Judul : Obat Dungu Resep Akal Sehat
Penulis : Rocky Gerung
Penerbit : Komunitas Bambu
Tahun : 2024 Cet. I
Rocky Gerung adalah satu sosok intelektual sekaligus pengamat politik Indonesia paling fenomenal saat ini. Ia seakan menjadi icon demokrasi Indonesia serta jelmaan suara kritis publik. Gaya nyentrik dan songongnya menjadi semacam bahan bakar bagi popularitasnya dan bumbu-bumbu pedas bagi para lawan bicaranya.
Saya kira, semua orang yang pernah bertemu atau sekadar menonton potongan-potongan video Rocky, setuju bahwa ia memang songong. Tapi bagi saya, kesongongan itu berhak ia miliki. Sebab Rocky adalah pakar pada topik-topik yang ia bicarakan: negara, hukum, feminism, demokrasi, dan tentunya filsafat.
Topik-topik itu pulalah yang dimuat dalam buku Obat Dungu Resep Akal Sehat terbitan Komunitas Bambu ini. Buku yang berisi kumpulan esai pilihan dari 1985 hingga 2018 itu seakan menjadi jawaban atas cercaan para lawan debat Rocky yang kerap meragukan kepakarannya. Hal ini tak lain tak bukan karena Rocky hanya menyelesaikan Pendidikan S1, sedangkan lawan debatnya, kebanyakan berasal dari kalangan politisi, akademisi dan bahkan guru besar.
Rocky memang lihai mengolah kata. Kemampuan retoris dan argumentasinya begitu memukau. Seringkali bahkan Rocky membuat orang yang ia sentil naik pitam dengan pernyataan-pernyataan kontroversialnya. Sebab itulah, mengapa ia sering ‘mangkal’ di Bareskrim.
Akan tetapi, betapapun hebat kemampuan retoris mantan dosbing Dian Sastro itu, tulisannya jauh lebih beringas. Esai-esainya padat dan punya basis argumentasi kuat. Kumpulan esai ini juga menggambarkan sikap konsistensi Rocky dalam memperjuangkan demokrasi, kesetaraan dan kedaulatan rakyat.
Bingung Berpolitik, Dungu Berdemokrasi
Umur Republik ini sudah mencapai 80 tahun, namun pemahaman dan kesadaran masyarakat mengenai demokrasi dan politik masihlah sangat minim. Rocky melalui tulisannya, seakan ingin menyembuhkan kebingungan dan kedungan itu. Dalam esai-esainya, Rocky terus mengemukakan dan menggaungkan asas-asas demokrasi yang secara historis tercermin dalam Revolusi Perancis: Liberte, Egalite, dan Fraternite. Di samping itu, ia juga mengangkat asas pluralisme atau ke-bhinneka-an sebagai corak utama masyarakat Indonesia.
Kiwari, kita masih melihat bagaimana kebijakan para pemangku jabatan hanya diperuntukkan untuk hajat segelintir orang. Dan seringnya, kepentingan itu malah menggerus hak-hak orang banyak, khususnya rakyat kecil. Kondisi ini diperparah pula oleh kebutaan masyarakat mengenai sistem bernegaranya sendiri. Rakyat belum sepenuhnya paham bahwa pemerintah sejatinya adalah pelayan. Karenanya, tiap-tiap kebijakan pemerintah yang keliru dan merugikan rakyat, patut dihantam dan dikritisi.
Di samping itu, politik kultus individu masih sangat merajalela dalam iklim demokrasi kita sehingga popularitas dan ketokohan mendahului ide dan gagasan. Dalam konteks pilpres 2024, kita sama-sama menyaksikan bagaimana kampanye dilakukan dengan cara meraup perhatian para pemuda sebagai mayoritas pemilih melalui pendekatan-pendekatan populer. Hal ini kemudian mengesampingkan ide dan gagasan yang seharusnya menjadi modal utama berkampanye.
Libido akan kekuasaan dan kekayaan tentunya menjadi patron berlangsungnya kondisi ini. Debat-debat capres yang seharusnya mengusung visi dan misi akan kesejahteraan bangsa, tak lain hanyalah pencitraan belaka untuk menutupi kontrak politik “di belakang panggung”. Isinya adalah teken-meneken antara pebisnis dan poli(tikus). Rocky menyebutnya sebagai “Politik Dealership” dan bukan Leadership.
“dalam politik, kita misalnya menyaksikan praktik “dealership” itu pada berbagai modus transaksi antara parpol dan tokoh yang diselenggarakan bukan karena alasan-alasan yang ideologis, melainkan karena keperluan finansial dan kekuasaan jangka pendek.”
Jalan Berliku Perjuangan Perempuan
Menjadi perempuan adalah suatu hal yang berat. Bukan dalam arti bahwa ia merupakan sebuah kehinaan. Akan tetapi, dalam sistem patriarkis yang mengakar kuat dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara di Indonesia, perempuan betul-betul merasakan nestapa.
Baik dalam kebudayaan lokal yang berkembang di desa-desa paling terpencil hingga laku hidup modern pada kota-kota terbesar di Indonesia, peran perempuan masihlah belum mendapat perhatian yang besar. Perempuan masih saja dipandang sebagai subordinat dari laki-laki dan sebagai warga “kelas dua” yang seakan hanya menjadi pembantu bagi peran dan perkejaan lelaki.
Isu mengenai peran perempuan dan feminisme juga menjadi topik yang paling banyak disinggung oleh Rocky dalam buku ini. Rocky mengatakan bahwa “menjadi perempuan dan mengalami ketidakadilan adalah satu paket sosiologi yang diselenggarakan oleh sistem patriarki.” Karena itu, baginya, politik feminsime adalah sebuah investasi politik guna mengevaluasi proses kita dalam bermasyarakat dan bernegara.
Indonesia, sekalipun memiliki kearifan lokal yang begitu kaya, perlu terus memperbarui pemahaman kebudayaannya terhadap realita sosial terkini. Bila perlu kita harus meminjam kacamata kebudayaan lain supaya dapat menerapkan prinsip dan nilai yang lebih adil. Dalam hal ini, feminisme seringkali mendapat penolakan dari masyarakat Indonesia sendiri sebab dianggap bukan lahir dari kebudayaan asli Indonesia.
Inilah jalan berliku yang dihadapi oleh perempuan dan gerakan feminisme di Indonesia. Mereka ditekan oleh dua sisi pada saat yang bersamaan: tekanan politik dan tekanan budaya atau tradisi. Namun, bagaimanapun juga, cita-cita akan terwujudnya satu sistem bermasyarakat dan bernegara yang adil dan setara tanpa memandang perbedaan jenis kelamin, harus terus diperjuangkan.
Demokrasi sebagai “The Not Yet”
Rakyat Indonesia sepakat bahwa demokrasi adalah sistem pemerintahan yang dipilih sebagai jalan politik kita. Setidaknya kesepakatan itu diwakili oleh para founding fathers dan diamini serta diperjuangkan terus oleh rakyat Indonesia hingga hari ini.
Karena itu, sebagai negara yang menganut sistem ini, kita harus selalu mengandaikan bahwa tidak ada yang total dan final dalam sistem kenegaraan kita, termasuk demokrasi itu sendiri. Inilah konsekuensi dari demokrasi tersebut. Karena ia merupakan sebuah proses“The Not Yet”. Yakni, suatu hal yang “belum menjadi” dan takkan pernah purna.
Ideologi yang final dan total pada hakikatnya akan merusak ruang demokrasi itu sendiri karena ia cenderung berambisi untuk meletakkan seluruh pemahaman orang ke dalam satu kotak kepercayaannya sendiri. Sedangkan dalam demokrasi, setiap kepala harus mendapatkan penghargaan yang sama dan setara akan kepercayaannya.
Proses ini bukan berarti menjadi satu bentuk sikap keputusasaan akan terwujudnya kondisi keadilan dan kesejahteraan yang ideal. Akan tetapi, hal ini sebagai usaha memicu munculnya suara-suara marjinal, yang kedaulatannya wajib diakui dan aspirasinya patut dihargai. Sebab itulah, dalam demokrasi kesetaraan harus dijunjung tinggi. Tidak ada satu hal pun, baik jabatan, pendidikan, kelas ekonomi, agama, budaya, jenis kelamin, dan lain sebagainya yang dapat merendahkan satu pihak dan meninggikan pihak lain. Semua harus setara.
Kita mengandaikan demokrasi sebagai sebuah bangunan besar. Ia tampak kokoh, namun memiliki beberapa kecacatan-kecacatan kecil yang tidak terlihat secara langsung. Tiap harinya, rumah itu berhadapan dengan kondisi cuaca dan alam yang berganti-ganti. Dan celah-celah kecil tadi bisa menjadi sebab bagi robohnya bangunan tersebut.
Karena itu, demokrasi harus terus diwaspadai, dicek, dan ditinjau secara terus-menerus guna menemukan celah-celah yang kiranya dapat menyebabkan kerobohan parah. Begitulah gerak laju sejarah manusia. Kondisi cuaca dan alam adalah prahara budaya dan kemajuan zaman. Sedang celah-celah kecil itu adalah tempat berkubang sang liyan yang terpinggirkan.