuskan dirinya ke dalam arus ‘Volunt a risme ‘ atau ‘filsafat kehendak’ yang diambil dari bahasa Latin, voluntas ataupun wille dalam bahasa Jerman. Will dijadikan realitas tunggal dari segala sesuatu. Dengan bertolak dari pandangan Kant di atas, bagi Schoupenhaeuer “Das ding an sich”, “yang ada pada sesuatu ialah kehendak” kehendak yang bergerak secara metafisis.
Will dijadikan kunci atas dasar penyingkapan, antara subjek dan objek haruslah berupa dua hal yang berbeda. Apabila sesuatu hanya dilihat dari luar terkait keadaannya maka eksistensinya hanya tampak sebagai representasi semata. Karena ketampakan yang tersingkap dari luar mengindikasikan adanya pola ‘indirect’ atau from without atas objek. Di sisi lain terdapat penyingkapan dari dalam, yakni will diketahui secara segera dan langsung karena will dilihat dari dalam dirinya sendiri atau from within. Sudah sangat jelas bahwa Schopenhaeur mengarahkan kepada kesadaran diri (Self Counsciussnes) mengantarkan kita kepada pengetahuan atas will.
Hal yang paling penting dari karakteristik pemikiran Schopenhaeur ialah ditunjukkannya karakteristik dari ‘mengetahui’ dan ‘menghendaki’. Konteks mengetahui di sini ialah bila mana ketika subjek hendak mengetahui tentang ‘keadaan’ suatu objek maka, ia harus terlepas dari segenap keterikatan atas objek, dengan maksud bahwa dia mengetahui ‘kediriannya’ dengan sebab ‘selain’ dirinya dan mengetahui di sini bersifat terbatas.
Sedangkan dalam kasus menghendaki, subjek berada dalam kesadaran dirinya yakni dia tidak menemukan pembedaan atas dirinya dengan objek. Akan tetapi taraf kesadaran dirinya bukan lagi pembedaan atas objek yang ingin ia ketahui melainkan dia mengetahui yang diketahui sebagai sebuah perbedaan yang dinamakan kehendak atau will sebagai (subjek yang mengetahui sekaligus menghendaki) yang bersifat unlimited dan bebas.
Oleh karenanya will merupakan summum genus bagi diri manusia. Sebab tak hanya menghendaki dan memutuskan dalam artian yang sempit,tapi juga semua perjuangan, keinginan, pengelakan, harapan, ketakutan, kerinduan, cinta, dan benci, pendeknya semua yang menyusun kebahagiaan dan duka cita kita, hasrat dan keengganan, adalah pengaruh dari will, adukan, dan kombinasi dari menghendaki dan tidak menghendaki. Bila keadaan kita sesuai dengan yang diharapkan muncul kesenangan dan kebahagiaan. Jika sebaliknya, muncul kekecewaan dan duka.
Kesenangan dan penderitaan bervariasi dalam derajat dan jenis, akan tetapi semua dapat dilacak kembali pada pengaruh menghasrati dan kebencian, yakni, pada will yang menyadari dirinya dalam keadaan terpuaskan atau tak terpuaskan.
Terdapat tiga kutub dalam voluntarisme. Pertama kehendak merupakan semacam mekanisme psikologis. Will bagi kaum voluntarisme psikis kukuh dengan anggapan bahwa dorongan atas sesuatu berasal dari faktor-faktor psikis. Kedua, kehendak merupakan acuan dasar atas segala bentuk tindakan baik buruknya sesuatu, di kutub kedua inilah letak voluntarisme etis. Sedangkan yang terakhir ialah kehendak ditujukan hanya semata-mata merupakan proyeksi dari entitas tertinggi, yakni Tuhan. Voluntarisme ketiga ini disebut dengan voluntarisme teodise.
Lebih lanjut akan diulas bahwasanya tidak ada pembeda antara will dan tubuh. Keduanya adalah satu ke satuan yang fundamental. Dalam artian tertentu, juga dapat dikatakan bahwa will adalah pengetahuan apriori dari tubuh, dan tubuh adalah pengetahuan a posteriori dari will.
Perwujudan will seharusnya secara langsung mengakomodir tubuh untuk tindakan tertentu sedangkan di saat yang sama, tubuh harus menyesuaikan diri dengan will, dikarenakan will sendiri bermanifestasi didalamnya. Sebagaimana yang diungkapkan Schoupenhaeur “Gigi, kerongkongan, dan saluran usus adalah perwujudan rasa lapar; alat kelamin adalah perwujudan dari dorongan seksual.”Berlanjut kepada sisi gelap will yang ‘teralihkan’ dari self counciusness. Will tidak menyadari dirinya sepenuhnya.
‘Kehendak purba’ muncul dalam istilah Kant “ketiduran dogmatis” atau hanya berada pada tataran primite force. Will hanya menyadari bahwa ia hanya memiliki kehendak semata-mata hanya untuk hidup (derwille zum leben). Apabila kehendak hanya ditujukan untuk hidup, semata-mata hidup maka will tidak menyadari kebutaannya sebagai kehendak buta yang larut hanya dari waktu ke waktu hanya demi pemenuhan atas ‘hasrat’.
Hidup dengan kebutaan kehendak selalu mengarah kepada pemenuhan hasrat, apabila hasrat terpenuhi maka, perasaan senang dapat dirasakan. Setelah merasakan kesenangan, lalu muncullah dengan sendirinya rasa kebosanan. Seperti pertamakali menginginkan mie level, cicipan pertama kali selalu membangkitkan rasa interest dan menstimulus kesenangan. Namun apabila setiap harinya mie level disajikan ke kita, tentu rasa bosan dan jenuh mulai datang.
Ketika itulah ‘hasrat tergeletak’ tidak berdaya dikarenakan titik tersebut merupakan representasi dari kesia-siaan. Lalu dengan sendirinya muncul ‘hasrat baru’ sebagai alternatif lain. Hasrat baru menemukan kesenangan baru, kesenangan baru merasakan kebosanan baru, sampai pada siklus hasrat tergeletak lagi untuk kedua kalinya. Di sinilah will tidak menyadari kebutaannya, terjebak dalam siklus penderitaan-penderitaan hidup. Schophenhauer mendefinisikan siklus hidup seperti tersebut di atas “hidup adalah konflik penderitaan”.
Apabila sedari awal will tidak menyadari dirinya maka solusi yang tampak ialah will mengetahui bahwa hasrat buta tersebut bebas untuk memilih laku etis ataupun estetis. Laku will dalam representasi etisnya, will ‘terlepas sementara’ untuk tidak menghendaki ataupun hanya penerimaan sebagai laku utama.Sedangkan dalam laku kedua will dapat menyelaras dengan realitas melalui laku estetis yakni, will merasakan ‘agape’ cinta dan kecintaan.
Fenoumena ialah pluralitas will, sedangkan thing-in-itself ialah noumena dari will yang tidak terjamah temporalitas dan ruang, ia tunggal dan tidak terbagi. Setidaknya sekalipun realitas tampak sebagai kosmos dengan keteraturan, akan tetapi yang terlihat dari luar hanyalah ketergantungan ruang dan temporalitas.
“Maka izinkanlah sarang dibangun terlebih dahulu sekalipun tanpa adanya gagasan tentang telur-telur, izinkanlah jaring-jaring estetis laba-laba muda bergelayut di atas sana tanpa adanya gagasan tentang mangsa yang ia jadikan motivasi atas jaringnya.”(WWR 1819).
Atau jangan-jangan “by nature, all man long to know.” (Aristotle). Atau pada akhirnya, “kebahagiaan datang untuk memilih antara ketidaknyamanan menyadari penderitaan mental dan tidak nyaman diperintah oleh mereka?. Ilusi memenjarakanku namun kebenaran ini tidaklah mampu membebaskan aku dari penjara. Entah itu pil merah ataupun pil biru, paling tidak penyesalan tidak mewujudkan diri atas setiap pilihan”.
Tulisan ini pernah tayang di buletin Ushuliyyah edisi 29 dalam rubrik Opini.