“Abis wisuda mau kerja dimana”, “Nanti skripsi mau ngambil judul apa”, “weh nanti mau nyari loker dimana”, “pasangannya mana ?”, “dan bla, bla, bla lainnya.” Sederet pertanyaan yang (pasti) pernah nonggol di benak kita tak terkecuali generasi yang jadi topik utama buletin kali ini. Generasi yang sangat, sangat, sangat hot diomongin diberbagai platform media sosial. Tik tok, Instagram, Twitter, dan Youtube tak mungkin tidak menyenggol Angkatan muda satu ini. Yah, siapa lagi kalau bukan calon pemimpin Indonesia (ekhem) Emas 2045.
Yup, Generasi Z alias Gen Z, anak-anak muda yang begitu akrab dan gak bisa lepas dengan gadget ini diharapkan memimpin Negara ini dari Sabang sampai Merauke. Tapi, seakan dunia mau menyeleksi anak-anak muda yang berjumlah sekitar 74,93 juta jiwa, atau 27,94% populasi (dikutip dari goodstats) media sosial hadir dengan plus dan minus-nya bagaikan pisau bermata dua. Dan ya, dalam tulisan kali ini, media sosial akan kita kuliti bersama-sama.
Media sosial yang selalu berubah-ubah tren seakan sudah menjadi kodratnya untuk tidak baku dan mapan. Dan memberikan ruang ekspresi diri seluas-luasnya, kita dapat menampilkan Sebagian citra diri yang kita pilih untuk membuat identitas baru didunia ini. Kebebasan itu seakan menciptakan ruang perlombaan dalam menampilkan capaian-capaian individu, seperti kekayaan, tempat wisata, barang yang baru dibeli, dan variasi materi lainnya yang secara tidak sadar mengusik naluri “makhluk sosial”-nya manusia untuk ikut-ikutan tren diberanda media sosial mereka. Ketersediaan platform untuk perbandingan sosial dan validitas eksternal membisiki telinga kita bahwa “kamu masih kurang ini dan itu, begini dan begitu” sehingga mempengaruhi persepsi individu tentang dirinya sendiri dan melahirkan “pengganggu” didalam ruang interpersonal kita.
Melihat teman kita sudah berhasil mencapai sesuatu atau sudah menemukan kebahagiaan yang bikin iri seperti sudah punya gaji seginilah, sudah bekerja disitulah, lagi kuliah diluar negri dan belum lagi standar yang entah jejak informasinya dari mana memaksa secara halus seperti tulisan “di usia 25 tahun harus sudah punya gaji dua digit”, “di usia 27 tahun adalah waktu yang tepat untuk menikah,” dan seterusnya dan seterusnya.”
Tekanan halus media sosial ini menyelipkan rasa tidak puas diri dan apabila intens dikonsumsi mengakibatkan kecemasan, alienasi sosial, hingga depresi. Kata-kata berkonotasi negative yang melekat pada generasi yang satu ini. Kesehatan mental dan healing sebagai jalan keluarnya menjadi siklus mandek penghambat kemajuan diri. Namun, kenapa sih GenZ rentang dengan serangan mental?.
Otak yang masih disetir Amygdala
Apa itu Amygdala?, Amygdala adalah bagian dari otak manusia yang bertanggungjawab untuk mengurus emosi dan respon terhadap stress. Menurut laporan Republika dalam kanal Ameera, otak remaja akan terus dikendalikan oleh amygdala sampai preprontal cortex, bagian otak yang mengurus Keputusan-keputusan dan pertimbangan rasional mencapai kematangannya di usia ke-25 tahun. Jadi kesimpulannya, selama remaja belum berulang tahun yang ke-25, maka selama itulah porsi otak kita lebih banyak dikontrol oleh amygdala yang cenderung menggunakan perasaan dari pada logika. Maka dari itu cap “labil” untuk remaja tidaklah salah dan sudah diafirmasi oleh ilmu saraf otak atau neuroscience. Berbeda dengan orang dewasa, Preprontal cortex sebagai bagian “rasional” di dalam otak yang dapat membantu sesorang untuk berpikir jangka panjang baru mencapai kematangannya di usia 25 tahun dan sudah siap mengambil alih kendali otak untuk membuat keputusan dengan tendensi emosinal yang lebih minim. Maka dari itu, usia Gen Z saat ini yang belum berusia 25 tahun dan masih menginjakkan kaki di kursi perkuliahan sedang berada di fase otak yang di setir oleh amygdala.
Demikianlah remaja, fase pencarian jati diri dan semangat yang berapi-api dengan fisik yang bugar dan kuat untuk menemukan siapa aku sebenarnya. Disebabkan amygdala yang berfungsi mengendalikan emosi seperti sedih, marah, senang, dan yang lainnya seakan menjadi booster perubahan. Tapi, kenapa pola hidup tetap di zona nyaman, suka hura-hura, kurang sabaran, mau instannya saja dan kurang menghargai proses menghalangi pembentukan dan kebingungan jati diri?.
Ambivalensi media sosial.
Media sosial adalah rintangannya, menurut penelitian Akilah Mahmud dalam jurnal ushuluddin Volume 26 Nomor 2 Tahun 2024, media sosial menjadi salah satu faktor dari krisis identitas Gen Z. Akibat paparan media sosial yang intens, berdampak pada problem-problem psikologis yang selanjutnya mempengaruhi kehidupan sosial seseorang. Mahmud menuliskan: “Generasi Z, yang lahir kisaran tahun 1990-an sampai awal 2010-an, menghadapi tantangan dalam mempertahankan identitas budaya dan pribadi mereka di era digital yang cepat. Media sosial, walaupun bermanfaat, sering memperburuk krisis identitas melalui penyediaan platform untuk perbandingan sosial dan validasi eksternal, yang mengakibatkan kecemasan, depresi, dan alienasi sosial. Penyalahgunaan narkoba, perilaku agresif seperti tawuran, ketergantungan pada ideologi ekstrem, dan konsumerisme berlebihan adalah beberapa bentuk patologi sosial yang muncul akibat ketidakpastian identitas ini.”
Berimbasnya perilaku sembrono mengindikasikan gejala Patologi sosial, perilaku menyimpang yang terjadi akibat ketidakseimbangan dalam struktur sosial. Mahmud menulis: “Ketika individu dari Generasi Z mengalami krisis identitas, mereka mungkin mengalami kesulitan dalam beradaptasi dengan tuntutan sosial dan profesional, yang dapat mengganggu stabilitas sosial dan ekonomi serta kesejahteraan psikologis. Misalnya, ketidakstabilan dalam memilih jalur karier atau tujuan hidup dapat mempengaruhi produktivitas dan keterlibatan sosial mereka.” Keterbiasaan menerima hal-hal instan dan hiburan jangka pendek membentuk mental tidak menghargai proses dan tidak sabaran. Pantas saja jati diri tak kunjung ditemukan, pada satu sisi budaya komsumsi hal-hal receh, hiburan instan, sampai meme absurd peningkat IQ menguras waktu kita. Dan di sisi lain, postingan-postingan keberhasilan seseorang bikin yang belum mendapatkannya merasa minder, cemas, bahkan stress dan akhir dari itu semua, overthinking di atas kasur (keep positive bro, masak bund*r mulu ujung-ujungnya).
Meski media sosial bukanlah faktor utama. Dinamika keluarga, lingkungan sosial dan tekanan akademis agar memperoleh pekerjaan yang layak di era (yang mana) AI mulai mengusur beberapa pekerjaan manusia menjadi faktor lainnya dan menambah beban pikiran Gen Z dengan krisis identitas mereka. Mereka ingin buru-buru menemukan jati diri mereka (imbas dari habit mengonsumsi hal-hal instan) tapi diri yang sejati tak mungkin ditemukan hanya dalam satu malam. Mereka yang pesimis mencurahkan kegelisahan mereka dengan tulisan putus asa di media sosial yang memperburuk isi media sosial dan terciptakan ketidakpastian yang menakut-nakuti masa depan. Suramnya masa depan ini membuat mahasiswa yakni Gen Z saat ini kebingungan mau kerja apa dan dimana mereka setelah lulus. Dan mulai menyempitkan arti Pendidikan sebatas untuk mencari kerja, Gen Z merasakan Kafkaesque, kondisi mental yang absurd, bingung, entah dimana jalan keluarnya, mandek, dan semakin membingungkan. Sisi negative mengonsumsi konten instan lainnya membuat Sebagian lainnya apatis karena sudah sedemikian suramnya masa depan yang dibicarakan itu, mending main gitar, scroll tik tok, nongkrong sampai jam 4 shubuh bahas negara padahal sudah semester 17. Sampai-sampai menyangkal kebenaran yang nyata adanya sebab menyenggol kenyamanan semu mereka. Lantas, tidak adakah titik terang untuk generasi ini, setelah #indonesiagelap dan #kaburajadulu menyesakkan media sosial?.
Dari beberapa sumber yang sudah dikumpulkan di atas, kayaknya banyak yang relate sama hidup kita. Kalau iya itu berarti kita tidak sendiri. Mari, kita coba minggir sejenak, mari beri jeda dari tumpukan fakta nan riuh lagi bising itu, ayo buang segala kesumpekan ini seperti menguras air bak mandi lalu membersihkannya dari dalam. Aku tahu ini bukanlah perjalanan yang ringan, seperti menyusuri belantaran rimba di malam hari, begitulah usaha menyelami diri ini, biarkan diri “menguyah” kata demi kata, Tarik nafas bila perlu, dan ayo kita mulai.
Autentisitas dalam belantaran rimba
Benarkah Gen Z kehilangan identitasnya?. Kalau kita lihat dari “luar” sebenarnya Gen Z bukannya kehilangan identitasnya, tapi Gen Z mendapatkan banyak sekali pilihan untuk menjadi apa dan siapa yang dia inginkan. Which one, memiliki terlalu banyak pilihan identitas. Inilah yang membuat bingung, dilema antara mengikuti standar yang akan berubah dalam hitungan hari dan dilain sisi kebebasan yang terbuka lebar untuk menjadi siapapun yang kita mau seolah keduanya terus saja tidak memberik jeda. Tiada hentinya pencapaian orang lain diperlihatkan mendorong kita untuk berbuat lebih dari kapasitas diri sendiri. Saya akan memberikan
- Batasi kebisingan eksternal, terlalu banyak informasi dan ekspetasi membuat seseorang susah menyimak suara hatinya sendiri. Berhentilah sejenak, Dia dan refleksi merupakan Langkah pertama, berhentilah mencari motivasi, yang patut dipertanyakan kepada dirimu sendiri bukan quotes-quotes keren melainkan “kapan mau mulai?.
- Temukan identitas dalam aksi, tidak dari label, tak jarang kita terjebak dalam lingkaran setan dari pertanyaan “aku siapa” dan tak kunjung ketemu jawabannya, lebih baik bertanyalah “apa yang bisa kukasih kehidup ini.”
- Tak perlu takut berubah, identitas itu tidak statis, ia evolutif, jika saat ini masih heran dengan identitas diri, itu hanyalah bagian dari perjalanan hidup bukan akhir hidup.
- Temukan komunitas, identitas kadang kalannya harus dipancing dulu keluar dengan interaksi, dikusi, dan berjuang atau hanya sekedar berkumpul dengan mereka yang satu frekuensi. Identitas sejati itu bukan hanya ditemukan dalam diri, akan tetapi, bagaimana kita terlibat aktif berkontribusi dan memberi makna bagi orang lain, tanpa sengaja kamu akan menyadari sepotong jati diri dari sini.
Diombang-ambing memanglah memusingkan, hanya tawa riang sementara yang didapat, saat hening mencoba membantumu merefleksikan apa yang sudah kamu lakukan, kamu malah semakin tidak tahu akibat waktu yang sia-sia yang sudah dipakai. Jangan biarkan media sosial yang memahat identitas dan nilai Istimewa diri kita. Hentikan mindset pasif seperti “apa yang bakal aku dapet didunia ini” karena kamu hanya akan menjadi kertas putih yang siap Digambar apa saja, ubahlah dengan “apa yang bisa aku berikan untuk hidup ini” setiap pengalaman yang dialami entah baik atau buruk adalah tanda bahwa kamu hadir dan berubah antara satu masa dengan masa yang lain. Seorang filosof Pendidikan asal amerika, John Dewey punya quotes yang bis akita resapi kedalamannya, kata dia “Education is not to preparation life, but education is life itself” Pendidikan itu bukan untuk mempersiapkan masa depan, tapi Pendidikan adalah hidup itu sendiri.
Binatang hidup dengan berjalan Bersama nature-nya, kalau lapar makan, kalau haus mereka minum, dan jika “kebelet” mereka mencari lawan jenis, dan jika diusik mereka akan melawan hingga rela membunuh lawannya itu. Tapi manusia diciptakan untuk menunggangi nature-nya, alias mengatur kondisi biologisnya, segala kelebihan dan kekurangan dirinya dapat ia control dan arahkan kemana pun ia mau, itulah seyogyanya manusia hidup dan harus terus begitu, kalau dia berhenti menjadi “tuan atas dirinya sendiri” maka ia akan diperbudak oleh Hasrat-hasrat tak berkesudahan. Mumpum masih awal-awal tahun, sebaiknya mulailah sebab identitas tidak hanya tentang menemukan, tapi juga tentang menciptakan.