Memahami masalah sosial saat ini bisa diibaratkan seperti menjaga rumah bersama-sama. Setiap penghuni rumah punya tugas untuk menjaga kebersihan, keamanan, kesehatan, dan kenyamanan. Sama halnya dengan kita sebagai warga dunia, kita semua punya tanggung jawab untuk menjaga agar hidup bersama tetap tertib dan sejahtera. Ketika dunia menghadapi berbagai masalah, kita punya kewajiban bersama untuk mencari solusi.
Saat ini, dunia menghadapi berbagai macam masalah, baik yang terlihat secara langsung seperti mencairnya es di kutub utara, deforestasi, bencana alam, maupun yang tidak kelihatan seperti korupsi, kemiskinan, ketimpangan ekonomi dan penyakit.
Di abad pencerahan lalu, orang-orang berpikir bahwa dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, dunia akan menjadi lebih baik dan lebih tertib. Namun, kenyataannya sekarang dunia malah makin kacau. Anthony Giddens, seorang sosiolog, menyebut kondisi ini sebagai “dunia yang tunggang-langgang” (The Runaway World). Salah satu penyebab utamanya adalah globalisasi, yang di satu sisi membawa kemajuan besar, seperti kemudahan berkomunikasi antarnegara dan transaksi keuangan yang lebih cepat.
Disisi lain globalisasi juga memunculkan ketidakadilan dimana-mana. Kesenjangan antara orang kaya dan miskin semakin lebar. Data menunjukkan bahwa pendapatan dari 20% orang termiskin di dunia menurun drastis dari 2,3% menjadi 1,4% antara 1989 hingga 1998. Sementara, negara-negara kaya semakin kaya. Data terbaru dari World Bank menunjukkan bahwa 20% populasi termiskin di dunia mengalami penurunan pendapatan yang signifikan. Pada tahun 2020, pandemi COVID-19 memperburuk situasi ini, dengan negara-negara termiskin mengalami dampak paling parah. Kesenjangan pendapatan terus meningkat, dan menurut World Economic Forum, pada tahun 2021, 10% orang terkaya di dunia menguasai 52% dari total pendapatan global, sementara 50% orang termiskin hanya menguasai 8% dari pendapatan tersebut.
Kondisi ini menyoroti ketidakadilan yang semakin serampangan, terutama di negara berkembang, di mana kebijakan fiskal yang tidak merata memperburuk ketimpangan ekonomi. Perusahaan-perusahaan besar semakin mendominasi dan membuat perusahaan kecil di berbagai negara jadi sulit berkembang.
Globalisasi memang tidak bisa dihindari karena sudah menjadi bagian dari perkembangan manusia, tapi kita harus berusaha agar dampaknya lebih adil. Saat ini, globalisasi lebih banyak berfokus pada keuntungan ekonomi yang membuat ketimpangan sosial semakin lebar, kerusakan lingkungan semakin parah, dan risiko bencana buatan manusia semakin besar, seperti banjir karena penebangan hutan, dampak penggunaan pestisida, hingga bahaya teknologi modern.
Di sinilah peran para aktivis dan pemikir demokrasi sangat penting. Giddens berpendapat bahwa solusi untuk dunia yang kacau ini adalah dengan memperjuangkan demokrasi. Dengan begitu, globalisasi bisa diarahkan untuk lebih menguntungkan mayoritas orang di dunia, bukan hanya segelintir elit yang punya kekuasaan dan modal.
Kemudian muncullah pertanyaan, apa yang bisa kita lakukan untuk membuat globalisasi lebih adil? Jawabannya yaitu dengan mengambil peran dan bersuara. Ikut dalam pengambilan keputusan menjadi kunci agar tidak hanya segelintir orang yang mengambil keuntungan. Jika kita diam, maka eksploitasi akan terus terjadi, jurang antara kaya dan miskin semakin lebar, dan kerusakan pada “rumah” kita, yaitu bumi, akan semakin parah.
Giddens menjelaskan konsep yang disebut “time-space distanciation”, yang artinya tindakan kecil di satu tempat bisa berdampak besar di seluruh dunia. Jadi, meskipun tindakan kita kecil, tetap bisa memberikan kontribusi pada perubahan yang lebih besar, seperti menciptakan dunia yang lebih adil, toleran, dan peduli terhadap lingkungan.
Kekayaan atau sumber daya yang ada di dunia ini terbatas, sedangkan orang yang menginginkan bagian dari kekayaan itu sangat banyak. Karena itulah sumber daya banyak sekali yang diperebutkan. Agar problematika ini tidak anarkis, kita butuh aturan main. Supaya aturan ini ditaati, orang-orang yang punya kekuasaan perlu membuat aturan tersebut. Kalau kita ingin mendapat bagian yang adil, kita harus terlibat dalam proses pembuatan aturannya.
Karena kekuasaan berperan penting dalam menentukan distribusi kekayaan, maka kekuasaan itu sendiri juga diperebutkan. Persaingan untuk mendapatkan kekuasaan ini bertujuan agar setiap individu atau kelompok tertentu bisa mendapatkan bagian yang lebih adil dari sumber daya.
Untuk menciptakan keadilan, terutama bagi kelompok yang terpinggirkan (mustad’afin) mereka harus diberikan kekuasaan agar bisa ikut menentukan aturan main kebijakan. Jika hanya segelintir orang yang membuat aturan tanpa melibatkan pihak lain yang juga berkepentingan, itulah yang disebut ketidakadilan.
Aturan yang adil merupakan aturan yang dibuat dengan melibatkan semua pihak secara setara. Inilah prinsip dasar demokrasi. Dalam demokrasi, semua orang punya kesempatan untuk ikut menentukan aturan, asalkan kekuasaan dibagi secara merata. Masalahnya, sering kali buruh kalah dari pengusaha atau perempuan kalah dari laki-laki karena tidak memiliki kekuasaan yang sama.
Secara umum, situasi ini dapat dijelaskan sebagai berikut:
- Di masyarakat, ada kelas-kelas sosial yang terbagi berdasarkan kekayaan: kelas atas yang berjumlah kecil tapi kaya raya, kelas menengah yang jumlahnya lebih banyak tapi kekayaannya sedang-sedang saja, dan kelas bawah yang paling banyak jumlahnya tapi hanya mendapat bagian sedikit dari kekayaan. Ini menunjukkan ketimpangan.
- Ada konflik kepentingan antar kelas yang sering kali tidak terlihat.
- Ketimpangan ini terjadi karena aturan dibuat oleh segelintir orang yang diuntungkan, sementara kelompok lain dirugikan, terutama kelas bawah. Ini adalah bentuk penindasan.
- Orang-orang kaya bisa membuat aturan ini karena mereka punya kekuasaan lebih.
- Ketidakadilan ini berlangsung lama karena kelas bawah sering kali tidak sadar bahwa mereka sedang ditindas.
- Situasi diperburuk dengan munculnya budaya persaingan yang tidak sehat dan ketidakpedulian sosial.
- Kelas bawah atau kelompok yang tertindas sering kali miskin secara ekonomi, politik, dan sosial.
- Untuk memperjuangkan keadilan, kita harus sadar betapa pentingnya ikut dalam pembuatan kebijakan. Selain itu, kita juga perlu memperjuangkan nilai-nilai persaudaraan, kerjasama, dan kesetaraan.
Masalah ekonomi yang kian hari berkelindan, terutama terkait pasar, distribusi kekayaan, dan kompetisi yang semakin memperlebar tamu kemiskinan. Kemiskinan global membuat lebih dari 21.000 anak meninggal setiap harinya akibat kelaparan dan penyakit yang sebenarnya bisa dicegah (UNICEF, 2005). Data terbaru menunjukkan bahwa lebih dari 9 juta anak di bawah usia lima tahun meninggal setiap tahun karena kelaparan dan penyakit yang sebenarnya bisa dicegah. Penyebab utamanya adalah kombinasi dari krisis global seperti konflik, perubahan iklim, dan meningkatnya harga pangan. UNICEF juga mencatat bahwa satu dari empat anak mengalami kekurangan gizi, yang berdampak buruk pada pertumbuhan fisik dan perkembangan otak mereka. Kondisi ini memperburuk masa depan mereka secara jangka panjang.
Secara global, lebih dari setengah penduduk dunia sekitar 3 miliar orang hidup dengan pendapatan kurang dari $2,50 per hari (World Bank, 2008). Data terbaru dari Bank Dunia menunjukkan bahwa pada 2023, sekitar setengah dari populasi dunia hidup dengan pendapatan kurang dari US$6,85 per hari. Angka ini menggambarkan garis kemiskinan yang lebih tinggi dibandingkan standar kemiskinan ekstrem sebesar US$2,15 per hari yang sering digunakan sebelumnya. Kesenjangan pendapatan masih tinggi di negara-negara berkembang, khususnya di Sub-Sahara Afrika dan Asia Selatan, di mana sebagian besar populasi hidup di bawah garis kemiskinan tersebut. Penurunan kemiskinan global telah melambat, terutama karena dampak pandemi COVID-19. Ini menunjukkan bahwa kemiskinan masih menjadi masalah besar yang harus segera diatasi.
Selain masalah ekonomi, perhatian pada isu lingkungan juga semakin meningkat. Di Indonesia, kerusakan hutan menjadi masalah besar. Laju deforestasi di Indonesia mencapai 1,17 juta hektar per tahun pada periode 2003-2006 (Departemen Kehutanan), dan laporan FAO pada 2007 menyebutkan angka yang lebih tinggi. Kerusakan ini terutama disebabkan oleh ekspansi perkebunan kelapa sawit dan kegiatan lain yang merusak lingkungan.
Data dari Global Forest Watch (2023) menunjukkan bahwa pada tahun 2021, Indonesia kehilangan sekitar 1,47 juta hektar tutupan pohon. Meskipun ada sedikit penurunan dibandingkan tahun-tahun sebelumnya, kerusakan hutan masih menjadi perhatian serius, terutama di Kalimantan dan Sumatera yang banyak ditebangi untuk perkebunan kelapa sawit.
Dalam menghadapi semua tantangan ini, kita tidak cukup hanya mengerti masalahnya, tapi juga harus mengambil peran aktif untuk mencari solusi. Nelson Mandela pernah berkata bahwa gabungan antara akal dan hati adalah kekuatan yang sangat kuat. Jadi, ketika kita tahu masalahnya dan mau bertindak, kita bisa berharap masa depan yang lebih baik. Aksi kolektif untuk mengatasi masalah ekonomi, lingkungan, politik, dan budaya akan membantu menciptakan dunia yang lebih adil, seimbang, dan manusiawi bagi semua orang.