Suatu masa dengan jangkauan dalam sekejap mata, ada ide yang hanyut, ada canda yang terusik, dan ada rasa yang terabaikan. Di tengah kerumunan warna, saat mata terlelap, gelap yang tak lagi sunyi, terang yang tak lagi suci, kicau burung hanya dering buatan yang tak lagi terdengar merdu. Malam tak lagi sejuk, sayang. Logam-logam genggam dengan berbagai macam kilauannya telah mengisi kekosongan hidup setiap manusia. Mimpi saat lelap bukan lagi tanda yang bermakna untuk ditafsirkan.
Sadarku hanyut, kadang nafasku sesak seakan tertimbun debu. Aku abai dengan orang di sekelilingku, tidak ada tanggapan untuk pertanyaan dari suara lisan, mereka malas bicara kecuali untuk mengolok-olok. Sayang, mereka malas mengulurkan tangan meski orang di sampingnya tersendat-sendat meminta pertolongan. Mentari yang dulu kita puja sebagai anugerah kini dicerca karena sengatannya membuat manusia seperti tersengat lebah.
Hari-hariku dulu bersamamu sangat indah. Hari-hari di mana bibirmu masih kucium dengan lembut dan pinggangmu masih kupeluk dengan erat. Tapi sekarang, sayang, saat katup mataku terbuka setiap pagi, aku melihat dunia yang selalu berubah dari hari ke hari. Orang-orang telah sibuk dengan percakapan-percakapan kecil, menari dengan nada dan melodi yang bagiku terdengar bising. Daun-daun kering yang dulu beraroma menenangkan telah disapu bersih dan diganti dengan kulit-kulit keras dari belerang yang tak lagi tercium sengat. Bumi kini sangat bersih, sayang. Bahkan aku tidak lagi dapat mencium aroma cumi bakar yang dibungkus dengan daun pisang.
Sayang, aku ingin bercerita sekaligus mengenang tiap helai rambut yang membuatku jatuh cinta padamu. Dunia ini semakin maju, kulit manusia saat ini terlihat tak berkerut sama sekali, tulang pun terasa tak rapuh lagi meski dengan umur yang cukup tua. Setiap bulan ada layanan khusus untuk itu dan menjamin bahwa fisik akan terlihat sempurna sampai ajal menjemput.
Bahkan dalam kuburan, fisik manusia diklaim akan abadi, sayang. Di tengah hari yang menyengat, aku membayangkan rambutmu akan selalu utuh, dengan rona merah bibirmu bagai senja. Bagaimana jadinya jika itu nyata? Namun itu khayali sebab kau sudah pergi karena kecerobohanku. Maaf, sayang, aku tidak bisa menjagamu tetap cantik seperti orang-orang sekarang.
Sungguh, sayang, dunia dengan kecanggihannya telah membentuk tatanan baru. Pejabat dengan kursi panasnya, pengusaha dengan perusahaannya, pekerja dengan alat-alatnya, dan rakyat dengan fasilitas yang mewah dari negara. Mereka tidak akan bicara jika bukan karena diri mereka sendiri.
Harmoni hidup? Jangan pernah tanyakan itu, sayang. Namun bagi mereka yang masih memegang teguh prinsip dan filosofi kesederhanaan demi merawat alam, hanya bertugas mengumpulkan tumpukan jutaan sampah plastik kemudian diserahkan ke perusahaan untuk didaur ulang. Tidak ada yang peduli dengan minoritas, sayang. Bagi negara dan rakyat pada umumnya yang menerima fasilitas canggih dari negara, mereka, minoritas, hanya setara dengan tumpukan jutaan sampah plastik yang akan didaur ulang itu.