24.8 C
Yogyakarta
Monday, December 23, 2024
spot_img

Gerakan Literasi Media Sipil sebagai Distroyer Hegemoni Oligarki

Sejarah pergerakan tidak pernah sepi dari peran aktif masyarakat sipil dalam menyuarakan kritik terhadap penguasa. Kehadiran mereka sebagai basis yang harus dilayani pemerintah tidak jarang membuat hak mereka diabaikan, bahkan di rampas oleh pemerintah atau oligarki yang berdiri di dalam tampuk kekuasaan. Karena merasa dikhianati, gerakan people power hadir untuk menuangkan keresahan terhadap tindakan sewenang-wenang pemerintah demi kembalinya nilai-nilai kesejahteraan dan keadilan kepada rakyat.

Sadar akan ancaman gerakan sipil, oligarki yang ngeyel mencoba untuk membangun benteng besar yang tidak terlihat untuk melanggengkan aktivitas ekploitasi ekonomi untuk memanjakan kekayaan pribadi dan kelompoknya. Tidak heran jika banyak pimpinan perusahaan masuk dalam elit politik untuk mengambil kesepakatan memperkuat sistem ekonomi yang mereka jalankan. Imbas dari hal tersebut adalah masifnya peraturan perundang-undangan yang pro terhadap oligarki dan menyulitkan masyarakat menengah kebawah.

Keluwesan untuk memainkan penguasaan secara wacana juga tidak sulit untuk mereka jalankan. Wacana-wacana yang dikembangkan untuk melumpuhkan kesadaran masyarakat dan memperkuat posisi oligarki mereka. Permainan ekonomi secara jelas akan mudah untuk dibaca oleh gerakan sipil dan para cendekiawan bahwa aktivitas perekonomian mereka hanya untuk kepentingan pihak-pihak tertentu semata. Oleh karena itu, pengayaan wacana sebagai hegemoni terus diupayakan untuk mencegah aksi people power.

Teringat suatu pembangunan wacana yang dilakukan oleh Wodrow Wilson, Presiden Amerika Serikat pada tahun 1916, ia menghipnotis rakyatnya yang sebelumnya anti perang menjadi masyarakat yang tringginas dalam medan pertempuran. Ia membentuk suatu komite yang ia sebut sebagai Creel commitee yang bergerak memainkan media. Hasil dari semua itu dapat disaksikan bagaimana Amerika Serikat membabi buta dalam konfrontasi Perang Dunia.

Cara kerja hegemoni adalah membuat rakyat merasa diperhatikan namun dibalik itu semua ada hal yang diinginkan oleh si dalang untuk mengubah arah berpikir warga negara. Tak ayal, dari strategi tersebut, masyarakat tidak disadarkan pengetahuan dan nalar kognitifnya telah dikendalikan oleh pemerintah. Hal yang biasa terjadi dan bahkan dikuliti oleh Paulo Freire adalah hegemoni dunia pendidikan. Dunia pendidikan menjadi wahana yang ampuh untuk menggiring arah berpikir manusia menuju arah yang diinginkan pemerintah.

Jika ditarik kepembahasan pembukaan UUD 1945, tentu hegemoni politik kontras adanya. Spirit “mencerdaskan karakter bangsa” tidak dapat diwujudkan jika praktik hegemoni masih bertebaran. Hal tersebut karena hegemoni berorientasi untuk melepas kesadaran masyarakat dan dikontrol sesuai dengan kebutuhan pemilik kepentingan. Singkatnya, perilaku hegemoni politik perlu untuk diperhatikan dan di kontrol untuk menjaga kesadaran setiap individu maupun sosial. Monopoli pemikiran mudah di akui sisi kalangan elit politik jika tindakan hegemoni akut terjadi.

Dampak paling buruk dari hal tersebut adalah penguasa dapat meredam aksi kritis warga negara karenapemikirannya di penjara dalam penundukan. Sehingga, potensi otoritarianisme besar kemungkinan akan merajalela. Kemungkinan terburuk tersebut butuh obat penawar dan strategi ampuh untuk mereduksi gerakannya, dalam hal ini, peran edukatif yang disebarkan melalui media sosial dapat menjadi pilihan yang tepat mengingat warga yang perlu disadarkan banyak bereksistensi dalam media sosial.

Melihat tantangan tersebut, sebagai warga negara yang sadar, taktik dan sterategi apa yang dapat diaplikasikan untuk melawan hegemoni politik tersebut? Menjawab pertanyaan tersebut, optimalisasi teknologi digital dapat menjadi senjata yang ampuh untuk merobohkan kungkungan hegemoni politik. Argumen tersebut tidak berlebihan dan utopis karena disadari atau tidak, aktivitas masyarakat benyak bersinggungan dengan dunia teknologi digital. Selain itu, di era Revolusi Industri 4.0 peran teknologi digital begitu masif adanya. Banyaknya masyarakat yang menggunakan dunia maya dapat dijadikan ruang kolektif untuk memberikan penyadaran kepada mereka.

Platform media sosial yang diganderungi oleh semua kalangan dapat menjadi ruang take and give informasi yang diperlukan. Konten edukatif dalam bentuk visual dan sebagainya dapat diperkaya sebagai ruang meningkatkan keilmuan supaya terhindar dari praktik hegemoni politik. Pernyataan Ilmu Psikologi bahwa manusia lebih cepat memahami melalui audiovisual dapat dimanfaatkan sebagai acuan untuk menjalankan optimalisasi teknologi digital untuk menghilangkan budaya hegemoni politik. Terlebih, dengan adanya media sosial sebagai ruang bebas untuk menuangkan ekspresi emosi maupun ilmu pengetahuan perlu diperkaya konten edukatifnya untuk menyenggol hal-hal yang kontra-produktif lainnya.

Jika negara dikendalikan oleh golongan oligarki maka tidak sulit untuk menerka bahwa mayoritas masyarakat kedepannya akan semakin di-miskin-kan. Kekayaan alam di eksploitasi secara sepihak. Mafia tambang dan lain sebagainya mendapat proteksi hukum dan wacana untuk melanjutkan aktivitas ekonominya. Melihat realita tersebut, bagaimana peran yang harus dimainkan oleh gerakan sipil?.

Gerakan sipil selain harus diperkaya secara basis dan gerakan harus juga memperkaya pengetahuan. Pertukaran pikiran harus masif digalakkan untuk menelanjangi modus di balik wacana yang ditiupkan para pemegang kebijakan yang dikomandoi para oligarki. Hegemoni yang dimainkan harus disikapi dengan ilmu pengetahuan supaya dapat diatasi. Karena hal itu akan memperburuk aktivitas berbangsa dan bernegara kedepannya.

Kemerdekaan masyarakat sedikit demi sedikit akan di rampas dengan memperbudak pemikiran rakyat. Pemikiran tersebut dapat dipebudak karena pemegang hegemoni telah mengontrol pemikiran masyarakat kearah yang mereka inginkan. Hal tersebut dapat di retas jika gerakan masyarakat memperkaya opini publik dan memasifkan diskusi atau pertukaran pemikiran.

Pemegang hegemoni jika tidak ditandingi justru akan memperburuk keadaan. Gerakan oposisi tidak akan terlihat kembali karena secara tidak sadar merelakan haknya dirampas. Mereka hidup dalam pemikiran dan pemahaman yang dikontrol oleh pihak-pihak yang tidak bertangguang jawab. Oleh karena itu sangat tidak layak untuk membiarkan prilaku hegemoni khususnya yang dikendalikan oleh oligarki karena akan berdampak kepada pemiskinan dan hal yang lebih buruk lainnya.

Tulisan ini pernah tayang di buletin Ushuliyyah edisi 28 dalam rubrik Opini.

Related Articles

Stay Connected

- Advertisement -spot_img

Artikel Terbaru