Ada sebuah tuduhan receh yang kira-kira bunyinya seperti ini “Maba (mahasiswa baru) jurusan filsafat biasanya over kalau ngobrolin Tuhan” atau, “obrolan cowok kalau udah jam 12 malam ke atas, biasanya bahas-bahas Tuhan”. Seolah-olah hanya mahasiswa filsafat atau cowok yang selalu ngobrol ngalor-ngidul tentang Tuhan. Padahal kalau main ke warung-warung di pedesaan, pagi, siang atau sore, ketemu ibu-bapak, ngopi , makan gorengan, sambil ngerokok kretekan, pasti ada topik tentang Gusti (Tuhan) yang nyangkut dalam obrolannya. Memang, di banyak meja diskusi, Tuhan tidak pernah bosan untuk dibicarakan.
Begitu juga dengan Pak Kautsar Azhari Noer, menulis buku “Tasawuf Perenial” (2003), yang tidak jauh dari ngomongin Tuhan. Di dalamnya, ada satu sub-pembahasan; “Tuhan Yang Diciptakan dan Tuhan Yang Sebenarnya”. Kasarnya, ada “Tuhan Yang Palsu” dan ada “Tuhan Yang Asli”. Yang jelas, “Tuhan Yang Asli” tidak seperti yang dikatakan iklan Lasegar di TV “ ada badaknya ”.
Pak Azhari memulai dengan kisah ketika ia berada dalam masa-masa perjuangan, merampungkan tugas akhir kuliah S-1. Di kantor Direktorat Urusan Agama Hindu dan Buddha, ia menyampaikan terang kepada orang kantoran, yang kebetulan penganut agama Buddha “Buddhisme tidak mempunyai konsep yang jelas tentang Tuhan”. Kitab-kitab ajarannya, juga tokoh Budha seperti Sidharta Gautama, menolak berdiskusi dan membuat konsep tentang Tuhan.
Sejurus kemudian, orang kantoran itu miskin keadaan; “Orang-orang Islam telah melakukan kesalahan besar dalam memahami Tuhan”. Menurutnya, kesalahan itu terletak pada kepercayaan kaum Muslim bahwa Tuhan itu dimulai dan begitu, misalnya mempunyai 20 sifat atau 99 nama. Mungkin ini yang dimaksud firman Allah swt. “Janganlah kamu memaki sesembahan (Tuhan) yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa dasar pengetahuan…” (QS Al-An’am: 107).
Pada cerita tersebut, mereka saling memuji Tuhan satu sama lain, tanpa saling mengetahui Tuhan versi ajarannya si orang kantoran dan Tuhannya versi Pak Azhari. Barangkali, mereka, atau kita juga tidak memahami Tuhan yang kita yakini sendiri. “Semoga saya dapat lebih banyak mempelajari dan memahami persoalan yang dibicarakan dengan orang itu” tulisnya. Kisah itu seperti langsung mendapat kepastian dari Tuhan. Syukur Pak Azhari masih mendapat perhatian-Nya. Lagi pula, kapan Tuhan tidak memperhatikan hamba-hamba-Nya? Seperti dalam “99 Nama Tuhan” yang tadi disebut, Dia Maha Mendengar, Maha Melihat, Maha Mengawasi, dan Maha-Maha lainnya.
Suasana overthinking tidak bisa dihindari, setelah mendengar ucapan terakhir orang kantoran itu; “Manusia mengungkapkan Tuhan yang tidak terbatas dengan kata-kata dan bahasa manusia yang terbatas”, dan “Tuhan yang seperti itu adalah Tuhan yang menciptakan manusia, bukan Tuhan yang sebenarnya”. Lalu seperti apa Tuhan itu? Sejauh mana manusia mendapat akses kepada Tuhan? Dan dengan fasilitas (pengetahuan) apa agar manusia mengetahui Tuhan yang asli itu?
Pak Azhari menuturkan pendapat-pendapatnya Ibnu ‘Arabi (560-638/1165-1240), sosok yang dikenal meminum Tuhan, sehingga banyak sentilan negatif ditujukan kepadanya. Menurut Ibnu ‘Arabi, Tuhan yang diyakini manusia adalah Tuhan kepercayaan ( Ilah al-Mu’taqad ). Sederhananya saja, manusia itu akhirnya hanya “menuhankan” kepercayaannya kepada Tuhan. Persis jika tidak sama dengan kepercayaannya, khususnya salah, sesat, neraka. Seperti juri dalam audisi keselamatan saja. Bahkan ada yang merasa superior dengan keyakinannya, yang lain jelek, bunuh diri dan musnahkan.
Jadi keinget Eco dan Iman , karya tipis Pak Goen (panggilan dari Goenawan Mohamad); bahwa manusia menjadi buta akibat keyakinannya dijadikan “Tuhan”, bukannya kebenaran atau Tuhan yang asli. Walhasil, hidup semakin sempit akibat sekat-sekat yang diciptakan manusia itu sendiri, dengan dalih; keyakinan, kebenaran, agama, Tuhan, atau apa pun itu.
Semakin suram saja, Tuhan! Katanya, kepercayaan itu sesuai dengan kadar pengetahuannya. “Maka, ketahuilah bahwasannya tiada Tuhan selain Allah…” (QS Muhammad: 19), para ulama menafsirkan bahwa akses terhadap Tuhan (Allah) itu harus diawali dengan ilmu pengetahuan.
Begini, kepercayaan itu isinya adalah pengetahuan. Tapi, selain bagi para filosof epistemologis, pengetahuan itu isinya harus mencakup keyakinan (kepercayaan). Jadi mau percaya kepada yang mana? Jangankan tahu Tuhan yang asli, proses mengetahui-Nya saja sudah membuat saraf motorik kita sakit. Ini bisa jadi bumbu bagi diktum para filosof dan saintis “manusia adalah hewan yang berpikir”, mungkin “berpikir ruwet”, kalau “berpikir dipikirkan” terlalu kejam.
Anggap salah satunya benar, bertuhan tidak cukup hanya dengan keyakinan, harus dikuatkan dengan pengetahuan. Namun bagi Karl Kaspers (1883-1969); salah satu filosofi eksistensialis teistik dari Jerman, pengetahuan hanya akan membatasi manusia. Ia tidak lagi bebas, karena otaknya sudah terjebak dalam bangunan pengetahuannya sendiri. Misal, ada orang mengulek sambal pakai gula merah (aren), soalnya dia cuma tahu sambal versi buatan bibinya (pembantu). Ada juga yang mengulek sambal pakai gula pasir karena lihat ibu di dapur.
Ketika dua orang ini bertemu, satu kontrakan, karena sama-sama kuliah di Jogja misalnya, lantas mereka saling menyalahkan masalah cara membuat sambal tersebut. Si “Gula Merah” belum pernah mau melihat sambal buatan si “Gula Pasir”, rasanya aneh, salah, sesat, ajaran dari mana itu? Begitu pun sebaliknya. Mereka membatasi pengetahuannya, yang muncul dari daerahnya masing-masing, satu dari Kalimantan dan satu lagi dari Sunda, umpannya begitu. Hampir mirip dengan soal qunut antara Muhammadiyah dan NU.
Barangkali itu yang dimaksud Jaspers sebagai Grenzsituationen, situasi batas manusia. Pengetahuan yang terbatas, kemampuan terbatas hanya sejauh jangkauan tangan atau langkah laki-laki. Pandangan matanya saja yang jauh, itu pun kalau tidak ada tembok yang menghalangi. Biasanya, karakter dan pengetahuan manusia terbentuk oleh lingkungan hidupnya. Karena awal kelahiran manusia itu tidak mengetahui soal apa pun, “Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatu pun….” (QS An-Nahl: 78).
Pertanyaannya, emang ada bayi yang baru keluar dari selangkangan ibunya langsung memfatwakan halal haram sesuatu? Atau sekedar merenungkan Tuhan seperti maba-maba jurusan filsafat? Lagi-lagi, inilah keterbatasan manusia. Jadi, jangan terlalu yakin dengan doktrinnya kaum antroposentris “manusia adalah pusat dari segala sesuatu”.
Keterbatasan inilah, yang bagi Jaspers akan mengantarkan manusia ke depan pintu ketuhanan. Asalkan dengan hati yang rendah dan bersih dari berbagai kepentingan, jangan seperti pejabat yang banyak kepentingannya, maka Tuhan akan tampak. Pengetahuan hanya petunjuk, bukan Tuhan itu sendiri. Baik Ibnu ‘Arabi, Sidharta Gautama, juga Jaspers mengetahui bahwa dirinya sama sekali tidak mengetahui Tuhan dengan pasti. Jangan menjadi orang “Si Paling” kalau netizen di medsos katanya, renungi kembali hubungan kita dengan Tuhan. Jangan-jangan orang-orang yang mengaku ateis bahkan bisa lebih bertuhan dari kita.
Intinya, persepsi kita tentang Tuhan itu tidak mewakili sosok Tuhan itu sendiri. Itu hanya Tuhan yang manusia ciptakan, “Tuhan Yang Palsu”. Meskipun bukan “Yang Asli”, persepsi kita tentang Tuhan juga dipersembahkan dari “Tuhan Yang Asli”. Biar tahu manusia, sedikit berdecak agar hilang rasa lapar (keingintahuan) terhadap Tuhan. Pak Azhari menawarkan jalan “Apofatik”, memutar untuk pemabuk Tuhan. Caranya mudah, jalani hidup sesuai keinginan-Nya, sesuai dengan Cinta-Nya kepada kita. Ikuti kekasih-Nya (Muhammad); “ Katakanlah: “Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mencintai dan mengampuni dosa-dosamu”. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (QS Ali Imran : 31). Sejak bangun dari kasur tidur, sampai kembali rebahan di kasur itu, laku lampah kita harus lumayan mirip-mirip dengan Baginda Muhammad saw.