Perhelatan poltik pada tahun 2019 lalu berjalan begitu ganas, hal ini membuat stabilitas nasional terganggu. Berbagai narasi seperti Cebong vs Kampret, radikalisme, politik identitas hingga isu-isu etnosentrisme muncul pada saat itu. Keadaan ini membuat membuat antar golongan saling menyerang dan antar kubu saling menjelek-jelakan satu sama lain, tidak terkecuali anggota keluarganya sendiri. Keadaan tersebut pastinya menjadi pelajaran dan harapan supaya di era pergantian politik saat ini tidak terjadi lagi.
Setelahnya, Kementerian Agama mendeklarasikan program unggulan yang berfokus pada penguatan moderasi beragama, melalui Rencana Pembangunan Jangka Panjang Menengah Nasional 2020-2024. Hal ini sekaligus menunjukan keseriusan pemerintah dalam memerangi gerakan intoleran dan radikalisme yang belakangan terus berkembang.
Sebelum lebih jauh, satu hal kiranya perlu digarisbawahi kembali, bahwa hakikat moderasi adalah menjunjung tinggi ajaran agama untuk kesejahteraan hidup. Di samping itu, dalam era post modern ini, moderasi menjadi salahsatu landasan utama tentang bagaimana menjalani hidup di era yang serba cepat ini. Mengapa demikian? Karena era yang serba cepat ini menjadi wadah yang rawan untuk penyalah gunaan symbol agam untuk kepentingan tertentu, termasuk juga politik.
Hal yang kemudian berperan penting dalam moderasi beragama adalah toleransi. Secara sederhana, toleransi dapat diartikan sebagai hidup berdampingan secara harmonis di tengah perbedaan yang ada. Perlu juga dialog agama untuk menghindari ketidakselarasan dalam konteks fundalisme agama. Inilah nantinya yang akan menjadi ujung tombak moderasi melawan radikalisme.
***
Muncul pertanyaan menarik usai pesta politik lima tahunan 2024 ini, apakah moderasi beragama masih relevan di masa kini?
Jika kita perhatikan seksama, politik dan kekuasaan saat ini dihadapkan dengan era baru. Seringkali masyarakat diiringi dengan pergeseran dinamika beragama. Sehingga kita dihadapkan dengan tantangan untuk mempertahankan keseimbangan antara kepercayaan dan kebijakan.
Memang menjawab pertanyaan ini bukanlah perkara yang mudah. Butuh berbagai pandangan dalam mengurai kehidupan politik dan agama yang cukup kompleks. Pada sisi lain, moderasi beragama berupaya untuk menjaga keharmonisan dan menghidupkan nilai toleransi masyarakat. Namun di sisi yang lain, perubahan politik bisa menciptakan polarisasi yang memengaruhi praktik beragama. Inilah salah satu celah yang dimanfaatkan kaum radikalis untuk menebarkan pemahamannya secara struktural.
Dalam konteks yang lebih luas, pergeseran politik juga sering membawa perubahan pada kebebasan beragama maupun ekspresi beragama. Sebut saja kasus belakangan mengenai penolakan pembangunan rumah ibadah di Cilegon. Rencana pembangunan gereja di tanah milik Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) Maranantha ini di tolak oleh sejumlah elemen masyarakat. Hal ini bukanlah hal yang baru pertama kali terjadi, akan tetapi bisa disimpulkan bahwa kebijakan politik dan agama seringkali menjadi celah-celah yang menimbulkan bara permusuhan.
Tantangan ini lebih rumit lagi setelah sentimen berbau populis masuk dalam permainan. Di sinilah peran aktif dan pentingnya memahami serta mengimplementasikan penguatan moderasi beragama secara bijak. Dibutuhkan cara untuk menjaga kohesi sosial dan fragmentasi masyarakat dalam merespon dinamika ini. Hal ini menjadi langkah untuk mencegah kaum kontra radikalis berkembang dengan pesat dan bagaimana masyarakat menentukan arah kualitas kita di masa mendatang.
Indikator moderasi beragama adalah kebangsaan, toleransi, anti kekerasan, dan akomodatif terhadap budaya lokal. Adapun nilai-nilai dalam moderasi agama, yaitu penghormatan kepada tradisi, kemanusiaan, kemaslahatan umum, adil, berimbang, taat konstitusi, toleransi, anti kekerasan, dan komitmen kebangsaan.
Memang secara substansi apa yang terkandung dalam nilai-nilai moderasi sangatlah relevan dan penting untuk menjaga marwah negara saat ini. Akan tetapi perlu diwaspadai adalah bagaimana moderasi juga dapat menyebabkan pengenceran identitas agama dan nilai-nilai inti. Maksudnya adalah moderasi terkadang dilihat sebagai kompromi yang terlalu besar terhadap sosial politik yang terkadang tidak selalu mencerminkan keyakinan sejati penganut agama. Inilah yang perlu terus di evaluasi dan harus tetap mempertahankan nilai inti ajaran agama.
Lantas bagaimana cara kita memperkuat moderasi beragama? Ada beberapa hal yang dapat kita lakukan dalam memperkuat moderasi beragama. Pertama Pendidikan Inklusif, pendidikan adalah sosialisasi sekaligus tempat pembelajaran untuk menanamkan ideologi, keyakinan hingga etika dan sikap. Nah, hal ini tidak luput menjadi sasaran empuk para agen radikalisme untuk menyusup ke ranah pendidikan.
Menteri Pendidikan, Nadiem Makarim berpendapat pentingnya reformasi pendidikan yaitu untuk menciptakan lingkungan belajar yang inklusif dan mencegah segregasi. Beliau menekankan pada perlunya pendidikan yang membuka pikiran siswa terhadap keberagaman dan menghindarkan mereka dari pemikiran radikal.
Strategi selanjutnya di lingkungan masyarakat perlu dibiasakan untuk mengidentifikasi dan kritis terhadap perilaku ekstrem. Masyarakat perlu sensitif dan aktif untuk menindaklanjuti perilaku ekstrem dikalangan sosialnya. Misalnya dengan adanya pemberian sosialisasi moderasi, adanya kotak aduan layanan dan pemberian poster-poster stop kekerasan.
Hal tersebut dapat mendorong masyarakat untuk ingat supaya saling menyayangi antar manusia, dan bukan sebuah kemustahilan konflik yang biasanya sering terjadi di masyarakat itu bisa diminimalisir, bahkan mungkin juga hilang secara perlahan. Nah, pada saat itulah paham ekstrimis yang biasa mengincar masyarakat yang terbiasa dengan tindakan ekstrem akan kesulitan menemukan celah.
Selanjutnya, kepemimpinan agama yang moderat. Masyarakat harus mengedepankan memilih pemimpin yang mengedepankan interpretasi agama yang moderat. Hal ini menunjang untuk meminimalisir kebijakan yang akan diambilnya menyimpang dan tidak mempertimbangkan nilai-nilai moderasi.
Setelah itu, barulah sinergisitas pemerintah dan masyarakat memberikan pelatihan aksi bela negara, seperti melakukan sosialisasi. Saat sosialisasi bela negara inilah bisa mendatangkan badan-badan anti radikalisme seperti BNPT atau tokoh narasumber dari instansi TNI atau polisi. Hal ini akan memacu antusias warga dan dengan mudah untuk bersikap menentang segala bentuk dan tindakan radikalisme.
Dengan demikian, sudah bukan saatnya lagi kita terjebak pada hal-hal yang berorientasi pada kepentingan pribadi. Melalui moderasi dan evaluasi jangka panjang, kita terus berjuang untuk melawan gelombang radikalisasi. Sudah saatnya kita tidak terjebak pada polarisasi dan konflik-konflik konservatif. Kita dukung terus program moderasi dan penguatan nilai-nilai kebangsaan untuk anak cucu mendatang. Lawan!