31.8 C
Yogyakarta
Saturday, April 19, 2025
spot_img

Muhammad Iqbal: Sisi-sisi ‘Perlawanan’ dalam Pembaharuan Islam

Kolonialisme Inggris di India (1757-1858 Masehi) tidak hanya berdampak pada penjajahan fisik, tetapi juga pada aspek intelektual dan spiritual umat Muslim India. Hal ini menyebabkan umat Muslim India tergantung pada warisan masa lalu tanpa adanya inovasi, sehingga kehilangan dinamika intelektualnya. Penyebabnya adalah mentalitas umat yang pasif dan inferior akibat tekanan kolonial yang menumbuhkan rasa ketidakberdayaan di kalangan Muslim dalam upaya kebangkitan. Akibatnya, umat Muslim kehilangan daya pikir kritis dan kreatif dalam menghadapi kemodernan.

Seiring berjalannya waktu, umat Muslim India terjebak pada pemikiran asketis yang dipengaruhi oleh perkembangan teologi sufistik. Ini menandakan lemahnya daya progresivitas, kreativitas, dan semangat hidup dinamis umat Muslim India memasuki abad ke-20 Masehi. Kedua kondisi ini kemudian direspon oleh tokoh pemikir Islam India yang menyadari faktor-faktor yang melemahkan umat Islam. Faktor-faktor inilah yang kemudian melahirkan pemikiran pembaharuan Muhammad Iqbal.

Iqbal menempuh pendidikan di Eropa, termasuk di Universitas Cambridge dan Universitas München. Di sana, ia mendalami filsafat Barat, seperti pemikiran Hegel, Nietzsche, Bergson, dan Goethe. Ia terinspirasi oleh rasionalisme, eksistensialisme, dan vitalisme dari filsafat Barat, namun pada saat yang sama juga kritis terhadap materialisme dan sekularisme yang dianggapnya mengikis spiritualitas manusia.

Iqbal menyadari bahwa modernitas dan ilmu pengetahuan Barat membawa kemajuan teknologi dan rasionalitas, namun juga menimbulkan dampak negatif, seperti kekosongan spiritual dan krisis moral. Oleh karena itu, Iqbal merasa perlu merumuskan sintesis baru yang menggabungkan spiritualitas Islam dengan kekuatan rasionalitas dan ilmu pengetahuan modern. Ia ingin membangun peradaban Islam yang progresif tanpa mengorbankan identitas dan nilai-nilai keislaman.

Iqbal terinspirasi oleh gerakan pembaruan Islam yang dipelopori tokoh-tokoh seperti Jamaluddin Al-Afghani dan Muhammad Abduh, yang mengusung ide pan-Islamisme dan modernisme Islam. Al-Afghani menginspirasi Iqbal dengan gagasan persatuan umat Islam (pan-Islamisme) dalam menghadapi kolonialisme Barat. Sementara itu, Muhammad Abduh mengajarkan pentingnya ijtihad (pemikiran kritis dan inovatif dalam hukum Islam) untuk memperbarui pemahaman agama agar tetap relevan dengan zaman modern.

Iqbal melanjutkan semangat ijtihad ini dengan menekankan pentingnya dinamisme dan kreativitas dalam berpikir. Ia mengkritik stagnasi intelektual di dunia Islam dan menyerukan perlunya interpretasi baru terhadap ajaran-ajaran Islam yang sesuai dengan konteks zaman modern. Iqbal percaya bahwa Islam tidak bertentangan dengan ilmu pengetahuan dan kemajuan, asalkan umat Islam memiliki kekuatan spiritual dan intelektual yang kuat.

Iqbal menyaksikan krisis moral dan spiritual di kalangan umat Islam akibat pengaruh materialisme Barat dan kolonialisme. Ia merasa perlu membangkitkan kembali semangat spiritual Islam yang autentik untuk membangun karakter individu yang kuat dan masyarakat yang bermoral.

Iqbal mengembangkan konsep Khudi (diri atau kesadaran diri) sebagai inti dari pembangunan karakter dan spiritualitas. Ia percaya bahwa manusia harus mengembangkan kekuatan batin yang selaras dengan kehendak Tuhan untuk mencapai potensi tertingginya. Khudi juga menjadi landasan bagi individu untuk menjadi agen perubahan sosial dan politik yang progresif.

Secara etimologis, Khudi menurut Iqbal berarti pribadi, ego, atau individualitas yang merupakan kesatuan riil dan nyata. Khudi adalah pusat yang mengarah pada iradah kreatif dan rasional, menjelaskan bahwa hidup bukanlah aliran tak berbentuk, melainkan prinsip kesatuan yang mengatur segala hal. Kegiatan sintesis ini menyatukan kecenderungan-kecenderungan organisme hidup ke arah tujuan konstruktif. Menurut Iqbal, Khudi adalah pusat dan landasan seluruh kehidupan.

Kesadaran ego (dalam bentuk positif) ini nantinya mengantarkan manusia untuk mencapai potensi tertingginya. Puncak Khudi adalah mencapai keselarasan dengan kehendak Tuhan (Fana Fillah), yang memberikan kekuatan spiritual untuk mengatasi krisis moral dan identitas. Iqbal percaya bahwa umat Islam akan bangkit jika mereka memiliki iman yang kuat dan kesadaran akan tujuan hidup yang lebih tinggi.

Selain itu, Iqbal menekankan pentingnya ijtihad sebagai pembaruan hukum dan pemikiran Islam. Menurutnya, stagnasi intelektual yang dialami umat Islam disebabkan oleh kemandekan ijtihad dan kecenderungan berpegang pada taklid (mengikuti pendapat ulama tanpa berpikir kritis). Oleh karena itu, Iqbal mengusulkan agar umat Islam melakukan penafsiran dinamis dan kontekstual terhadap Al-Quran dan Sunnah, sehingga hukum Islam tetap relevan dengan perkembangan zaman. Ia menegaskan bahwa Islam adalah agama yang progresif dan fleksibel, yang membutuhkan keberanian intelektual untuk menggali makna yang lebih luas dan sesuai dengan konteks sosial yang berubah.

Iqbal juga menekankan pentingnya ilmu pengetahuan dan pendidikan modern untuk kemajuan umat Islam. Ia mengagumi kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi Barat, namun kritis terhadap materialisme yang mengikis nilai-nilai spiritual. Oleh karena itu, Iqbal mendorong umat Islam untuk menguasai ilmu pengetahuan modern tanpa kehilangan identitas spiritual dan moral. Ia berpendapat bahwa ilmu pengetahuan harus digunakan sebagai alat untuk membangun peradaban yang adil dan sejahtera, bukan sebagai sarana eksploitasi atau dominasi.

Dalam bidang politik, Iqbal mendorong kebangkitan politik umat Islam melalui persatuan dan kemandirian. Ia menyadari bahwa umat Islam di anak benua India terpinggirkan secara politik dan ekonomi akibat kekuasaan kolonial Inggris dan dominasi politik Hindu. Oleh karena itu, Iqbal menyerukan pentingnya persatuan politik umat Islam dan pembentukan negara Muslim yang mandiri untuk melindungi hak-hak sosial, budaya, dan politik mereka. Gagasan ini kemudian menjadi cikal bakal berdirinya negara Pakistan pada tahun 1947.

Iqbal juga menekankan pentingnya etika dan moralitas dalam kehidupan pribadi dan sosial umat Islam. Ia percaya bahwa kebangkitan Islam harus dimulai dari perubahan karakter individu yang berlandaskan pada nilai-nilai moral dan spiritual yang kuat. Oleh karena itu, ia mengajak umat Islam untuk kembali kepada ajaran Al-Quran dan meneladani akhlak Nabi Muhammad sebagai panduan dalam membangun masyarakat yang adil dan beradab.

Related Articles

Stay Connected

- Advertisement -spot_img

Artikel Terbaru