Identitas Buku:
Judul: Hermeneutika dan Pengembangan Ulumul Qur’an
Penulis: Sahiron Syamsuddin
Penerbit: Baitul Hikmah Press
Tahun Terbit: 2017
Halaman: vi+194 halaman
ISBN: 978-979-1682-33-6
Hermeneutika dan Pengembangan Ulumul Qur’an karya Sahiron Syamsuddin mengajak kita untuk menelusuri kedalaman penafsiran Al-Qur’an melalui lensa hermeneutika, suatu disiplin ilmu yang berfokus pada memahami makna di balik teks-teks historis. Hermeneutika, yang berasal dari tradisi Barat, melampaui sekadar membaca apa yang tertulis; ia juga mengkaji konteks sosial, politik, dan budaya yang membentuk pola pikir pengarang. Sahiron, dengan bijaksana, mengutip Michel Foucault yang menyatakan bahwa “tidak ada pengetahuan yang bebas dari kekuasaan.” Pernyataan ini menggarisbawahi pentingnya kesadaran akan bagaimana interpretasi kita terhadap teks selalu dipengaruhi oleh kondisi historis dan subjektivitas penafsir.
Dalam buku ini, Sahiron memposisikan dirinya sebagai penengah antara dua kubu ekstrim: satu yang menolak keras penggunaan hermeneutika dalam penafsiran Al-Qur’an dan yang lainnya yang menganggap hermeneutika sebagai pendekatan yang perlu diperluas. Ia berusaha membuktikan bahwa hermeneutika, jika digunakan secara bijak, dapat memberikan kontribusi yang signifikan bagi pemahaman yang lebih mendalam tentang Al-Qur’an. Dengan merujuk kepada pemikir-pemikir seperti Friedrich D. E. Schleiermacher, Hans Georg Gadamer, dan Jorge J. E. Gracia, penulis menawarkan pendekatan yang seimbang dalam memahami teks suci.
Buku ini dimulai dengan analisis komprehensif mengenai sejarah dan perkembangan hermeneutika, baik dalam konteks Barat maupun Islam. Pada bab pertama, Sahiron menjelaskan definisi hermeneutika serta perjalanan historisnya dari era Yunani hingga era modern. Ia juga memberikan analisis komparatif dengan hermeneutika Islam, menyoroti bagaimana tradisi tafsir klasik memiliki akar yang dalam dalam pemikiran hermeneutik, dengan mencatat bahwa embrio hermeneutika filosofis sudah ada dalam karya-karya klasik seperti Qanun al-Ta’wil oleh Al-Ghazali dan Fasl al-Maqal oleh Ibnu Rusyd.
Di bab kedua, Sahiron membahas aliran-aliran dalam hermeneutika modern dan tipologi penafsiran Al-Qur’an pada masa kontemporer. Dia menjelaskan bagaimana beberapa pemikir Muslim modern, seperti Nasr Hamid Abu Zayd dan Hasan Hanafi, menerapkan prinsip-prinsip hermeneutika untuk menggali makna yang lebih dalam dari teks-teks suci. Penulis dengan cermat memilih para ahli hermeneutika yang teorinya dapat diterapkan dalam studi Qur’an, menekankan bahwa umat Islam harus mampu “berdiri sama tinggi dan duduk sama rendah” dengan sarjana-sarjana Barat. Dalam hal ini, pengembangan hermeneutika diharapkan dapat memperkuat posisi Ulumul Qur’an di masa depan dan menjadikan tafsir Al-Qur’an lebih filosofis.
Sahiron tidak hanya membahas teori-teori para ahli, tetapi juga menerapkan teori-teori tersebut pada ayat-ayat yang sering menimbulkan polemik. Salah satu contohnya adalah Q.S. 4:34, yang dalam beberapa interpretasi sering kali memicu perdebatan. Sahiron menghadirkan tafsiran mufassir klasik sebagai perbandingan dengan penafsiran modern yang lebih kontemporer. Dengan melakukan ini, beliau menunjukkan pentingnya pemahaman terhadap konteks historis dan sosial dari ayat-ayat tersebut, yang sering kali bisa menghasilkan makna yang lebih mendalam. Pendekatannya ini mencerminkan pandangan bahwa penafsiran Al-Qur’an harus tetap fokus pada kemaslahatan umat manusia dan bukan pada kepentingan pribadi atau politik.
Namun, dalam penyajian karyanya, Sahiron juga menghadapi tantangan. Terdapat beberapa bagian di mana pembahasan tentang teori Gracia lebih mendominasi dibandingkan dengan Schleiermacher dan Gadamer. Hal ini bisa membuat pembaca merasa ada ketidakseimbangan dalam pemaparan teori-teori yang dihadirkan. Di samping itu, ketika membedah ayat, Sahiron kadang menggunakan pemikir seperti Fazlur Rahman, yang terpengaruh oleh teori-teori Barat, sehingga hal ini bisa menimbulkan kebingungan di kalangan pembaca mengenai sumber utama yang digunakan.
Meskipun ada beberapa aspek yang bisa diperbaiki, buku ini tetap memberikan kontribusi yang signifikan dalam studi Al-Qur’an dan pemikiran Islam. Sahiron menekankan pentingnya tetap memperhatikan bahwa Al-Qur’an adalah wahyu Allah yang diturunkan melalui Malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad SAW. Dalam konteks ini, penafsiran yang dilakukan harus bertujuan untuk mencapai keselamatan dan kebahagiaan manusia, baik di dunia maupun di akhirat.
Buku ini juga menarik karena tidak hanya mengandalkan referensi dari sumber berbahasa Inggris, tetapi juga mengintegrasikan pemikiran dari sumber berbahasa Jerman, yang menunjukkan luasnya pemahaman Sahiron dalam bidang hermeneutika. Melalui karya ini, ia berhasil menunjukkan bagaimana pemikiran Barat dapat digunakan secara positif dalam konteks pemahaman Al-Qur’an tanpa harus mengorbankan nilai-nilai Islam.
Sebagai penutup, Hermeneutika dan Pengembangan Ulumul Qur’an adalah sebuah karya yang sangat berharga bagi siapa saja yang tertarik dalam diskursus pemikiran Islam. Buku ini mengajak kita untuk bersikap kritis dan skeptis terhadap ilmu pengetahuan, tanpa terjebak dalam fanatisme. Sikap kritis ini sangat diperlukan dalam diskursus keilmuan, sehingga kita dapat memahami dan mengapresiasi berbagai perspektif yang ada. Sahiron Syamsuddin berhasil menyajikan pemikiran yang seimbang dan relevan, menjadikannya rekomendasi penting bagi mereka yang ingin mengeksplorasi dimensi baru dalam studi Al-Qur’an dan pemikiran Islam. Melalui buku ini, pembaca tidak hanya diajak untuk memahami teks-teks suci secara lebih mendalam, tetapi juga untuk membuka cakrawala baru dalam melihat hubungan antara tradisi Islam dan pemikiran modern. Karya ini layak dibaca bagi mereka yang ingin menambah wawasan dan memperkaya pengetahuan dalam konteks peradaban yang terus berkembang.