“Jadilah orang yang berani memimpin dan mau dipimpin” sepotong nasehat kiai Kembali menyengat ingatan manakala name tag Santri masih menggantung di leher kecil dan penuh kepolosan dalam sikapnya. Memimpin ternyata benar-benar tidak bisa dibicarakan hanya dalam kepala atau di kafe dengan sepuntung rokok dan secangkir kopi penjaga kesadaran dari larut malam yang terus mengerogoti tenaga untuk segera lelap dalam tidur.
Berhubungan dengan manusia, berinteraksi, berteman, membangun tujuan Bersama dan menjalin kebersamaan mestilah melalui seluk beluk kesalahpahaman dan sebongkah kemanusiaan yang tak lekang dari salah dan kurang. Bukan jarang lagi terjadi koneksi yang putus atau pun ketidak jelasan informasi disebabkan jarak “hierarki” antara yang di urus dan yang mengurus. Meski sesekali sekat itu dikesampingkan sebentar dan Kembali menjadi teman bergurau hingga malam meredakan segala ketegangan dua belah pihak. Walau sebenarnya sisi manusiawi, entah sakit hati, tidak enakkan, kesal, kecewa sengaja di tekan kedalam demi hal-hal buruk jangka Panjang tidak menganggu proses kaderisasi.
Maka kejujuran dimasing-masing pihak perlulah di sampaikan agar masing-masing tahu dimana letak kesalahan yang perlu diperbaikin dan dilengkapi oleh yang lainnya. Ibarat potongan-potongan puzzle, dia, aku, kamu, mereka, kami, dan kita, mengutuhkan eksistensi komisariat, hingga kemudian, sedikit demi sedikit setiap kader menemukan jawaban “who I am” nya setelah beberapa konflik, interaksi, masalah, dan kesempatan menyingkap tirai-tirai kemisteriusan diri yang sejati. Tulisan ini akan menyuguhkan suara hati yang telah lama terpendam dan berbahaya jika terus dipendam karena sumber kejahatan berawal dari benci yang terus di tenggelamkan secara paksa yang suatu saat akan memberontak balik menenggelamkan kita.
“Kita seharusnya berterima kasih bagi seseorang yang dengan berani (entah karena suka ataupun benci) mengkritik kita, karena dia sudah membawakan batu bata yang kita lewatkan saat membangun “Aku adalah…”, dengan itu kita menjadi utuh” Ya, setidaknya itulah yang kupelajari setelah 1 tahunan ber-HMI. Terakhir, sebelum membaca “ulekan” dua belah pihak, akan penulis kutip ucapan Emmanuel Levinas, seorang filsuf prancis yang masih percaya kebaikan dari si hewan egois (manusia) :
“ Wajah orang lain adalah imbauan bagi setiap orang untuk tanggap pada yang lain dan melalui itu ia bisa menjadi dirinya. Hubungan antarmanusia merupakan hubungan etis, Tanggung jawab terhadap orang lain adalah prinsip moral dasar. Prinsip ini ada begitu saja tanpa di pilih”
Baiklah, berikut adalah tulisan-tulisan konstruktif penyadar kedua belah pihak, kesemua tulisna ini adalah hasil dari workshop LAPMI Ushuliyyah pada tanggal 11 Mei 2025, hasil tulisan yang satu ini tidak memunculkan semua tulisan dari peserta di workshop tersebut karena akan terlalu panjang, jadi tulisan selengkapnya akan di up di website ushuliyyah di kesempatan berikutnya. Pembaca akan menemukan kader yang mengkritik sukunya sendiri dan pengurus yang mengkritik teman sekepengurusannya juga, karena pemateri workshop mengkehendaki hal tersebut sebagai sarana belajar bersama.
Kritik untuk kader :
Dari : Hallea dari suku MEWING
KADER YANG TIDAK AKTIF DALAM ORGANISASI NYA.
Dalam suatu organisasi,keberadaan kader merupakan aset yang penting untuk menunjang berjalannya program serta capaian visi dan misi secara bersama.Akan tetapi tidak semua kader menunjukkan partisipasi keaktifannya dalam organisasi.Fenomena ketidakaktifan kader-kader dalam organisasi ini menjadikan suatu permasalahan yang cukup sering kita jumpai,entah itu dalam organisasi sekolah, masyarakat,perkuliahan, kejadian seperti ini sering di jumpai di perkuliahan (mahasiswa-mahasiswa).Yang dimana ketidakaktifan mereka menjadikan kendala serta bedampak pada individu itu sendiri dan terhadap organisasi.
Kader yang tidak aktif biasanya ditandai dengan jarangnya hadir ketika organisasi mengadakan rapat maupun kegiatan lainnya, serta tidak terlihat hadir dalam diskusi dan minimnya kontribusi nya dalam pelaksanaan program.Banyak faktor yang menyebabkan hal ini terjadi,entah itu faktor dari dalam maupun luar, seperti lemahnya komunikasi antar anggota, maupun ketidaksesuaian minat pribadi serta kegiatan organisasi. Dampak ketidakaktifan kader ini sangat menghawatirkan bagi organisasi,serta menghambat maupun memperlambat jalannya visi maupun misi dari organisasi tersebut.
Pemimpin organisasi sangat perlu untuk membangun komunikasi yang terbuka kepada kader kader nya,karena sangat penting sekali untuk membuka ruang bagi kader-kader agar dapat menciptakan suasana organisasi yang damai dan menyenangkan dan dimana setiap kader disitu merasa di hargai serta di butuhkan Kader yang tidak aktif bukanlah masalah yang bisa di biarkan terlalu lama.Organisasi yang sehat yaitu organisasi yang mampu merangkul seluruh kader-kader nya secara bersama agar menjadi maksimal.Untuk itu penting sekali bagi setiap pihak dalam organisasi untuk saling memotivasi, mendukung, mensuport dan merangkul kader-kader nya.Dengan demikian partisipasi aktif kader dapat tercipta dan organisasi pun dapat berjalan dan berkembang secara maksimal.
HMI mu cuma label?
Oleh : Khairul Putra dari suku AMER
Kau menggunakan gordon, kau hafal mars HMI, kau hadir di proker proker, apakah itu cukup disebut sebagai seorang kader? ketika pengukuhan engkau bukan hanya sekedar diresmikan sebagai kader HMI, namun engkau juga disumpah untuk berbakti dan mengabdi pada kapal ini, yang harapannya akan menjadi bibit-bibit yang berbobot dengan dedikasi dan perjuangan yang kau berikan. pada kenyataannya engkau masih berdiri di ambang pintu. Langkahmu belum sungguh-sungguh terjun, tapi juga tak benar-benar pergi.
Seperti burung yang betah di sarang, tapi enggan untuk belajar terbang. Ketika forum, kamu hadir. Diskusi mulai, kamu diam mendengar. Seolah cukup dengan menjadi nama dalam daftar hadir, padahal ruh HMI takkan pernah hidup hanya dari angka kehadiran. Jadi, jangan biarkan HMI-mu hanya sekadar label. Hidupkan ia dengan kontrtibusi nyata, karena sejatinya HMI tidak butuh kalian, tapi kalian lah yang butuh HMI, berikan makna pada setiap langkahmu di kapal ini.
HIDUP KADER TAK TAHU DIRI!
Kritik untuk pengurus :
Nazmi dari Suku MEWING
Kritik “Rumahku”: Kader yang Mengamati, Pengurus yang Sibuk Sendiri
Sebagai kader Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), saya sering bertanya-tanya: apa sebenarnya peran pengurus? Apakah mereka pemimpin gerakan atau sekadar pelengkap struktur organisasi? Dari bangku kader, saya melihat banyak hal yang menarik—menarik untuk dikritisi, bukan untuk ditiru. Karena di balik rapat-rapat panjang dan jargon perjuangan, saya justru melihat fenomena yang cukup menggelitik: pengurus yang terlalu sibuk menjadi pengurus, tapi lupa mengurus.
Saya cukup heran, mengapa banyak agenda HMI yang terlihat megah di pamflet tapi sepi di lapangan? Mungkin karena yang disibukkan hanya persiapan teknis, tanpa benar-benar menyentuh ruh kaderisasi. Atau barangkali, karena orientasinya hanya pada pelaporan dan dokumentasi media sosial. Di mana sebenarnya pengurus ketika kader butuh ruang dialog, bukan hanya daftar hadir?
Saya tidak menafikan, ada segelintir pengurus yang memang bekerja dengan tulus dan serius. Mereka layak diacungi jempol, meskipun seringkali kerja mereka dibebankan ganda oleh rekan sejawatnya yang hanya aktif saat foto bersama atau bagi-bagi jabatan. Kalau jadi pengurus hanya untuk gengsi dan portofolio LinkedIn, saya pikir itu bukan jalan juang yang diajarkan oleh pendiri HMI.
Sebagai kader, saya sering merasa hanya jadi penonton dalam pertunjukan elitisme kecil-kecilan. Ruang partisipasi dibuka, tapi hanya sebatas formalitas. Saran kadang dianggap gangguan, kritik disambut dengan defensif, dan yang tidak aktif dicap tak loyal. Padahal, bagaimana kami bisa loyal jika tidak pernah merasa dilibatkan?
Saya semakin sering bertanya-tanya: apakah pengurus sekarang benar-benar memahami makna kaderisasi, atau hanya sibuk memutar template kegiatan yang itu-itu saja tiap periode? Workshop, diskusi, upgrading—semuanya ada di kalender. Tapi sayangnya, hasilnya sering nihil dalam makna. Kader baru datang, duduk, dengar, lalu hilang. Tak ada ikatan emosional, tak ada jejak pemikiran. Yang tersisa hanya daftar hadir dan dokumentasi di grup WA. Lalu, kita pura-pura puas bahwa “acara berjalan lancar”.
Lebih ironis lagi, banyak pengurus yang begitu bersemangat saat menyambut tamu dari luar cabang—berpakaian rapi, bicara lantang, sok akrab dengan istilah ideologis. Tapi giliran kader sendiri yang ingin mengusulkan ide atau kritik, tiba-tiba mereka mendadak sibuk, atau bahkan menghilang. Lucu, bukan? Seolah lebih penting membangun citra ke luar daripada membangun kekuatan ke dalam.
Kita sering mengangkat jargon “independen”, “intelektual”, dan “islami”, tapi sayangnya, yang terjadi malah sebaliknya. Independensi berubah jadi apatisme, intelektualitas digantikan basa-basi, dan keislaman hanya sebatas pembuka acara. Di tengah itu semua, kader seperti saya mulai kehilangan arah—bukan karena malas belajar, tapi karena tidak tahu harus belajar pada siapa.
Dan tolong, jangan terlalu cepat menyalahkan kader yang pasif. Kadang, kami bukan tidak mau ikut, tapi memang tidak pernah diajak benar-benar masuk. Bukan tidak peduli, tapi sudah jenuh dengan ruang diskusi yang hanya berisi suara segelintir orang yang sama, mengulang topik yang sama, dengan kesimpulan yang tak pernah mengarah pada perubahan. Kalau pengurus merasa kader kurang aktif, coba tanya dulu: sudahkah kalian menciptakan ruang yang membuat kami merasa dibutuhkan?
Saya tidak ingin HMI berubah jadi organisasi yang hanya hidup karena struktur. Di mana pengurusnya hanya hadir karena ada jabatan, dan kadernya hadir hanya kalau ada konsumsi. Jangan-jangan, tanpa kita sadari, kita sedang menjadikan organisasi ini seperti proyek mahasiswa: ramai saat awal, lesu di tengah, dan bubar saat laporan pertanggungjawaban.
Saya menulis ini bukan karena benci, tapi karena sayang. Kritik ini bukan untuk menjatuhkan, tapi untuk menggugah. Kalau pengurus memang merasa sebagai pembimbing kader, maka sudah saatnya berhenti sibuk sendiri dan mulai hadir secara nyata. HMI tidak butuh pengurus yang sekadar duduk di depan forum, tapi yang mampu menyatu dengan denyut kader di bawah. Semoga tulisan ini tidak hanya dianggap keluhan kader bawahan, tapi menjadi tamparan halus bagi mereka yang merasa “paling bergerak”.
Sepotong keresahan dari Gaylord Aji, suku JAMAIKA
DI PULAU INI
Aku terbangun di suatu malam, lalu mendapati langit sedang menangis—seakan ia memahami isi hatiku. Kegelisahan dan keresahan ini masih sama seperti hari kemarin, di pulau ini.
Pulau yang dihuni oleh berbagai spesies hewan: mulai dari Beo yang pandai beretorika, Serigala yang solid, Singa yang perkasa, hingga Komodo si kanibal yang tak segan memangsa sesama jenisnya.
Sudah hampir setahun aku di sini. Mengamati, menyaksikan situasi pulau yang membuatku merasa terancam jika terus bertahan. Kalau pakai bahasa kerennya, hazard, ya? Hehe, sok banget! Tapi ini menarik… aku suka.
Meski begitu, dalam kondisi seperti ini, kadang aku terobsesi pada hewan-hewan lain di sini. Misalnya Beo—aku ingin memiliki kecerdasan linguistik sepertinya agar bisa memengaruhi Singa yang perkasa atau Serigala yang solid, untuk membunuh Komodo si kanibal itu.
Ah, imajinasiku terhempas jauh keluar pulau. Punya kecerdasan linguistik, sekaligus perkasa seperti Singa? Mustahil si kanibal itu akan memberiku simpati. Lebih baik aku kembali meratapi realita bersama Serigala saja.
Nanti aku ceritakan lagi, ya? Kalau masih tersadar esok hari…
Yogyakarta, 14 April 2025
Di rumah milik seorang filsuf abad 21