Penulis: Yosie Hizkia Polimpung
Cetakan: I, Mei 2014
Penerbit: Penerbit Kepik
ISBN: 978-602-14261-2-8
Tebal: xvi + 216 halaman, 15,5 cm x 24 cm
Di setiap zaman, selalu ada fenomena di mana banyak orang kecewa dengan pemerintahan negara. Sikap dan mekanisme negara yang mengatur ini-itu atau menetapkan kebijakan klise sering menjadi pemantik dari kekecewaan tersebut. Ambil contoh di Indonesia, pengabaian terhadap Mahkamah Konstitusi (MK) oleh rezim yang berkuasa sebelum Pemilu 2024, atau keputusan pindahnya Ibu Kota Negara (IKN), serta izin konsesi tambang yang diberikan kepada pihak tertentu, telah memicu reaksi silang sengkurat di kalangan masyarakat. Di satu sisi, mereka yang merasa paling nasionalis dan taat hukum mendadak terhenyak; mereka membedah buku, mengadakan seminar, menyebarkan pencerahan, atau bahkan sampai pada titik nesu-nesu di berbagai platform media massa. Sementara itu, di sisi lain, tercium aroma shopistri di mana negara kita tercinta seolah-olah telah jatuh ke dalam ramalan-ramalan mistis-borjuasi, dan setiap orang akhirnya mengaamini apapun keputusan lembaga legislasi dengan dalih bahwa “kedaulatan negara hanya dapat dipertahankan oleh orang-orang tertentu.”
Masih banyak contoh lain di mana pembaca dapat meraba dan melihat gerak-gerik negara yang begitu obsesif untuk menjangkarkan kedaulatannya dalam relasi kehidupan rakyatnya berbangsa dan bernegara. Ambil contoh ketika pemerintah Amerika Serikat (AS) membuat kebijakan untuk perang global melawan terorisme (Global War on Terrorism/GWoT). Kebijakan tersebut bukan hanya sekadar politik luar negeri AS, tetapi juga upaya untuk memulihkan kedaulatan dan kedigdayaan pasca peristiwa teror “9/11” yang meruntuhkan gedung World Trade Center (WTC) dan Pentagon. AS mendadak histeris, baru beberapa dekade setelah menyerukan genderang kedigdayaannya, mendapati gedung pencakar langit yang mereka bangun sebagai simbol sekuritisasi penuh dan ketahanan ekonomi diretas para teroris. Kebijakan-kebijakan aneh bermunculan, deterritorialisasi kemudian menggema, hingga wilayah angkasa diakuisisi sebagai batas sah kedaulatan negara mereka.
Pertanyaan pun mulai muncul: Mengapa negara tampak “tenang-tenang saja” dalam situasi seperti itu? Bukankah aparatus hukum seharusnya mampu menakar intensitas laten dari fungsi politisnya? Di mana letak kedaulatan yang mengarah pada kesejahteraan rakyat yang lebih luas? Bagaimana jika negara berdaulat memang tidak bersungguh-sungguh mewujudkan keamanan dan kesejahteraan rakyatnya? Sebuah nestapa yang tak pelak mendera rakyat maupun lingkungan hidup dalam kebijakan yang sewaktu-waktu dapat berubah melalui prosedur-prosedur legal, yang akhirnya menembus sendi keseharian rakyat luas. Inilah kegegaran dalam narasi negara berdaulat; kedaulatan yang kita anggap melebur sebagai kepercayaan umum, di mana kedaulatan negara diasumsikan tak tergoyahkan (immortal) dan ada secara terberi (given to guaranteed), membuat kita luput untuk melacak proses kelahirannya, apalagi merumuskan dimensi emansipatoris dan resistensi terhadapnya. “Karena kedaulatan dilahirkan,” persis sebagaimana ungkapan penulis buku tersebut, “maka ia pun dapat dibunuh.” Kedaulatan yang tersematkan dalam tubuh negara diperoleh melalui skandal dan corak motif kedaulatan versi Westphalia (1648), cikal bakal setiap negara berdaulat hari ini.
Buku ini adalah artikulasi dan anti-tesis bagi cita-cita luhur kedaulatan; bahwa negara berdaulat, dalam prakteknya, tidak bisa lepas dari kerja-kerja fasis seperti represi, pembentukan abjek-abjek (baca: Judith Butler “Bodies That Matter: On Discursive Limits of Sex”), eksploitasi identitas, pemeliharaan konflik, serta sentralisasi ekonomi yang bertujuan untuk menciptakan sense of belonging yang terkendali. Yosie Hizkia menggunakan metode Psikogenealogi, sebuah ekstraksi dari Psikoanalisis Jacques Lacan dan Genealogi Kekuasaan Michel Foucault, sebagai pisau analisis untuk menampakkan wajah asli kedaulatan negara—yang kelam, tersembunyi, muram, dan beringas. Melalui pendekatan ini, Yosie menekankan supremasi atas hasrat libidinal dan aspek ketidaksadaran dalam pembentukan serta mutasi historis suatu wacana (episteme) yang menjadi objek kajiannya. Ia melihat pertarungan wacana untuk menjadi rezim yang hegemonik sebagai pertarungan subjek-subjek hasrat untuk menjadikannya sebagai hasrat yang normal, sah, valid, dan universal. Sejarah dengan demikian merupakan bentrok antar fasis; siapa yang kalah akan tersingkir dan tenggelam bersama puing-puing zaman, sedangkan yang menang akan menjaga kesinambungan dan keutuhan eksistensi dirinya.
Paradoks kedaulatan ditunjukkan kemudian melalui usaha melacak sejauh mana negara mendapatkan definisinya. Kedaulatan negara dilahirkan, kemudian disebarkan melalui doktrin-doktrin statolatri (lihat: Antonio Gramsci, “Prison Text-Books”), istilah yang berasal dari dua suku kata “state” dan “idolatry” yang berarti pemujaan terhadap negara. Kondisi kekuasaan hegemonik ini menjadikan setiap orang seolah-olah diberikan tugas untuk mengemban identitas yang identik dengan status kebangsaannya dan legal sebagai makro-subjektivitas, yang kemudian mewujud dalam tujuannya membentuk kepenuhan ilusif “kriteria citra ideal” versi negara (gagasan yang diadopsi dari pemikiran Luce Irigaray yang melengkapi Kristeva dan Butler) secara tidak pandang bulu dan berlangsung di alam bawah sadar. Seperti yang terlihat dalam analogi Raja Perancis Louis XIV, “L’état c’est moi” (Negara adalah saya), negara membentuk identitas “ke-aku-an besar” yang akan terus gegar dan narsistik. “Kedaulatan penuh adalah sebuah kemustahilan, karena dalam dirinya sendiri bermasalah. Apabila eksistensi kedaulatan yang hendak ditegakkannya semata-mata simbolik, dengan catatan bahwa kesinambungan kedaulatan tersebut diatribusikan kepada sesuatu yang primordial, maka tak heran eksistensinya akan dipertahankan secara mati-matian.”
Klaim utama penulis dalam buku ini akan segera terasa pada lembar-lembar awal, bahwa kedaulatan negara memiliki logikanya sendiri yang acuh tak acuh terhadap aspirasi dari elemen di luarnya! Sekilas, klaim tersebut terdengar subjektif, tetapi dari sudut pandang psikogenealogi itulah temuan apa adanya yang disampaikan oleh Yosie. Buku ini bernas dan berguna bagi siapa saja yang ingin melihat relasi antara kedaulatan dan aspek-aspek lain dalam kehidupan bernegara. Lompatan intertekstualitas yang ciamik, menjadi gaya penulisan yang khas, telah memperkuat tesis di atas.
Pada bagian pengantar, Yosie menuliskan bahwa “buku ini pada mulanya adalah bangunan tesis penulis untuk program Magister Ilmu Hubungan Internasional, Universitas Indonesia (UI) pada tahun 2010 silam yang telah diselaraskan dan disunting ulang untuk tujuan penerbitan. Cukup lama rentang waktu antara penulisan dan penerbitan, sekitar empat tahun.” Buku ini jelas telah mengalami penyempurnaan dan penambahan elaboratif dalam mengulas “logika kedaulatan” yang dari posisi itulah argumentasi penulis membangun anti-tesisnya bagi kedaulatan utuh yang menggoda namun sejatinya hanya ilusif atau delirium—dalam bahasa Deleuze-Guattari. Sebuah cakrawala baru yang memiliki relevansi tersendiri dalam membicarakan kedaulatan sebagai implikasi dari keikutsertaan “tubuh, subjektivitas” sebagai kontainer yang memiliki limitasi, dalam interaksi dengan ide-ide yang sama sekali tak terbatas, limitless, yang telah menyerap sekalian mencerna kehidupan kita sehari-hari. Tubuh yang kita huni, juga berada dalam irisan-irisan perbenturan antara imaji dan hasrat untuk diakui sebagai warga negara yang berdaulat. Inilah dilema yang secara diam-diam mengintai kita: bahwa hasrat bernegara yang selama ini kita pegang teguh sebagai kebanggaan, ternyata memiliki akar yang jauh lebih kompleks dan, mungkin, gelap.
Buku ini layaknya sebuah riddle atau teka-teki filsafat yang mendorong kita untuk mempertanyakan kembali berbagai asumsi dasar tentang negara dan kedaulatan. Pembaca akan dibawa untuk mengulik setiap lapisan, dari yang tampak jelas hingga yang terselubung, dalam memahami mengapa manusia begitu terikat pada gagasan kedaulatan, dan apa yang sebenarnya kita korbankan dalam mengejar gagasan tersebut. Tentu, buku ini bukanlah bacaan ringan yang dapat dicerna dalam sekali duduk; ia menuntut kesabaran, pemahaman mendalam, dan keberanian untuk menantang status quo pemikiran politik modern.
Dalam kesimpulannya, Yosie Hizkia mengajak kita untuk meresapi dan mungkin meragukan ulang keyakinan-keyakinan lama mengenai negara dan kedaulatan. Ia tidak memberikan jawaban definitif atau jalan keluar yang mudah dari labirin ini, tetapi justru memprovokasi kita untuk terus mencari, bertanya, dan menyelidiki. Buku ini adalah sebuah peringatan bahwa dalam hasrat kita untuk berdaulat, kita mungkin telah mengabaikan sesuatu yang lebih penting—kemanusiaan kita sendiri.
“Karena kedaulatan adalah suatu hal yang mustahil, dan karena negara berdaulat merupakan manifestasi makro dari hasrat manusia akan diri-ideal, maka negara berdaulat mengidap makro-fasisme yang mengiringi sejarah umat manusia… Upaya mempertahankannya tidak jarang dilakukan dengan kekerasan karena fasisme senantiasa mengiringi perjuangan hasrat subjek. Ia akan rela untuk menyakiti siapa saja bahkan diri sendiri sekalipun.” (Yosie Hizkia, Asal-Usul Kedaulatan, 2014)