Kita barangkali sudah sering mendengar kutipan kalimat ini, “Anda tidak perlu menjadi muslim untuk membela Palestina, cukup menjadi manusia”. Sulit menemukan siapa yang pertama kali mengungkapkan kata ini, sebab begitu banyak tokoh yang mengutipnya. Antara lain, Erdogan (Presiden Turki), Macklemore (Rapper Amerika), hingga Ustadz Abdul Somad (pendakwah Indonesia).
Akan tetapi, siapapun yang mengucapkannya, kalimat ini memberikan semacam stimulus kekuatan baru bagi setiap manusia dan setiap mereka yang masih memegang teguh kemanusiaannya atas apa yang terjadi di bumi Palestina hari ini. Karena perjuangan pembebasan Palestina tak hanya menyangkut umat Islam saja, tetapi melibatkan sisi kemanusiaan manusia.
Hingga hari ini, setiap orang dari berbagai golongan, komunitas, ras, agama dan negara telah menghimpun kekuatan dan menyatakan sikap atas pembelaan mereka terhadap peperangan bahkan lebih tepatnya kepada genosida yang terjadi di Palestina. Untuk menyebut satu contoh, pada bulan April lalu, sekolompok mahasiswa yang terdiri dari berbagai latar belakang berbeda, berkumpul di Universitas Columbia Amerika untuk melakukan demonstrasi. Mereka dengan suara yang sama, menuntut agar kampus dan juga pemerintah agar segera mengambil tindakan untuk menghentikan kejahatan kemanusiaan yang terjadi di Palestina.
Namun, tak sedikit pula pihak-pihak yang kemudian berupaya untuk mematikan spirit pembelaan dan perjuangan pembebasan Palestina. Misalnya kasus 5 siswa pada Juni lalu yang bercanda terkait kondisi Palestina sambil mengonsumsi makanan cepat saji McDonald. Salah satu di antara mereka mengatakan bahwa makanan yang mereka konsumsi adalah darah anak-anak Palestina. Ada Pula Coki Pardede, seorang stand up comedian dan influencer yang pada Juli lalu bercanda soal gerakan BDS (Boycott, Dis-investation, Sanction) dan mengaku mengonsumsi kopi Starbucks hampir setiap hari.
Sejarah Singkat Kejahatan Kemanusiaan di Palestina
Penjajahan dan kejahatan kemanusiaan yang terjadi di Palestina telah berlangsung sejak lama. Bahkan jika dihitung dari Deklarasi Balfour, penjajahan ini telah berlangsung selama 100 tahun. Deklarasi Balfour adalah pernyataan resmi yang dikeluarkan Pemerintah Inggris pada 2 November 1917 saat Perang Dunia I. Deklarasi ini adalah pernyataan dukungan Inggris oleh Arthur Balfour untuk pendirian “rumah nasional bagi orang-orang Yahudi di Palestina” di Palestina yang merupakan bagian dari wilayah kekaisaran Ottoman. Deklarasi ini menjadi awal pendudukan dan penjajahan Israel atas Palestina. (Harms & Todd M. Ferry, 2005)
Pada tahun 1947 PBB mengusulkan pembagian Palestina menjadi negara Yahudi dan Arab. Rencana ini ditolak oleh warga Palestina yang merasa tidak adil karena memberikan 55% wilayah kepada negara Yahudi padahal mereka merupakan mayoritas penduduk. Kemudian, saat Deklarasi Kemerdekaan Israel pada 14 Mei 1948, terjadi pembersihan etnis yang menyebabkan sekitar 750.000 warga Palestina terpaksa mengungsi. Lebih dari 500 desa dihancurkan dalam proses tersebut. (Harms & Todd M. Ferry, 2005)
Di samping itu, sejak tahun 1917 hingga hari ini, begitu banyak peristiwa-peristiwa besar yang melibatkan darah dan air mata jutaan penduduk Palestina. Di antaranya, Perang Arab-Israel (1948-1949), Perang Enam Hari (1967), Intifada I (1987-1993), dan lain sebagainya.
Konflik yang terjadi antara Palestina dan Israel ini pada dasarnya tak dapat dianggap hanya sebatas konflik antar-agama antara Yahudi dan Islam. Konflik ini melibatkan banyak kepentingan antara negara-negara adidaya seperti Amerika dan Inggris yang bersekutu dengan Israel untuk melakukan penjajahan di jazirah Arab. Khususnya, Amerika yang secara “mati-matian” mempertahankan dominasinya di tanah Arab, sebab daerah tersebut menjadi lahan dan sumber keuangan yang besar bagi mereka melalui politik minyak (petrol). Akhirnya, melalui konflik kepentingan negara-negara tersebut, tanah beserta warga Palestina menjadi korbannya. (Chomsky & Pappe, 2024)
Transendensi Diri dan Kesadaran Bersama
Konsep transendensi diri (self transcendence) adalah teori yang diperkenalkan oleh Abraham Maslow, seorang psikolog Amerika yang terkenal dengan teori hierarki kebutuhan. Konsep Transendensi diri yang merupakan tahap tertinggi dari teori hierarki kebutuhan Maslow, adalah proses psikologis di mana seseorang telah melampaui kebutuhan pribadi dan ego serta berusaha untuk terhubung dengan sesuatu yang lebih besar dari dirinya sendiri. (al-Najih dkk., 2023)
Hal ini mencakup pencarian makna hidup yang lebih tinggi dan pengabdian kepada orang lain atau tujuan yang lebih besar, seperti spiritualitas atau kemanusiaan. Seseorang yang telah mencapai tahapan transendensi diri akan memandang dunia secara holistik dan mengutamakan kebutuhan orang lain dibandingkan kebutuhannya pribadi. Orang yang berada dalam tahap ini juga kemudian berusaha mencari pengalaman yang lebih mendalam dan bermakna, untuk menemukan tujuan atau makna hidup.
Ini juga ditandai oleh terlepasnya pandangan dan pemahaman seseorang terhadap dunia dari pengaruh eksklusivitas lingkungan, ras, agama, budaya, dan bangsa. Ia kemudian berupaya mencari sesuatu makna yang lebih universal dan transenden dalam kehidupan. (J. Venter, 2017)
Oleh karena itu, orang yang telah mencapai tahapan ini, tak memedulikan lagi persoalan perbedaan-perbedaan identitas antar manusia, dan berupaya untuk menggali lebih dalam nilai-nilai kehidupan yang universal. Begitu pula jika nilai-nilai universal kemanusiaan diganggu atau dilanggar, maka ia akan memperjuangkannya, tanpa melihat perbedaan ras, agama, budaya, dan lain lain.
Pembebasan Palestina sebagai Tanggung Jawab Kemanusiaan
Jika merujuk kepada konsep transendensi diri dalam pandangan Maslow, setiap orang yang sadar dan teguh memegang nilai kemanusiaan akan melihat bahwa penjajahan dan kejahatan kemanusiaan yang telah berlangsung lama di Palestina adalah bentuk pelanggaran terhadap nilai kemanusiaan yang universal. Maka, setiap orang yang berjuang dengan cara sekecil apapun untuk membantu perjuangan pembebasan Palestina adalah bentuk dari memperjuangan nilai kemanusiaan itu sendiri.
Dari konsep tersebut pula, kita dapat memahami bahwa pembebasan Palestina bukanlah perjuangan umat Islam saja, tetapi menyangkut setiap orang dari berbagai ras, agama, negara, dan golongan apapun yang memandang kemanusiaan sebagai nilai universal yang harus dijaga dan diperjuangkan. Pembebasan Palestina menjadi tanggung jawab bersama, sebab di dalam konflik atau penjajahan tersebut, ada banyak nilai-nilai kemanusiaan yang dilanggar, khususnya oleh para pemerintah Israel, Inggris, Amerika dan sekutunya untuk kepentingan-kepentingan politis tertentu.
Untuk itu, kita perlu membangun narasi bahwa perjuangan pembebasan Palestina adalah bagian dari tanggung jawab kemanusiaan setiap orang tanpa memandang perbedaan apapun. Narasi tersebut perlu di bangun, sebab hari ini begitu banyak pemahaman-pemahaman keliru mengenai upaya pembebasan Palestina dari pihak-pihak yang tak bertanggung jawab. Kampanye-kampanye melalui media sosial adalah hal paling sederhana yang dapat kita lakukan untuk membangun narasi pembebasan Palestina dan menolak pemahaman-pemahaman keliru tersebut.
Melalui konsep transendensi diri, maka setiap orang yang berusaha untuk memberikan kekuatannya untuk pembebasan Palestina adalah mereka yang sedang berupaya melakukan pemenuhan terhadap nilai-nilai tersebut dalam diri. Berada pada tahap di mana seseorang akan mencari makna atau nilai kehidupan yang lebih dalam dan universal serta berupaya untuk membela dan memperjuangkannya.
Referensi
Al-Najih, Moh. Z. H., Sa’idah, I., & Taufik. (2023). Konsep Self-Actualized Abraham Maslow: Perspektif Psikologi Sufistik. Edu Consilium : Jurnal Bimbingan dan Konseling Pendidikan Islam
Chomsky, N., & Pappe, I. (2024). On Palestine. Bentang.
J. Venter, H. (2017). Self-Transcendence: Maslow’s Answer to Cultural Closeness. Journal of Innovation Management, 4(4), 3–7.