Judul : Merusak Bumi Dari Meja Makan
Penulis : M. Faizi
Penerbit : Cantrik Pustaka
Cetakan : I, 2020
ISBN : 978-602-0708-58-4
Tebal : 140 Halaman
Merusak Bumi Dari Meja Makan merupakan karya M. Faizi, seorang kyai Pondok Pesantren Annuqayah, Guluk-Guluk, Sumenep. Buku yang memuat kumpulan esai ini diterbitkan pada 2020 oleh Cantrik Pustaka.
Buku ini di tulis dengan gaya bahasa yang ringan dan jenaka, dengan gaya bahasa seperti itu rasanya buku dengan tebal 140 halaman ini akan menjadi bacaan yang asik di sore hari sembari menunggu waktu berbuka puasa tiba.
Secara garis besar, buku ini merefleksikan kembali bagaimana kondisi bumi kita saat ini. Di usianya yang mulai renta, bumi kita di gempur oleh berbagai persoalan ekologis yang mana salah satu pemicu persoalan itu berawal dari meja makan.
Berdasarkan riset yang dilakukan oleh National Geographic, limbah makanan yang dibuang orang, jika dikumpulkan dan dijadikan sebuah negara, akan menjadi penghasil gas rumah kaca terbesar ketiga di dunia setelah Tiongkok dan Amerika Serikat.
Sebagian besar dari kita pasti pernah mendengar kalimat “kalau makan tidak habis, nanti sisa nasi yang ada di piring itu nangis”. Dalam buku ini, M. Faizi turut menyinggung ungkapan ini dan ia juga merefleksikan bagaimana tingginya nilai-nilai luhur dari ungkapan itu.
Lebih lanjut, M. Faizi juga mengutip nasihat yang disampaikan oleh Kiai Ashiem Ilyas, “Jangan sisakan makanan di atas piring. Nasi yang ada di depanmu itu melakukan perjalanan yang jauh sekali, dari bulir, jadi padi, jadi beras, jadi nasi, dan tiba di atas piring. Ia juga melibatkan banyak energi: air, cahaya matahari, minyak, bahan bakar, gas, dan lain-lain. Para petani sampai berkeringat -keringat untuk menumbuhkan dan menghasilkannya. Masa iya kamu tega setelah sampai di depanmu kamu biarkan begitu saja?”.
Pembahasan mengenai meja makan, erat pula kaitannya dengan bulan Ramadan. Karenanya, M. Faizi juga menyinggung bagaimana pola konsumsi yang justru meningkat saat bulan Ramadan, padahal umat Islam diperintahkan untuk menundukkan nafsu selama berpuasa. Di halaman 107, ia menuliskan “masyarakat kerap berpikir bahwa “mampu membeli/membayar” itu sama dengan “boleh mubazir”, padahal dua hal ini adalah hal yang sama sekali berbeda”.
Di bulan Ramadan, sekalipun pada siang harinya kita di perintahkan berpuasa selama kurang lebih 12 jam, hal itu seringkali hanya merubah pola makan, tetapi tidak serta merta merubah gaya makan. Jika di hari-hari biasa kita makan dengan pola tiga kali sehari, maka di bulan puasa kita dipaksa untuk makan dua kali sehari; sahur dan buka. Namun, perubahan pola makan itu sekali lagi tidak selalu merubah gaya makan. Hal itulah mengapa, muncul istilah berbuka puasa menjadi ajang balas dendam setelah seharian berpuasa.
Dari ajang balas dendam inilah orang-orang cenderung gagal mengontrol nafsunya dalam berbelanja makanan untuk berbuka puasa, dan dari kegagalan mengontrol nafsu itulah seringkali makanan yang dibelanjakan untuk berbuka puasa itu hanya Sebagian saja yang termakan, sedangkan sebagaian lainnya harus terbuang.
Pada akhirnya, bagaimana masa depan bumi kita, jika persoalan yang ada di atas meja makan saja kita belum mampu selesaikan? Dan sebagai penutup, ada sebuah kutipan bagus yang ditulis dalam buku ini, “banyak cara untuk merusak bumi dan mengabaikan rezeki, yang sedikit itu adalah orang yang menyadarinya demikian”.
Tulisan ini pernah tayang di buletin Ushuliyyah edisi 28 dalam rubrik Resensi Buku.