Kuliah bak beli bakso makin mahal tapi isinya cuman kuah doang. Biaya makin meroket tapi anggaran malah dipangkas –“efisiensi” katanya. Mahasiswa marah, protes hingga hujatan membanjiri di mana-mana, efisiensi anggaran berpotensi UKT semakin mahal –semakin menyulut kemarahan. Tapi di tengah hiruk-pikuk ini, pernahkah kita bertanya: Buat apa kita kuliah? Memangnya kuliah masih relevan?
Di era di mana informasi bisa diakses dalam hitungan detik, sertifikasi online ada di mana-mana. Berhadapan dengan dunia kerja yang lebih mementingkan skill daripada hanya selembar kertas dengan coretan tinta. Lalu mengapa kita masih mengejar gelar? Atau mungkin kita kuliah hanya sebagai bentuk formalitas saja? Dan, apakah kuliah benar-benar dapat menjadi investasi di masa depan?
Mempertanyakan Narasi Lama
Pendidikan tinggi atau kuliah sering kali dianggap sebagai jalan atau gerbang menuju masa depan yang cerah. Namun, bagi gen Z yang terlahir di era digital, kuliah bukanlah satu-satunya solusi untuk menggapai masa depan cerah. Informasi yang bisa mereka akses makin luas mengubah cara pandang kita, ditambah dinamika dunia kerja yang terus berkembang. Akhirnya, kuliah di zaman sekarang lebih jadi sebuah pilihan daripada kewajiban.
Di zaman bapak saya, kuliah mungkin masih dianggap sebagai barang mewah, investasi yang hampir pasti balik modal. Lulusan perguruan tinggi punya peluang kerja yang jelas, dan gelar sarjana sering kali menjadi tiket emas menuju masa depan yang lebih mapan.
Namun, di zaman sekarang realitasnya berbeda. “Generasi sekarang adalah generasi terkutuk,” ujar Guru Gembul dalam kuliah umum yang saya hadiri beberapa waktu lalu. Derasnya informasi atau yang biasa disebut sebagai disrupsi menjadikan anak muda zaman sekarang semakin kehilangan arah. Tidak tahu mau jadi apa, tersesat dalam ketidakpastian. Materi kuliah sering kali tidak relevan dengan kebutuhan dunia kerja, kertas ijazah tak menjamin apa-apa. Bertanya-tanya: “Lalu, aku harus jadi apa?”
Pertanyaan tersebut mungkin bisa kita ubah menjadi “Lalu, aku harus apa?,” padahal mahasiswa sudah sadar akan realita ini, tapi tetap menjalani kuliah sebagai formalitas saja. Banyak mahasiswa yang hanya fokus pada nilai IPK dan Ijazah, bukan pada eksplorasi ilmu dan pengalaman. Mungkin terdengar klise menyebut bahwa “organisasi itu penting”, tapi kenyataannya masih banyak mahasiswa yang kuliah seperti katak dalam tempurung. Padahal mereka tahu bahwa kebanyakan dosen hanya memberi teori tanpa membimbing eksplorasi.
Saya tidak ingin mempromosikan organisasi, UKM atau apapun itu, karena masih banyak juga yang ikut hanya untuk keren-kerenan dan untuk menambah daftar CV organisasi. Padahal fungsi organisasi tidak sehina itu, melainkan tempat eksplorasi yang tidak kita temukan di bangku kelas. Kampus memberikan teori, tapi organisasi menguji realita. Belajar kepemimpinan, mengetahui proses hidup yang tak seindah keinginan, atau hanya sekedar tahu bagaimana berbicara dengan orang yang berbeda pendapat dengan kita. Bukan berarti semua orang harus berorganisasi, tapi tanpa pengalaman itu, gelar sarjana tak ada gunanya.
Selain kuliah mereka anggap sebagai formalitas, ChatGPT dan copy-paste menjadi andalan mereka –semakin buruk masa depan. Pas SMA menggunakan Brainly, pas kuliah menggunakan ChatGPT. Teknologi yang seharusnya digunakan sebagai alat bantu untuk berpikir lebih kritis, malah dijadikan sebagai jalan pintas untuk mengerjakan tugas. Fenomena “asal kumpul tugas” semakin marak, tinggal menyalin dari internet untuk menggarap esai atau laporan. Akibatnya esensi kuliah tak dapat ia pahami, tugas yang seharusnya dijadikan alat untuk belajar, berubah menjadi sekedar formalitas administratif belaka.
Lebih parah lagi, setelah pulang dari lelahnya kuliah, waktu dihabiskan untuk scroll tik-tok daripada mencari wawasan baru. Teknologi disalah gunakan, media sosial pun begitu. Bukannya dimanfaatkan untuk mengeksplorasi konten positif nan edukatif, malah lebih sering digunakan untuk hiburan yang dangkal. Perhatian lebih tertuju pada outfit skena daripada isu sosial, apalagi isu lingkungan. Jika terus-terusan seperti ini, maka yang terjadi tidak hanya kesulitan dalam mencari pekerjaan, tetapi mahasiswa akan kehilangan peranannya dalam masyarakat sebagai agent of change.
Saya teringat dengan tragedi 98 yang dimana mahasiswa menunjukan peranannya sebagai agen perubahan, baik dalam gerakan sosial, politik, ataupun intelektual. Bukan hanya menimba ilmu di kampus, tetapi mereka turun ke jalan, ke masyarakat, mengadvokasi kebijakan, sehingga memberikan kontribusi terhadap perubahan sosial. Namun, kondisi saat ini jauh berbeda. Banyak mahasiswa yang semakin apatis terhadap lingkungan sekitarnya, tak peduli, dianggap tak ada gunanya. Lebih sibuk mengejar IPK tinggi atau sekadar bertahan dalam perkuliahan formalitas. Kesadaran kritis terhadap isu-isu sosial semakin melemah, tergantikan oleh budaya instan dan konsumsi hiburan yang dangkal.
Peran mahasiswa sebagai pemikir dan inovator semakin terkikis. Kuliah bertahun-tahun tanpa menghasilkan gagasan atau solusi nyata bagi masyarakat. Kegiatan organisasi dan diskusi intelektual sebagai wadah pengembangan diri semakin sepi peminat. Bahkan, dalam banyak kasus, aksi-aksi demonstrasi yang dilakukan banyak mahasiswa lebih bersifat FOMO tanpa tahu isu yang disuarakan. Jika mahasiswa terus kehilangan kesadaran akan perannya dalam masyarakat, maka keberadaan mereka di masyarakat tidak akan jauh berbeda dengan kotoran yang terbawa arus sungai, ia tanpa kontribusi nyata untuk masa depan.
Melihat fenomena ini, jelas bahwa kuliah bukan lagi jaminan kesuksesan jika hanya dijalani sebagaiformalitas belaka. Kita harus menyadari bahwa dunia telah berubah –persaingan semakin ketat, lapangan kerja semakin selektif, dan gelar saja tidak cukup. Lebih dari sekadar mengejar ijazah, kita harus tahu kenapa kita kuliah. Kuliah bukan hanya soal nilai atau lulus tepat waktu, tetapi juga tentang eksplorasi, pemahaman mendalam, dan pengembangan keterampilan yang relevan dengan dunia nyata.
Teknologi harus dimanfaatkan dengan bijak, bukan sekadar sebagai alat instan yang membunuh aktivitas berpikir krtis. Kita harus aktif, baik itu di organisasi, magang, proyek kemasyarakatan, jadi takmir masjid, atau apapun itu yang penting dapat terlihat dampaknya. Kita harus kembali pada peran sejati, sebagai agen perubahan, bukan sekadar konsumen hiburan dangkal atau pencari gelar tanpa substansi. Kampus bukan sekadar tempat mendapatkan gelar, tetapi tempat menempa diri, memandu perubahan, berkontribusi pada masa depan, serta tidak terjebak dalam ilusi intelektual tanpa arah.