Judul Buku : Teruslah Bodoh Jangan Pintar
Penulis : Tere Liye
Penerbit : SABAK GRIP
Tebal : 691 halaman
Beratus-ratus tahun lamanya, kamu, ayahmu, kakek moyangmu hidup dengan damai di sebuah negeri yang subur. Disana tempat mencari kehidupan, meskipun tidak membuatmu kaya tujuh turunan, kamu bisa menjadi petani sembari menikmati hangatnya mentari pagi. Sayangnya, kamu tidak bisa lagi menikmati hal tersebut lantaran ada orang asing yang datang dengan segala janji manisnya ingin mengeruk kekayaan alam leluhurmu. kamu tidak bisa melawan, melawan pun, akan ada harga yang harus dibayar di dalamnya.
Hal tersebutlah yang ingin disampaikan oleh Tere Liye dalam novelnya “Teruslah Bodoh Jangan Pintar”. Seperti karya-karyanya yang lain, novel ini dikemas dengan bahasa yang ringan namun tetap menghadiahkan pesan moral mendalam untuk pembacanya. Tak hanya menyoroti kerusakan alam akibat pertambangan, kali ini Tere Liye menggambarkan jalannya hegemoni dalam menghadapi masyarakat adat.
Terpinggirkan di Kampung Sendiri
Cerita bermula di sebuah sidang pengadilan, alkisah dua orang aktivis lingkungan sedang menggugat PT Semesta & Mineral Mining, perusahaan tambang multinasional yang rakus merusak alam. Dua aktivis lingkungan tersebut membawa saksi-saksi atas kerusakan yang terjadi. sementara itu, PT Semesta & Mineral Mining menggugat melalui pengacara top yang didatangkan dari ibu kota. lihai sekali pengacara tersebut. Setiap kali saksi didatangkan, ia akan memutar balikan fakta yang terjadi.
Budi, salah satu korban kerusakan tambang yang didatangkan sebagai saksi. Budi merupakan seorang yang hidup matinya digunakan untuk bertani. Sewaktu kecil, Budi sering membantu bapaknya bertani. Setiap ada kesempatan, bapak selalu bercerita kepada Budi mengenai sejarah desanya, asal-usul nenek moyangnya, juga mengenai Ki Lawas.
“Ditanam oleh leluhur kita yang pertama kali tiba di sini, mendirikan perkampungan. Menjadi saksi kehidupan seluruh kampung dan lahan pertanian ini. Dari satu generasi ke generasi berikutnya. Pohon beringin ini terus berdiri tegak. Penduduk memberinya nama Ki Lawas.” (Hal 277)
Bapak selalu berpesan agar Budi menjaga tradisi kampung, mengajarkan anak-anaknya kelak bagaimana budaya dan sejarah di kampung tersebut. Sayangnya, Budi tidak bisa menunaikan janji tersebut. PT Semesta & Mineral Mining datang dengan surat dari pemerintah. memaksa masyarakat untuk menjual tanahnya dengan harga murah. Masyarakat menolak dengan tegas hal tersebut. Namun apa daya, perusahaan punya banyak cara untuk mendapatkannya.
Pada mulanya, Industri tambang mengadu domba antar masyarakat dengan memberi harga tinggi bagi siapa yang terlebih dahulu menjual tanahnya. tak ayal, hal tersebut membuat sebagian masyarakat tergiur. Masyarakat yang sejak dahulu rukun, kini terpecah belah ketika menghadapi industri tambang. bagi sebagian yang masih bertahan, termasuk Budi, mereka mesti hidup berdampingan dengan udara tercemar akibat tambang. Masyarakat marah, berunjuk rasa, namun mereka ditangkap karena dianggap biang kerusuhan. Api perlawanan padam. Budi terpinggirkan di kampungnya sendiri.
Budi merupakan representasi masyarakat adat yang ada di Indonesia. Sebuah masyarakat yang menghargai alam dan kekayaannya. Baginya, alam merupakan warisan budaya nenek moyang yang semestinya dijaga dari keserakahan manusia. Selama ini, masyarakat adat bertahan hidup dengan mengandalkan alam di sekitarnya. Ketika alam dirampas, mereka kehilangan harapan untuk hidup dengan layak.
Hal serupa juga dialami oleh Siti, juga seorang korban tambang yang turut memberikan kesaksiannya. Siti merupakan potret hubungan hidup perempuan dengan alam. Perempuan merupakan pemelihara kehidupan, memiliki kemampuan memproduksi dan mereproduksi kehidupan. Prinsip lestari kehidupan terwujud darinya. Oleh karena itu, dalam banyak dimensi, perempuan dan alam saling menjaga untuk membentuk siklus kehidupan.
kehidupan Siti, serta banyak perempuan lainnya, rusak karena tambang. Pada mulanya hanya krisis air terjadi. Air yang merupakan saudara dekat perempuan mulai menjauhi kehidupan mereka. Siti hanya bisa bersabar dengan hal tersebut. naasnya, anak-anak mulai jatuh sakit dan pada akhirnya meninggal akibat limbah pabrik yang dibuang semena-mena. Siti mulai meraung, menjerit, meratap. menyesali keadaan yang terjadi di kampung halamannya.
Siti tidak lagi mengenali tempat tinggalnya pada masa kini. tempat yang dulu bisa dia nikmati mentari paginya, kini hanya terlihat kabut asap dimana-mana.
Hegemoni sebagai Upaya Menjinakan
Selama ini masyarakat telah ditipu oleh pemerintahnya. Dalam novel ini, Tere Liye berusaha memberitahu bentuk hegemoni yang selama ini dilakukan oleh pemerintah dan pemilik industri tambang. Hegemoni tersebut dilakukan dengan masif melalui budaya, media, bahkan dalam pendidikan. tentu saja hal ini dilakukan bukan demi kepentingan rakyat. Tapi hanya demi kepentingan pribadi dan keluarga oligarki.
Melalui media, pemerintah selalu mengatakan kebijakan industri tambang selalu dilandaskan dengan kepentingan ekonomi. Ketika ekonomi maju maka akan menyebabkan banyaknya lapangan pekerjaan. mereka akan membangun banyak infrastruktur baru untuk masyarakat tersebut.
Nyatanya hal ini hanyalah omon-omon belaka. Pekerjaan yang dijanjikan hanyalah sebagai buruh tambang dengan gaji minim dan perlengkapan keamanan seadanya. Infrastruktur yang dijanjikan, tentu saja untuk bos-bos tambang yang duduk manis di singgasananya. Hal ini dilakukan pemerintah lantaran merekalah yang akan berinvestasi dalam pemerintahan.
Sementara masyarakat adat? itu bukanlah prioritas, sebab mereka masih bisa ditipu dengan janji, janji yang tak kunjung ditepati.
Hal demikianlah yang dialami oleh Fredy ketika dimintai menjadi saksi dalam sidang pengadilan tersebut. Fredy adalah salah seorang pekerja tambang dengan gaji minim yang ingin hak-haknya juga dipenuhi. Ia melihat banyak ketimpangan yang terjadi dalam pekerjaannya. Masyarakat sekitar yang bekerja hanya dijadikan sebagai pekerja harian. Sedangkan pekerja asing dijadikan pekerja tetap dengan alasan memiliki keahlian mumpuni.
Tere Liye juga merepresentasikan hegemoni tersebut melalui Hotman Cornelius, seorang pengacara top ibukota yang membela pengusaha industri tambang ketika pengadilan berlangsung. Hotman bukan hanya seorang pengacara, Ia merupakan wujud dari keserakahan yang akan membenarkan segala cara demi mencapai tujuannya. Bantahan-bantahan dikeluarkan oleh Hotman demi membela kliennya yang telah membayarnya dengan mahal.
Hotman selalu mengatakan kliennya tidak bersalah, dengan berlembar-lembar hasil riset keluaran lembaga internasional yang entah bagaimana dia bisa mendapatkannya, ia mengatakan bahwa tambang tersebut bersih dari segala gugatan para aktivis lingkungan dan masyarakat adat. Bahkan ia mengatakan tambang kliennya dikelola secara inovatif dan memperhatikan kerusakan lingkungan meskipun saksi-saksi menyatakan sebaliknya.
“Selama sidang dengar pendapat ini berlangsung, tidak ada satupun alasan, bukti, dan saksi dari pihak penggugat yang secara substantif bisa membatalkan proyek ini. Justru sebaliknya, menunjukkan betapa pentingnya proyek ini diteruskan,” (Hal 613).
Dibalik hegemoni yang dilakukan secara masif selalu ada aparat yang melakukan tindakan represif. Ketika pembicaraan dan kesepakatan tidak tercapai, aparat akan diturunkan. Bukan untuk mengamankan masyarakat, tetapi menangkap dan memenjarakan mereka yang lantang bersuara. Dalihnya hanya satu, menangkap biang kerusuhan yang membuat onar karena dianggap sebagai orang yang akan merugikan industri tambang.
Pada akhirnya, kita selalu dibuat terpesona oleh janji manis dari industri tambang, bombastis seolah itu hebat dan seindah yang dikatakan. Padahal realitanya, sejak lama, tambang hanya memperkaya pemiliknya, investor, orang-orang itu saja. Sementara penduduk, hanya menikmati remah-remah, tetesan kecil.