25.4 C
Yogyakarta
Monday, December 23, 2024
spot_img

Wajah Ganda Gaya Hidup Mahasiswa

Data yang dikeluarkan Badan Pusat Statistik (BPS) 2021 menampilkan angka 400.000 mahasiswa di Daerah Istimewa Yogyakarta. Jumlah itu akan terus bertambah setiap tahunnya. Sementara itu, dilansir dari Kumparan (6/8/2020), keberadaan jumlah mahasiswa menjadi keberuntungan perputaran ekonomi di Yogyakarta. Sektor parawisata yang digadang-gadang bisa mendobrak perekonomian setelah Covid-19, berbeda jauh jika dibandingkan dengan aktivitas mahasiswa. Jumlahnya bisa mencapai Rp6,7 triliun per tahun.

Apa yang perlu dipertanyakan dengan hadirnya indekos eksklusif dan 3.000 kedai kopi di Yogyakarta. Apakah itu akan merubah Jogja, meminjam penggalan puisi Jokpin, yang terbuat dari rindu, pulang dan angkringan? Jumlah lain yang mengagetkan, kedai kopi di seluruh wilayah DIY mencapai 3.000. Rahadi Sapta Abra, selaku Ketua Panitia Jogja Coffe Week 2022, mengatakan bahwa Yogyakarta menjadi kota dengan kedai kopi terpadat di Indonesia.

Selain wisata dan kedai kopi, ada indekos yang menjadi sasaran bisnis dan targetnya adalah mahasiswa. Jika masuk ke pencarian Google, lalu mengetik ‘Jumlah Indekos di Yogyakarta’, website Mamikos ada di paling atas dengan tajuk ‘Kost Jogja Murah – Tersedia 5156 Kost’. Ada banyak varian harga, jenis, fasilitas, dan aturan indekos di platform Mamikos. Harganya dibanderol mulai dari Rp300.000 hingga Rp5.500.000 untuk area sekitar UIN Sunan Kalijaga. Melihat data di atas, Yogyakarta menjadi pusat perekonomian yang targetnya adalah mahasiswa.

Sementara itu, babak baru mahasiswa menjelang semester awal akan segera dimulai. Pada periode dramatik ini, seluruh mahasiswa, akan menjalankan aktivitas akademik setelah libur panjangnya. Bagi mahasiswa baru, momen ini menjadi penting dan langka, selain akan ada kontrak belajar dan pengenalan budaya akademik, mereka akan digiring untuk menekan kontrak sosial dengan mahasiswa lainnya.

Kontrak sosial itu, meski jarang disadari, akan membentuk pola pikir, komunikasi, dan gaya hidup baru. Beberapa di antara mahasiswa akan saling mentransfer budaya masing-masing. Pada saat yang sama, mahasiswa akan mulai menentukan identitas dirinya, baik melalui ekspresi berupa pemikiran ataupun gaya hidup.

Gaya hidup, bahkan di kalangan mahasiswa, merupakan aktivitas individu yang diidentifikasikan dengan melihat bagaimana seseorang menghabiskan waktu, apa yang mereka anggap penting, dan seperti apa imajinasi tentang dunia sekitarnya. Selain indekos, kedai kopi, dan wisata, media sosial dan online shop memiliki peran besar terhadap gaya hidup mahasiswa. Kehidupan sehari-hari pada akhirnya diwarnai dengan aktivitas konsumsi. Kelompok sosial tertentu, akan memiliki aktivitas wajib dengan membeli Rahadi Sapta Abra, selaku Ketua Panitia Jogja Coffe Week 2022, mengatakan bahwa Yogyakarta menjadi kota dengan kedai kopi terpadat di Indonesia barang sebagai tuntutan gaya hidup. Celakanya, gaya hidup ini bisa berimbas pada pola konsumsi yang berlebihan. Perilaku ini bisa menyebabkan mahasiswa melakukan banyak cara untuk memenuhinya. Tidak sedikit mahasiswa yang terpaksa menggunakan jasa pinjaman online atau paylater.

Varian Indekos dalam Dua Tilikan

Mengingat mahasiswa yang ada di Yogyakarta lebih banyak datang dari luar kota, tidak menutup kemungkinan bahwa budaya konsumtif muncul sebagai prodak budaya luar. Gaya hidup yang ada di lingkungan mahasiswa menjadi beragam. Mulai dari fesyen, gaya bicara, selera makan, dan tempat hang out.

Di sini kita akan menggarisbawahi gaya hidup tempat tinggal (indekos) mahasiswa di Yogyakarta. Pertama adalah indekos eksklusif. Kedua, indekos yang memiliki citra penekanan kepada identitas tertentu, semisal Kos Muslim.

Mengenai indekos eksklusif, tidak ada definisi khusus. Hanya saja, secara umum, orang-orang menggambarkan indekos ini dengan fasilitas yang lengkap. Mulai dari desainnya minimalis, kasur, TV, AC, lemari, kamar mandi dalam, dan lainnya.

Selain itu, sesuai dengan gerak denyut masyarakat urban yang aktivitasnya 24 jam, indekos ini tidak membatasi jam malam. Bahkan, pengunjung bisa keluar masuk, baik itu teman atau pasangan. Tidak jarang banyak orang memberi istilah indekos ini dengan sebutan Kos LV (Las Vegas). Pada intinya, meski indekos eksklusif memiliki streotip indekos bebas, ia tetap memiliki aturannya masing-masing.

Gaya hidup mahasiswa, bisa di lihat dari tempat di mana dia tinggal. Indekos eksklusif, menjadi penanda bahwa penyewanya termasuk ke dalam golongan kelas menengah ke atas. Hal tersebut dapat dilihat dari kegiatan yang dilakukan sehari-hari, cara mereka menghabiskan uang, tempat belanja, dan mengingat mahasiswa yang ada di Yogyakarta lebih banyak datang dari luar kota, tidak menutup kemungkinan bahwa budaya konsumtif muncul sebagai prodak budaya luar. kegiatan yang dilakukan untuk mengisi waktu luang. Melihat besaran jumlah sewa, bukan hal yang tidak mungkin bahwa uang saku mahasiswa bisa sampai tiga atau lima juta setiap bulan atau bahkan lebih.

Di sisi lain, ada indekos yang mempertegas identitas tertentu. Jenis indekos ini sudah umum di daerah Yogyakarta. Ada banyak sekali plang dengan identitas Kos Muslim atau Kos Muslimah. Problemnya, disintegrasi sosial akan melekat di setiap indekos. Padahal, dengan beragamanya identitas dan budaya, setiap mahasiswa akan menciptakan ruang interaksi baru dan menjadikannya sebagai arena integrasi sosial. Selain di kampus, hal ini bisa tercipta di ruang kecil seperti indekos.

Salah satu dampak dari adanya penekanan identitas tertentu terhadap indekos adalah diskriminasi kepada penyewa. Contohnya banyak sekali terjadi penolakan terhadap mahasiswa Papua yang mencari kos atau kontrakan di Yogyakarta, disebabkan oleh streotip atau stigma negatif.

Fenomena Nongkrong di Kedai Kopi

Kedai kopi menjadi bagian yang sangat dekat dengan budaya ngopi masyarakat Indonesia. Munculnya kedai kopi dengan konsep modern, minimalis dan estetis, mulai melejit setelah munculnya film Filosofi Kopi yang dirilis pada tahun 2015. Di kota-kota besar, khususnya di Jogja, kedai kopi bukan hanya saja menjadi tempat nongkrong, tapi juga menjadi tempat para mahasiswa untuk melakukan kerja kelompok, para pekerja freelance, dan lainnya.

Tidak sedikit kedai kopi modern yang menganggat tema coworking space. Maka, banyak pula orang melakukan agenda meeting, entah itu bisnis atau organisasi, yang kemudian menjadikan kedai kopi tempat yang nyaman untuk bekerja. Fenomena budaya nongkrong sudah mengalami modifikasi gaya di kalangan kaum muda. Pembicaraan ini bukan isu baru, akan tetapi selalu hadir dengan persoalan lain. Kedai kopi, di kalangan masyarakat urban, apalagi mahasiswa jumlah besarnya berasal dari luar kota, menjadi sebuah artefak budaya yang terikat dengan praktek sosial.

Setiap kedai kopi memiliki ciri khasnya masing-masing. Mulai dari desain interiornya yang minimalis dan modern, menu kopi yang beragam, bahkan ada yang memakai konsep klasik untuk nostalgia terhadap tempo dulu. Bukan hanya itu, tanpa disadari, selera musik dan lidah pengunjung diseragamkan sesuai dengan konsep dari kedai kopi.

Jika melihat realita di kedai kopi dan media sosial, kebanyakan orang, termasuk juga mahasiswa, menjadikan kedai kopi sebagai ajang pamer gaya. Tanpa disadari, ruang yang tercipta bukan hanya interaksi antar pengunjung, namun juga ada komunikasi antara simbol. Simbol itu ditandai dengan style terkini, mulai dari baju, tas, sepatu, dan lainnya.

Pergeseran aktivitas pengunjung yang awalnya banyak di isi sebagai tempat untuk mengisi waktu luang, berdiskusi, rapat organisasi, berubah menjadi panggung teatrikal aktualisasi yang dilakukan melalui postingan foto atau status di media sosial. Karakteristik ini memiliki kecenderung ingin menjadi pusat perhatian, mencoba hal baru, ikut-ikutan, dan suka berfoya-foya.

Pada akhirnya, gaya hidup yang terbentuk hanya sebagai ajang bersolek diri di kalangan mahasiswa. Apa pun kondisinya, lingkungan seakan menuntut mereka untuk selalu tampil modis dan menarik. Apa yang perlu dipertanyakan dengan hadirnya indekos eksklusif dan 3.000 kedai kopi di Yogyakarta. Apakah itu akan merubah Jogja, meminjam penggalan puisi Jokpin, yang terbuat dari rindu, pulang dan angkringan?.

Tulisan ini pernah tayang di buletin Ushuliyyah dalam rubrik Fokus Utama.

Related Articles

Stay Connected

- Advertisement -spot_img

Artikel Terbaru