Saya menulis tulisan singkat ini, sebagai sebuah bentuk “pertanggungjawaban” terakhir saya dalam mengurus badan yang sangat mulia di Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) ini, yakni Badan Pengelola Latihan atau disingkat BPL. Saya merasa perlu menulis pandangan saya ini, supaya publik HMI, khususnya HMI Cabang Yogyakarta dapat menyikapinya sesuai dengan kearifannya masing-masing.
Saya sengaja, tidak mau lagi dipanggil-panggil lagi oleh siapapun untuk ditanya, ditemui dan sebagainya, termasuk oleh pengurus HMI Cabang Yogyakarta. Dikarenakan satu dua hal yang saya nilai selama ini tidak membantu saya dalam menyelesaikan persoalan lembaga yang saya kelola ini. Sebab, hal ini terasa berlarut-larut, wasting time, melebar dan kadang tidak masuk akal.
Kalau dihitung-hitung, sejak saya terpilih sebagai Formatur Ketua Umum, sudah 10 bulan, dan sekarang menginjak bulan ke-11 tulisan singkat ini saya buat. Tujuan saya tak lain adalah agar tidak ada lagi kader HMI yang mengalami persoalan sama.
Saya membayangkan, betapa kasihannya kader itu bila mau berproses mengurus warisan yang mulia ini, lantas hak untuk memiliki dan mengatur waktu serta tenaganya direnggut secara sistemik oleh sesama kader yang lain. Semoga Allah SWT memudahkan proses kader-kader HMI dimanapun berada, Aamiin.
Berawal dari Rasa Sakit
Semua berawal dari sakit. Sakitnya memberi dampak krusial pada aspek pendidikan di organisasi kader itu. Awalnya, saya tak minat mengurus BPL. Pernah saya ditawari untuk bertarung menempati posisi Ketua Umum pada sekitar tahun 2020, tetapi saya menolak. Alasannya, saya mau rehat dulu, karena baru saja saya mengakhiri jabatan saya sebagai Ketua Umum HMI Komisariat. Sebab saya meras lelah setelah selama satu periode kepengurusan, “belajar” mengurus ummat.
Saya butuh rehat dan ingin menikmati suasana. Sejenak menjadi diri sendiri, bebas dan senang. Menikmati waktu. Melupakan kekecewaan. Dan, berefleksi atas kesalahan-kesalahan yang dievaluasikan sewaktu menjadi Ketua Umum dulu, dalam forum pengambilan keputusan tertinggi waktu itu.
Saya memilih untuk tidak menjabat dulu dan sedikit demi sedikit menyicil berbagai urusan menyangkur perkuliahan saya. Tidak apa-apa. Bagi saya, sewaktu masuk HMI, saya memang “tidak membawa apa-apa”. Sehingga, kurang pantas rasanya bila saya berakhir dengan “berharap apa-apa”.
Hati saya baru tergerak untuk ikut mengurus lembaga BPL itu melalui pemilihan Musyawarah Badan Luar Biasa (MUSBALUB) pada tahun 2023. Itu pun karena beberapa teman dekat saya menceritakan berbagai problematika yang ada dalam tubuh HMI, khususnya dalam BPL. Tepatnya sekitar awal Agustus. Saat itu adalah momentum terpilihnya saya sebagai Formatur Ketua Umum BPL HMI Cabang Yogyakarta periode 2023-2024.
Seiring waktu berjalan, saya menikmati kembali masa-masa yang cukup penting dalam proses ber-HMI saya. Bagaimana tidak, saya berkesempatan menyusun visi include dengan misinya, untuk saya aktualisikan dalam rangka memperbaiki badan yang sakit itu. Saya merasa diberikan “kehormatan” oleh segenap instruktur HMI Cabang Yogyakarta, untuk berkreasi dalam badan itu, sesuai dengan yang saya desainkan dalam forum Musbalub.
Tak Mulus Begitu Saja
Berbagai masalah mulai terjadi ketika penyusunan structural bagi orang-orang yang akan mengisi posisi-posisi di dalamnya. Terjadi perbedaan pendapat, yang bagi saya biasa saja, awalnya. Tetapi, perbedaan pendapat ini ternyata juga memakan waktu yang relatif lama, sehingga susunan kepengurusan baru bisa diselesaikan sekitar bulan Desember 2023.
Dari hasil susunan itu, terdapat pihak-pihak yang merasa dikecewakan. Pihak itu adalah saudara Mide Formatur 1, yakni kolega saya Nugroho Duwi Panji. Ia merasa tak dihargai, karena menurutnya ia adalah Mide Formatur 1 yang memiliki hak atas perkembangan perubahan nama yang mengisi pos-pos kepengurusan. Sudah menjadi pengetahuan di kalangan instruktur, bahwa yang bersangkutan juga memiliki harapan untuk menjadi Sekretaris Umum.
Tetapi saya juga memiliki beberapa pertimbangan. Pertama, saya tidak pernah menjanjikan secara pasti soal siapa-siapa yang akan menjadi Sekretaris Umum. Kedua, yang bersangkutan sudah pernah menjadi Ketua Bidang di Kepengurusan HMI Cabang Yogyakarta periode 2021-2022, sehingga sebelumnya telah berkesempatan untuk melanjutkan jenjang pengabdian struktural. Ketiga, saya pribadi cenderung menginginkan Sekretaris Umum yang masih “muda”, sehingga ia memiliki kesempatan dalam berjenjang. Awalnya saya ingin memilih saudara Athalariq Rafi Yansyra, tetapi beliau sudah berada dalam pos pengabdian yang lain. Sehingga, dalam pertimbangan panjang akhirnya pilihan itu diberikan kepada saudara saya Azrin.
Hal ini membuat Mide Formatur 1 kecewa, sehingga tidak mau menandatangani berkas pengajuan Surat Keputusan (SK) susunan kepengurusan.
Nama yang Tak Direstui dan Pengajuan yang Kedua
Selain posisi Sekretaris Umum, ternyata terdapat persoalan lain yang turut menghambat. Yakni terdapat pihak-pihak yang “tidak merestui” beberapa nama yang tertulis dalam pengajuan. Sehingga disyaratkan lah melalui rapat harian pengurus HMI Cabang Yogyakarta, bahwa untuk menjadi pengurus BPL HMI Cabang Yogyakarta harus mendapat surat rekomendasi dari komisariat asalnya.
Saya sempat menemui beberapa pihak yang tidak merestui itu, dan persoalan sudah mulai terurai tetapi tidak pada satu nama, yakni saudara saya Moh. Fawais. Awalnya, saya tidak mau “menghapus” nama Fawais itu. Alasannya, karena saya melihat bahwa dia memiliki potensi untuk mengurus salah satu bidang yang saya persiapkan.
Tetapi, karena “tarik-menariknya” begitu alot, saya akhirnya mengalah. Hal ini agar kepengurusan bisa segera berjalan, karena sudah menginjak masuk bulan Februari 2024. Saya lapangkan dada, dan berusaha memahamkan seluruh pihak yang bersangkutan untuk menerima garis ini. Alhamdulillah, yang bersangkutan sama sekali tidak mempersoalkannya.
Salah seorang fungsionaris HMI Cabang Yogyakarta yang saya temui, menyarankan saya untuk begitu saja, menghapus namanya. Setelah dihapus, insyaallah bisa segera beres. Akhirnya, saya diminta untuk segera menyusun berkas ajuan yang kedua. Kira-kira, sekitar tanggal 3 Maret sore di Jalan Kaliurang KM 12.
Saya dan sebagian teman-teman calon pengurus, mulai tersenyum, bahagia. Alhamdulillah, sudah mulai ada titik terang setelah sekian lama, meskipun harus menghapus nama salah satu teman yang lain. Tetapi, saya dan teman-teman itu tetap saling bergotong royong. Bagi kami saat itu, posisi itu hanyalah formalitas, tetapi fungsi adalah prioritas. Artinya, tidak apa-apa tidak punya posisi, yang penting tetap anfa’uhum lin naas, tetap bisa berguna bagi orang lain.
Tetapi, senyuman bahagia itu seketika berubah menjadi tatapan kosong. Mengapa? Ternyata hasilnya tidak ada sama sekali. Justru celah semakin ditemukan oleh pengurus HMI Cabang Yogyakarta dalam berkas ajuan saya kedua. Ternyata saya lupa dan salah mengetik nama dan kedudukan beberapa pihak. Yakni Mide Formatur 1 yang seharusnya saudara Nugroho Duwi Pandji, saya tulis dengan nama saudara Subairi. Sedangkan, saudara Subairi adalah Mide Formatur 2.
Saya pikir awalnya saya benar. Tetapi, ternyata keliru. Hasil pleno 4 MUSBALUB menyatakan bahwa Mide Formatur 1 adalah saudara Nugroho Duwi Pandji. Maka, “ya tidak apa-apa kalau saya revisi Kembali” pikir saya waktu itu.
Caretaker dan Manipulasi Formatur
Tetapi, kabar yang berhembus setelah berkas itu “gagal” disetujui oleh pengurus HMI Cabang Yogyakarta, justru isu mengenai pengambil-alihan oleh pihak yang sudah diberikan tanggung jawab (caretaker). Saya mendapatkan kabarnya, kira-kira pada bulan Maret akhir. Dalam pikiran saya, mengapa tidak mencoba untuk direvisi saja. Kan, itu sederhana. Hanya terbalik dan sangat mudah untuk dirubah dan diajukan kembali.
Tetapi, agaknya sebagaimana nasihat yang terkenal itu, bahwa kesempatan tidak datang dua kali. Sepertinya, pengurus HMI Cabang Yogyakarta tidak lagi membahas masalah SK Kepengurusan ini. Saya bertanya kepada pengurus HMI Cabang Yogyakarta yang bisa saya jangkau pada saat itu, apakah ada pembahasan mengenai tindak lanjut terakhir mengenai SK? Jawabnya sama saja. Tidak ada.
Seiring berjalannya waktu, justru saya mendengar kabar bahwa saya dikatakan sebagai pihak yang memanipulasi berkas itu. Saya tidak tau, apa yang dimaksud dengan manipulasi itu. Tetapi, mungkin saja saya salah. Dan, insyaallah saya tidak sedikitpun bermaksud untuk memanipulasi apapun.
Saya pikir, sejak saat itu pengurus HMI Cabang Yogyakarta sudah betul-betul akan mengambil-alih Badan ini. Lanjut pikiran saya justru saya bersyukur. Beban berat yang sempat dititipkan itu sudah akan diambil dari pundak saya. Tetapi, disaat yang sama saya juga merasa malu. Sehingga, saya juga mengatakan kepada beberapa teman.
Saya mohon maaf sedalam-dalamnya, saya membuat malu diri saya sendiri dan banyak orang. Saya gagal menyelamatkan badan ini. Saya sudah berupaya semampu saya. Tetapi, garis itu mungkin memang bukan ada pada saya. Baiklah, sudah cukup.
Persoalan Fundamental Hirarki Kekuasaan HMI dan Dampaknya yang Nyata
Badan Pengelola Latihan adalah oleh badan khusus bersifat semi otonom yang dibentuk oleh struktur pimpinan untuk menjalankan usaha, fungsi dan peran HMI dalam bidang pengelolaan latihan. BPL juga memiliki pedoman tersendiri yang dilahirkan dari hasil-hasil Musyawarah Nasional (MUNAS) yang tentu tidak boleh bertentangan dengan hasil-hasil kongres HMI.
Dalam pedoman BPL, pengurus BPL HMI Cabang mendapatkan pengesahan Surat Keputusan (SK) dari pengurus HMI Cabang. Hal ini juga tersirat dalam hirarki kekuasaan HMI yang menggambarkan posisi BPL adalah setara tapi agak “turun sedikit”, dibanding pengurus HMI Cabang ataupun tingkat yang lebih tinggi seperti BPL PB HMI.
Dalam kenyataan yang terjadi di HMI Cabang Yogyakarta hari ini, hal ini ternyata memberikan celah politis yang begitu terasa. Sistem ini begitu rentan, karena hal ini berarti bahwa nasib BPL HMI Cabang, KOHATI, LPP dan segenap institusi dibawah naungan HMI Cabang akan sangat ditentukan oleh moralitas dan keberpihakan pimpinan/pengurus HMI Cabang-nya masing-masing.
Semua berjalan baik-baik saja, manakala orang-orang yang duduk dalam kursi BPL HMI Cabang, Kohati, LPP dll itu – adalah orang-orang yang satu frekuensi dengan pimpinan/pengurus HMI Cabang-nya. Tetapi, problem mulai terjadi, manakala orang-orang yang duduk didalamnya mungkin adalah orang-orang yang tidak se-frekuensi dengan pimpinan/pengurus HMI Cabang-nya. Dalam bahasa yang lebih umum adalah ”bukan circle orang dalam”. Tentu ini sangat bisa dibaca sebagai celah dalam sistem oleh orang-orang yang memiliki kemampuan atas hal tersebut.
Artinya, tetap pada akhirnya kita berpegang pada moralitas dan keberpihakan pimpinan/pengurus HMI Komisariat, pimpinan/pengurus HMI Cabang dan jajaran pimpinan Pengurus Besar HMI. Sangat beruntung bila kita mendapatkan para pimpinan/pengurus adalah orang-orang baik. Sistem yang lemah dan punya celah itu, tetap dapat terjaga pelaksanannya karena dibimbing oleh moralitas dan keberpihakan para pimpinan/pengurus tadi.
Sebaliknya, celakalah kita bila mendapatkan para pimpinan/pengurus yang culas dan jahat. Sistem yang lemah dan bercelah itu, akan semakin hancur dan merusak sendi-sendi kehidupan organisasi yang lain.
Munas BPL HMI dan Sikap Saya
Disaat momentum Musyawarah Nasional (Munas) BPL HMI ini, saya bersyukur. Puji syukur bahwa instruktur dari seluruh Indonesia dapat berkumpul dan bermusyawarah untuk membicarakan masa depan badan yang mulia ini. Semoga melahirkan gagasan dan pemimpin BPL HMI yang segar dan mampu menjawab sekelumit persoalan perkaderan HMI hari ini.
Tetapi di sisi lain, saya juga kerepotan bila ditanya-tanya persoalan kejelasan BPL HMI Cabang Yogyakarta oleh banyak pihak. Saya bingung menjawabnya. Pasalnya, saya sendiri juga tidak mengetahui sudah sampai mana perkembangannya. Karena, terakhir yang saya dengar, isu mengenai caretaker Badan itu belum mendapat kejelasan. Surat keputusan atau dokumen apapun yang legal sebagai bukti caretaker itu juga belum sampai kepada saya, atau setidak-tidaknya dititipkan melalui teman-teman saya.
Karena banyak hal yang tidak jelas itu, saya memutuskan untuk tidak berangkat. Alasannya sederhana, tidak jelas dan mungkin akan semakin memperkeruh suasana. Waktu itu, saya awali mengurus BPL ini dengan niat yang baik, termasuk bermusyawarah dengan baik. MUNAS BPL ini sudah ada dalam bayangan agenda kami nantinya. Maka, sebelum berangkat, dulu kami merencanakan untuk mengundang seluruh instruktur dan pimpinan HMI Komisariat. Siapa tahu ada yang bisa kita bawa bersama-sama. Mungkin gagasan bersama, atau apapun lah yang bisa disepakati bersama.
Tapi hal itu sepertinya sangat sulit dilakukan saat ini, karena banyak hal. Sehingga, kalau saya datang kesana bergagasan tanpa ada pembicaraan bersama sebelumnya, dan hanya untuk memilih kandidat, saya rasa itu sedang bukan pilihan sikap yang tepat.
Semoga apa yang saya uraikan ini sedikit dapat menjelaskan dan mempertanggungjawabkan apa yang sudah pernah saya mulai. Semoga cerita pilu ini tidak dialami oleh BPL HMI Cabang di tempat lain, maupun badan-badan semiotonom dan institusi di bawah naungan struktur pimpinan di tempat lain. Semoga Allah SWT mengampuni dan meridai kita semua. Aamiin.
*Penulis adalah Formatur Ketua Badan Pengelola Latihan HMI Cabang Yogyakarta