Dunia Islam pernah mengalami masa keemasan dalam berbagai bidang, termasuk ilmu pengetahuan, ekonomi, dan politik. Pada abad ke-8 hingga ke-11, peradaban Islam berkembang pesat dengan munculnya ilmuwan, filsuf, dan pemikir besar seperti Al-Farabi, Al-Kindi, Ibnu Sina, dan Al-Khawarizmi. Namun, setelah periode tersebut, dunia Islam mulai mengalami kemunduran yang terus berlanjut hingga era modern. Banyak sarjana telah berusaha mencari penyebab dari kemunduran ini, dan salah satu yang memberikan analisis mendalam adalah Ahmet T. Kuru, seorang profesor ilmu politik di San Diego State University. Dalam bukunya Islam, Authoritarianism, and Underdevelopment (2019), Kuru menyoroti bagaimana aliansi antara ulama dan negara telah berkontribusi terhadap stagnasi ilmu pengetahuan, ekonomi, dan kebebasan intelektual.
Salah satu argumen utama yang dikemukakan oleh Kuru adalah bahwa sejak abad ke-11, dunia Islam mengalami kemunduran akibat terbentuknya hubungan erat antara ulama dan negara. Pada masa-masa awal Islam, kelompok intelektual dan pedagang memiliki kebebasan dalam mengembangkan ilmu pengetahuan dan ekonomi. Namun, seiring waktu, penguasa politik mulai bergantung pada ulama untuk melegitimasi kekuasaan mereka. Hal ini menyebabkan berkurangnya kebebasan berpikir dan inovasi yang sebelumnya menjadi pendorong utama kejayaan dunia Islam.
Aliansi antara ulama dan negara membuat pemerintahan Islam menjadi semakin otoriter, di mana kebijakan politik sering kali dibuat atas dasar kepentingan elite penguasa dan bukan demi kemajuan masyarakat secara keseluruhan. Dalam konteks ini, para intelektual yang memiliki pemikiran kritis terhadap sistem yang ada sering kali mengalami represi. Banyak pemikir besar dalam sejarah Islam yang mengalami penindasan atau pengasingan karena gagasan mereka dianggap bertentangan dengan kepentingan politik. Dengan hilangnya kebebasan intelektual, dunia Islam mengalami stagnasi dalam berbagai bidang, termasuk ilmu pengetahuan dan teknologi.
Kuru membandingkan kondisi dunia Islam dengan Eropa Barat yang mengalami kebangkitan pada era Renaisans dan Revolusi Industri. Menurutnya, salah satu faktor utama yang membedakan kedua peradaban ini adalah keberadaan kelas borjuis atau pedagang yang memiliki kebebasan dari kontrol negara dan gereja di Eropa. Dengan adanya kelas sosial yang independen ini, Eropa mampu mengembangkan ekonomi kapitalis dan ilmu pengetahuan secara lebih dinamis. Sebaliknya, di dunia Islam, dominasi ulama dalam politik dan ekonomi menghambat munculnya kelas pedagang dan wirausahawan yang mandiri. Akibatnya, pertumbuhan ekonomi dan inovasi menjadi tertahan dibandingkan dengan Eropa.
Meskipun Kuru menekankan faktor internal sebagai penyebab utama kemunduran dunia Islam, beberapa analisis lain berpendapat bahwa kolonialisme Barat juga memiliki peran yang signifikan. Sejumlah sejarawan menilai bahwa intervensi kolonialisme di dunia Islam telah menyebabkan ketidakstabilan politik dan ekonomi, serta memperburuk kondisi masyarakat Muslim. Frantz Fanon, misalnya, dalam analisisnya tentang kolonialisme Prancis di Aljazair, menjelaskan bagaimana penjajahan menciptakan kondisi sosial yang represif dan membuat rakyat Aljazair tidak memiliki pilihan lain selain melakukan perlawanan bersenjata untuk merebut kembali martabat mereka.
Selain itu, Mohammed Ayoob juga menyoroti bagaimana kolonialisme menyebabkan popularitas kelompok Islamis radikal di dunia Muslim. Menurutnya, kolonialisme dan dominasi Barat telah melemahkan peran ulama tradisional yang lebih moderat, sementara kelompok Islamis yang lebih radikal justru menjadi lebih menarik bagi kaum muda Muslim yang ingin melawan penjajahan dan dominasi asing. Dengan demikian, kolonialisme tidak hanya menimbulkan penderitaan ekonomi dan politik, tetapi juga berdampak pada pergeseran ideologi dan radikalisasi dalam masyarakat Muslim.
Namun, meskipun kolonialisme memiliki dampak negatif, Kuru menegaskan bahwa kemunduran dunia Islam sudah terjadi jauh sebelum kolonialisme Barat dimulai. Ia berargumen bahwa sistem pemerintahan otoriter yang telah terbentuk sejak abad ke-11 memperlemah daya saing dunia Islam dalam menghadapi kolonialisme. Dengan kata lain, kolonialisme hanya memperburuk kondisi yang sudah lemah, tetapi bukan merupakan penyebab utama dari kemunduran itu sendiri.
Untuk memahami lebih lanjut bagaimana dinamika ini berkembang, kita perlu melihat sejarah pemerintahan Islam dalam berbagai dinasti. Pada masa Dinasti Umayyah (661–750 M), pluralisme masih terbatas, dengan dominasi etnis Arab dalam pemerintahan dan administrasi. Non-Muslim yang termasuk dalam kategori Ahli Kitab diberikan status dzimmi, yaitu warga negara yang dilindungi tetapi harus membayar pajak khusus yang disebut jizyah. Islam mulai menyebar luas, tetapi konversi ke Islam masih dibatasi karena sistem pajak saat itu memberikan keuntungan bagi mereka yang tetap menjadi non-Muslim.
Berbeda dengan Dinasti Umayyah, Dinasti Abbasiyah (750–1258 M) memiliki pendekatan yang lebih inklusif. Pemerintahan Abbasiyah memberi lebih banyak peran kepada non-Arab, seperti bangsa Persia dan Turki, dalam struktur pemerintahan. Pada masa ini pula muncul berbagai madrasah dan lembaga pendidikan yang memungkinkan berkembangnya berbagai pemikiran Islam, termasuk dari mazhab Sunni dan Syiah. Namun, seiring waktu, aliansi antara ulama dan negara semakin kuat, dan kebebasan intelektual mulai mengalami pengekangan. Hal ini menjadi salah satu faktor yang menyebabkan kemunduran dunia Islam, sebagaimana dianalisis oleh Kuru.
Dalam memahami sejarah Islam, penting untuk membedakan antara ekspansi Islam dan kolonialisme Barat. Ekspansi Islam pada masa lalu sering kali terjadi dalam konteks penyebaran agama, stabilitas politik, dan perdagangan, sedangkan kolonialisme Barat lebih berfokus pada eksploitasi ekonomi dan dominasi politik. Dalam sistem pemerintahan Islam klasik, hukum Islam (syariah) diterapkan dan non-Muslim mendapatkan perlindungan sebagai dzimmi. Sementara itu, kolonialisme Barat sering kali menerapkan eksploitasi ekonomi, perbudakan, dan asimilasi paksa terhadap masyarakat yang mereka jajah.
Dalam sejarah ekspansi Islam, ada banyak contoh di mana Islam menyebar tanpa melalui kekerasan militer. Misalnya, penyebaran Islam di Nusantara (Indonesia dan Malaysia) lebih banyak terjadi melalui jalur perdagangan dan dakwah daripada penaklukan militer. Hal ini menunjukkan bahwa Islam sebagai ajaran agama tidak selalu identik dengan penjajahan atau ekspansi militer, melainkan lebih banyak berinteraksi dengan budaya lokal dan berkembang secara damai.
Sebagai solusi atas kemunduran dunia Islam, Kuru menawarkan pendekatan yang berfokus pada reformasi sosial dan politik. Ia menekankan pentingnya membangun kembali masyarakat yang lebih pluralistik dan memberikan ruang lebih besar bagi para intelektual, wirausahawan, dan masyarakat sipil. Menurutnya, dunia Islam perlu mengadopsi sistem politik yang lebih demokratis agar kebebasan berpikir dan inovasi dapat berkembang. Reformasi dalam pemikiran Islam juga perlu dilakukan agar Islam lebih terbuka terhadap ilmu pengetahuan dan modernisasi.
Dengan menekankan faktor internal sebagai penyebab utama kemunduran Islam, Kuru memberikan wawasan berharga bagi umat Islam dalam menghadapi tantangan masa depan. Ia menunjukkan bahwa aliansi ulama dan negara yang telah menghambat perkembangan ilmu pengetahuan dan ekonomi harus dibongkar agar dunia Islam dapat kembali mengalami kebangkitan. Jika dunia Islam ingin bersaing di era modern, maka diperlukan reformasi struktural yang mencakup kebebasan intelektual, demokrasi, dan pembangunan ekonomi berbasis inovasi.
Dalam kesimpulannya, analisis Ahmet T. Kuru memberikan perspektif baru dalam memahami kemunduran dunia Islam. Dengan menyoroti bagaimana faktor internal, khususnya aliansi ulama dan negara, telah menyebabkan stagnasi dalam berbagai aspek kehidupan, ia menawarkan solusi yang dapat membawa perubahan bagi dunia Islam. Jika reformasi yang diusulkan dapat diterapkan, maka bukan tidak mungkin dunia Islam dapat kembali mengalami kejayaan seperti yang pernah terjadi pada masa lalu.