Di tengah perkembangan teknologi yang saat ini ada pada puncaknya, penggunaan sosial media dewasa ini semakin marak dalam kehidupan masyarakat. Demikian penyebaran informasi tak terkendali, begitu juga hoaks dan berita tidak benar juga tak terbendung, yang pada akhirnya kita tertidur dalam satu labirin krisis akan kebenaran yang rasanya paling paradoks dalam perjalanan sejarah manusia. Hingga di ujung tombak akses informasi yang tak terbatas kini, justru landasan yang kita anggap “kenyataan yang sesungguhnya” menjadi rapuh dan terfragmentasi.
Persoalan utamanya bukan lagi perihal tsunami informasi atau maraknya hoaks yang berpelukan dengan kebenaran, melainkan pada pergeseran epistimologis yang fundamental – kebenaran yang ada pada saat ini sering ditentukan oleh visibilitas algoritmik ketimbang ketelitian dan kejelian verifikasi. Realitas yang sesungguhnya, dengan segala kompleksitas dan nuansanya, kalah pamor dengan pesona singkat yang dirancang untuk For You Page (FYP). Dalam ring pertarungan ini, yang menang bukanlah yang paling benar, tetapi yang paling sesuai dengan logika mesin – yang paling bisa memantik emosional, yang paling mengonfirmasi bias, dan yang paling ringan dikomsumsi. Oleh karena itu, situasi seperti ini bukan lagi sekadar gangguan pada ekosistem informasi; ia menjelma layaknya tantangan lansung terhadap bagaimana cara kita membangun konstruksi pengetahuan, sebagai sebuah persoalan yang telah jauh puluhan tahun dahulu diantisipasi oleh filsuf yang bernama David Hume dengan skeptismenya yang radikal.
Hume, dengan pisau bedah filsafatnya, mengiris tabir demi tabir kita mengenai dasar dari keyakinan. Ia berargumen bahwa banyak yang menjadi fondasi atas keyakinan kita – terutama mengenai keyakinan pada hubungan sebab-akibat – bukan sebagai produk logis yang tak terbantahkan, melainkan hanya sebatas anak kandung dari “kebiasaan”. Sebagaimana contoh yang lumrah ia gunakan, “kita yakin kalau matahari akan terbit besok pagi” bukan karena kita memahami sepenuhnya pada hukum gravitasi dan tata surya, tetapi semata-mata karena kita telah terbiasa menyaksikannya terjadi berulang-ulang. Pikiran kita kata Hume, di arahkan oleh asosiasi ide yang semakin kokoh melalui pengulangan. Kebenaran dalam ranah ini merupakan sebuah perasaan – perasaan keyakinan yang melekat pada sebuah ide setelah ide tersebut menjadi semakin akrab bagi pikiran. Ini yang disebut the great guide of human life. Namun pertanyaannya, apa jadinya ketika “guide” atau pemandu alamiah manusia ini dibajak dan diperkuat dayanya secara eksponensial oleh sebuah teknologi, seperti halnya saat ini?
Algoritma media sosial kini menjadi mesin kebiasaan sebagaimana digambarkan Hume yang disempurnakan. Ia layaknya konstruksi arsitektur yang kasat mata, membangun realitas kita batu demi batu berdasarkan data yang kita tinggalkan. Ketika ada sebuah klaim – misalnya, suatu peristiwa sejarah adalah rekayasa – mulai mendapatkan angagement, algoritma akan memperkuatnya dengan menayangkannya berulang kali di depan khalayak yang dianggap reseptif. Proses ini bukanlah debat publik yang transparan, tetapi sirkulasi tertutup dalam filter bubble. Paparan berulang inilah yang memicu mekanisme kebiasaan Hume. Sebuah narasi yang asalnya terasa asing dan tidak masuk akal, setelah muncul sekian kalinya di FYP, mulai terasa familiar. Dan dalam ekonomi perhatian digital, menimbulkan rasa familiar dengan mudah dikonversi menjadi rasa percaya. Dan pada akhirnya kita mempercayai sesuatu bukan melalui penelitian, melainkan karena kita terbiasa dengannya. Demikian mesin algoritmik telah mentransformasi epistimologi Hume dari sebuah pengalaman filosofis menjadi sebuah kekuatan besar sosiologis yang dapat mengatur keyakinan miliaran manusia.
Akar persoalananya kemudian kini menjadi jelas; kita menghilangkan daya pemandu kebenaran dari nalar dan penyelidikan empiris yang lambat dan seringkali tidak nyaman, pada sekotak mesin yang dirancang dengan optimal guna kepuasan instan dan penguatan prasangka. Ini melahirkan bayi epistemik yang baru. Pertama, dapat saya katakan sebagai “personalisasi kebenaran”, artinya, tidak ada lagi kebenaran realitas yang dapat kita dialogkan bersama dengan dasar yang sama. Yang ada saat ini hanya kebenaran realitas versi-ku VS kebenaran realitas versi-mu, yang masing-masing dikurung dalam satu ruang gema yang diproduksi khusus oleh algoritma. Ketika basis fakta kita kini saling berbeda, dialog menjadi mustahil, dan yang tersisa hanyalah pertarungan keyakinan. Kedua, saya beri nama “erosi otoritas tradisional”. Otoritas ilmu pengetahuan, jurnalisme, dan ahli – dengan semua celahnya – dibagun atas proses verifikasi yang transparan dan dapat diuji. Sementara otoritas algoritma bersifat opaque, tak dapat terbaca, dan hanya memiliki satu tujuan, yakni memaksimalkan waktu screen time. Dalam sistem yang baru ini, seorang influencer yang vokal dapat dengan mudah dan ringan mengalahkan kredibilitas seorang profesor yang mengabiskan tahunan untuk meneliti satu obyek.
Lalu dalam benak ini timbul satu petanyaan, di manakah jalan keluarnya? Usaha konvensional seperti literasi digital dan penelusuran fakta lebih lanjut, meski sebenarnya penting, kini terasa seperti menambal kapal perang dengan plester saja. Artinya, kita perlu menemukan pendekatan yang lebih radikal, sebuah peninjauan ulang terhadap hubungan kita dengan teknologi pengetahuan itu sendiri. Kita perlu mengembangkan kerendahan hati epistemik – sebuah pengakuan bahwa keyakinan kita mungkin saja dibentuk oleh kebiasaan algoritmik, dan karenanya kita harus selalu keterbukaan untuk diuji. Kemudian, kita harus dengan sengaja mencari ketidaknyamanan kognitif. Hal ini mengandung arti secara aktif perlu kita mengikuti akun-akun yang perspektifnya berbeda, menelusuri laporan yang panjang dan kompleks, dan kemudian kita perlu melatih diri untuk tidak gampang terkecoh oleh kepuasan instan dari konten yang sekadar mengonfirmasi apa yang telah kita yakini. Singkatnya, kita harus menjadi arsitek yang sadar bagi ruang gema kita sendiri.
Hingga pada akhirnya, tantangan yang dihadirkan oleh kolaborasi antara psikologi Hume dan teknologi algoritma ini mengajak kita pada sebuah refleksi yang dalam. Ia memaksa saya untuk bertanya: Apakah kebenaran hanyalah sebuah produk dari pola paparan yang berulang kali kita alami? Dan jika iya, apakah kita rela menyerahkan kendali atas pola itu sepenuhnya kepada logika pasar perhatian yang didorong oleh profit? Mungkin jawabannya terletak pada upaya kita untuk merebut kembali peran sebagai subjek yang berpikir, bukan sekadar objek yang dijejali kebiasaan. Di tengah gempuran FYP yang tak ada henti-hentinya, tindakan yang paling revolusioner mungkin justru adalah jeda sejenak – untuk mempertanyakan dari mana keyakinan ini berasal, dan apakah ia hadir karena kebenarannya, atau semata-mata karena kebiasaan yang telah dipasangkan kepada kita oleh mesin yang paling canggih yang pernah kita ciptakan.


