Kegelapan menyesaki ruang. Entah sudah berapa lama, aku terdiam dengan mata membelalak pada kegelapan ini. Jarum-jarum pada jam dinding di kamarku merangkak dari detik ke detik, menit menuju menit, membungkus keheningan malam yang kian berbunyi. Untuk pertama kali, aku mencintai bunyi-bunyi. Tidak, malam ini tidak hening seluruhnya. Di luar sana, keheningan dipecah oleh beberapa kendaraan yang berpacu dengan jarak. Oleh kerumunan orang sedang meracau di tepi jalan dengan satu tangannya yang memegang botol arak. Dan, jauh nun di kaki langit, keheningan dipecah oleh gemuruh suara ombak.
Satu lagi, yang harus kamu tahu, ketika tepat pukul satu, keheningan akan dipecah oleh tangis perempuan yang berasal dari antah berantah. Namun, aku yakin, tempatnya berada sangat dekat dengan kamarku. Aku mendengarkannya sambil bergidik ngeri. Ini bukan perihal kesetanan dan semacamnya. Aku bertanya-tanya, jenis rasa sakit seperti apakah yang telah menghantam perempuan itu sehingga ia menangis tersedu-sedu? Begitu perih. Tangis perempuan itu sesekali diselipi teriakannya sendiri yang tercekat oleh ketakutan akan terdengar oleh massa. Napasnya tersengal, bahkan terkadang terasa sangat berat untuk dikeluarkan. Sementara itu, yang bisa kulakukan hanyalah terpaku di pojok kamar.
Kuberitahu padamu, tangisan perempuan itu berulang setiap malam. Selama berbulan-bulan penuh aku mendengarkannya dalam diam. Pernah suatu malam aku tergerak mencarinya, aku keluar kamar dan berjalan di lorong, mendekatkan telinga kanan pada setiap pintu kamar tetangga kosku. Tetapi, nihil. Suaranya menghilang dengan sempurna saat aku berada di ujung lorong yang berlawanan dengan letak kamarku. Sejak saat itu, aku mengabaikannya dan tak pernah tergugah untuk membicarakannya kepada siapa-siapa.
“Aisa! Aisa, tolong bangun. Cepat keluar kamar dan … Aisa!” Suara seseorang memanggilku dari luar kamar, berusaha membangunkanku dengan nada memohon, pintu kamarku diketuknya dengan perlahan. Entah, entah siapa dan kapan.
“Aisa! Aisa, tolong bangun. Cepat keluar kamar dan carilah cahaya, Aisa!” Suaramu memanggilku dari luar kamar, dari luar jangkauan, berusaha membangunkanku dengan nada memohon, pintu jiwaku diketukmu dengan perlahan. Entah, entah sejak kapan dan pagi ke berapa kamu datang memaksaku melaksanakan perintah. Seluruh tubuhku basah dan gelisah. Aku terbangun dengan keterkejutanku, jantungku berdebar. Aku baru tersadar bahwa saat ini sudah pagi, arah jarum jam panjang di dinding akan segera mendarat di angka sembilan. Sial! Jadwal UTS Metodologi Penelitian dimulai tepat 30 menit yang lalu.
Aku keluar kamar, menyusuri lorong kemudian menuruni tangga yang letaknya terhubung dengan buritan. Kamar kosku berada di lantai dua, sementara lantai bawah merupakan tempat tinggal sang pemilik kos. Dengan drama terdesaknya aku oleh waktu, aku disambut oleh keributan orang di dapur dan di ruang tengah. Bahkan, di halaman pun orang-orang berkumpul. Beberapa orang meneriaki namaku. Tanganku digenggam erat dirayu untuk menoleh dan berhenti. Tak ada waktu,nanti kuhubungi lagi!
Sesampainya di kampus, aku bertemu denganmu. Kamu menanyakan beberapa hal tentang kabar: kondisiku, kesehatanku, kuliahku, dan Ibu. Tidakkah kamu ingin mengungkit persoalan mencari cahaya? Sayangnya, aku harus memotong pembicaraan kita, kujelaskan padamu bahwa aku tengah memburu waktu ujian dan langsung berpamitan. Di kelas, aku dan beberapa teman yang juga terlambat, mendapatkan kesem- patan mengerjakan ujian dengan waktu yang tersisa. Bolpoin kami bergerak dengan ragu. Jantung kami berdetak tanpa ragu. Selain itu, keheningan menyesaki ruang kelas. Keheningan kian berbunyi. Untuk kedua kali, aku mencintai bunyi-bunyi.
“Ia telah bertemu dengan cahayanya.” Begitulah, komentar orang-orang tentang kematian Leila, anak semata wayang Ibu Nur, pemilik kosku. Aku mengutuki diriku yang pagi tadi tidak menyadari keramaian. Para keluarga, kerabat, dan tetangga masih terus berdatangan untuk melayat. Anak-anak kos, termasuk aku, ikut membantu mengerjakan urusan demi urusan dalam rangkaian prosesi pema- kaman, sebentar lagi jasad akan dikebumikan.
Leila, tidak banyak aku melakukan interaksi dengannya, sehingga tidak banyak yang aku tahu tentangnya. Hanya, desas-desus di antara anak kos, mengabarkan beberapa kali ia melakukan percobaan bunuh diri. Trauma mendalam telah ia alami sejak bertahun-tahun yang lalu. Aku tidak mengetahui secara pasti tentang traumanya disebabkan oleh apa, nyatanya, hasil autopsi mengatakan kematiannya tidak disebabkan ia bunuh diri. Kini, orang-orang tengah menahan tangis untuk menyematkan doa-doa. Keheningan menyesaki ruang pekuburan. Keheningan kian berbunyi. Untuk ketiga kali, aku mencintai bunyi-bunyi.
Tengah malamnya, acara seharian prosesi pemakaman dan tahlilan benar-benar selesai. Beberapa saudara Ibu Nur telah meninggalkan rumah duka dan beberapa lagi menginap di rumah duka, aku dan anak kos lain kembali ke kamar masing-masing. Saat aku sudah bersiap merebahkan diri di ranjang, lagi, aku mendengar suara tangis perempuan itu. Aku menyadari kehadirannya dan terpaku untuk sementara waktu. Namun, setelahnya, aku benar-benar mengabaikannya, kantuk telah menumpuk menyerbuku. Tak lama kemudian, aku terlelap.
“Aisa! Aisa, tolong bangun. Cepat keluar kamar dan carilah cahaya, Aisa!” Suaramu memanggilku, dari luar jangkauan, Kini, orang-orang tengah menahan tangis untuk menyematkan doa-doa. Keheningan menyesaki ruang pekuburan. Keheningan kian berbunyi. Untuk ketiga kali, aku mencintai bunyi-bunyi. berusaha membangunkanku. Sangat kusesali, kamu selalu datang memerintah. Sementara itu, seluruh tubuhku kembali basah dan gelisah. “Apa pentingnya mencari dan menemukan cahaya? Lalu, bagaimana cara menemukannya?” Aku baru tersadar, rupanya pertanyaanku telah luput dari perhatianmu hingga berjam-jam lamanya. Memutuskan beranjak dari tidur panjang, aku berniat mencari udara segar. Setelah menuruni tangga, aku mengintip-intip jendela pembatas antara dapur dan ruang tengah. Kembali sepi. Hanya ada Ibu Nur dan satu orang tamu wanita. Keduanya terdiam, sama-sama tengah menundukkan kepala.
Kedukaan, menyelimuti rumah Ibu Nur. Aku tidak tahu bagaimana kekacauan dalam hatinya atas kematian Leila. Sebelas tahun yang begitu pendek untuk menyusul kematian suaminya. Kelak, Ibu Nur berkata padaku, “Suamiku telah mati lebih lama dari itu, lebih dari puluhan tahun yang lalu.” Keheningan menyesaki ruang-ruang. Keheningan kian berbunyi. Untuk kesekian kali, aku mencintai bunyi- bunyi.
Suatu waktu, aku berkata dan bertanya padamu, “Membosankan sekali, hidup selalu menghantarkan manusia pada pertemuan dan perpisahan. Lalu, mengapa manusia, mengapa kita harus merasakan kehilangan?” Kamu hanya membalasku dengan senyuman dan aku sangat puas dengan itu, aku juga mencintai senyummu. Hingga sore itu, hidup menghantarkanku pada pertemuan dengan seorang perempuan tua, yang menjuluki hidupnya sebagai proses panjang perihal menjemput kesepian-kesepian.
“Tujuan kita sama, nak. Saya ingin menjenguk saudara saya. Saya mendapat kabar bahwa dia baru saja mengalami kemalangan.” Sepulang dari kampus, aku ber temu dengannya di halte, saat tengah menunggu bus A32. Sesekali, kulekatkan pandanganku kepadanya.
Sang Puan membuka kisahnya saat kami sudah berputar-putar dengan berbagai macam basa-basi. Kami sudah memasuki bus, dan ia mulai bercerita, “Dahulu, saya mempunyai seorang kekasih. Aisa, kamu tahu apa yang dirasa lebih indah bagi seorang perempuan dibandingkan dengan segala sesuatu yang ada di dunia ini?” Sambil melihat binar di matanya, aku menggelengkan kepala sebagai jawaban.
“Perempuan sangat senang ketika dirinya merasa dikagumi, dicintai.”
Dahulu, ia mempunyai seorang kekasih. Dunia terasa lebih dari surga saat dia mencintai kita, sebesar rasa kita mencintainya, ujarnya. Ia sangat suka menghabiskan waktu dengan kekasihnya, bahkan setelah kekasihnya itu sudah menikah dengan perempuan lain.
“Suatu hari, kami mabuk. Dia memandang saya yang terkapar tak berdaya,dan secara sadar membawa saya pulang ke rumah perni- kahannya. Saya demam selama berhari-hari setelahnya, dan saya dirawat istrinya. Setelah siuman, kamu tahu, alangkah terkejutnya, saya mendapatkan cahaya dari sorot mata istrinya.
“Sejak saat itu, saya memutuskan hubungan dengannya dan dengan pernikahannya. Entah perasaan apa yang telah mengilhami saya waktu itu. Cahaya itu indah, kamu pernah mendapatkannya, nak? Apa yang dilakukan orang-orang setelah mendapat cahaya? Saya jatuh cinta pada cahaya dan berusaha untuk menjadi seidentik mungkin dengan cahaya.” Aku termenung mendengarkannya. Keheningan menyesaki ruang perjalanan. Keheningan kian berbunyi. Untuk kesekian kali, aku mencintai bunyi-bunyi.
“Barangkali, pada waktu yang bersamaan, saya masih jatuh cinta dengan mantan kekasih saya, bahkan hingga saat ini, saya masih belum menikah karenanya. Tetapi, saya sudah mendapatkan cahaya. Sepuluh tahun kemudian, saya mendengar bahwa mereka mendapatkan seorang putri jelita yang kelak juga akan menjadi cahaya, sebuah pancaran dari ibunya.”
Setelah turun dari bus, aku menuntunnya ke alamat yang ia inginkan. Kami sampai tujuan dan sedang berada di halaman sebuah rumah, saat seorang Ibu Nur baru saja keluar rumah dan berjalan menyambut kami, aku yang seorang anak kosnya, dan sang Puan yang seorang saudara se-identik dengannya. Lalu, sambil memeluk erat sang Puan, Ibu Nur berkata, “Sedari tadi, aku gelisah. Aku sudah tidak sabar ingin beranjak pergi melihat cahaya.”
Kemudian, malam menjelang. Bagiku, malam adalah misteri. Langit dengan kegelapannya. Bumi dengan sedikit keheningannya. Tetapi, barangkali, pada kegelapanlah cahaya menampakkan diri dan pada keheninganlah bunyi-bunyi dilahirkan kembali. Malam-malam merangkai kehidupanku, dan aku tidak pernah lagi mendengar suara tangis perempuan itu dan aku tidak pernah lagi dihampiri; kamu di mimpiku. Namun, malam ini, aku mengirim sebuah pesan singkat kepada kamu, dengan mengulangi perkataan Ibu Nur, aku mengetik, “Halo, mari esok bertemu. Aku sudah tidak sabar ingin beranjak pergi melihat cahaya.”
Tulisan ini pernah tayang dalam buletin Ushuliyyah edisi 29 dalam rubrik Cerpen.