29 C
Yogyakarta
Sunday, June 1, 2025
spot_img

Mencuri Hak Hidup: Pembangunan Mengatasnamakan Pendidikan

Di balik hutan lebat yang hijau dan senyap, hidup masyarakat yang tak meminta diajari apa-apa. Mereka tidak bodoh, mereka hanya memilih cara hidup yang berbeda. Tapi negara, seperti biasa, tak tahan melihat perbedaan.

“Orang Rimba sebenarnya tidak membutuhkan kita. Mereka tak membutuhkan apa-apa dari dunia terang. Tapi mereka kini terdesak untuk ikut dalam arus pembangunan ini. Desa sudah semakin dekat untuk menjadikan mereka target pasar, membawa perubahan baru dalam dunia mereka. Bahkan juga membawa fenomena penyakit baru. Orang Rimba menghadapi kenyataan baru. Dan tentu wajar pula bagi sebagian dari mereka tergoda untuk lebih sering keluar dari Rimba”. Begitulah suara Butet Manurung dalam seminarnya.

Perempuan kota yang memilih mengabdikan hidupnya bagi masyarakat Rimba. Ia tak datang sebagai pahlawan, tapi sebagai pelajar. Butet memulai dengan mendengar, belajar bahasa mereka, hidup dengan pola yang sama baik dari segi makanan, pakaian, dan tata cara hidup.

Penolakan demi penolakan diterimanya, tapi tak membuatnya surut. Akses yang jauh dan medan yang berat pun tak menghalanginya. Butet mendekati mereka dengan penuh cinta, dan perlahan mulai diterima. Ia membuka ruang kecil untuk mengajarkan tentang baca-tulis-hitung dengan cara yang menyesuaikan dengan alam sekitar. Dan ternyata, anak-anak Rimba begitu cerdas. Mereka memiliki kepekaan terhadap lingkungan, bahkan sebelum mereka bisa menuliskan namanya sendiri.

Salah satu muridnya, Nengkabau, pernah berkata, “Mengapa orang-orang menebang pohon? Nanti waktu saya sudah pintar, saya akan menahan orang-orang yang menebang pohon itu.”

Kalimat itu tak sekadar keluar dari mulut polos seorang anak, tapi sebuah kesadaran ekologis yang lahir dari keterikatan mendalam dengan alam. Mereka bukan masyarakat yang harus diselamatkan, melainkan masyarakat yang sedang dilucuti hak hidupnya oleh proyek-proyek yang mengatasnamakan pembangunan.

Ketika Butet bertemu Bungo, anak Rimba dari hulu Sungai Makekal, ia sadar bahwa dirinya baru menyentuh sebagian kecil masyarakat. Maka ia memperluas wilayah pengajaran ke hulu. Meski kembali mengalami penolakan, akhirnya masyarakat di sana mulai menerimanya. Namun perdebatan tetap ada. Kaum bapak mulai melihat manfaat belajar, tapi para ibu khawatir, ‘pensil bisa membawa penyakit, belajar bisa membuat anak lupa pulang’.

Konflik tak hanya datang dari dalam komunitas Rimba, tapi juga dari luar. Butet merasa terkekang oleh organisasi yang mendanainya. Ia harus tunduk pada banyak permintaan, bahkan harus mengatur agar anak-anak tampil “menarik” saat diliput media dari kota-kota besar. Pendidikan yang semestinya bebas malah menjadi panggung pencitraan. Butet muak. Ia merasa perjuangannya dipoles menjadi tontonan semata agar dunia luar merasa sedang menyelamatkan sesuatu.

Padahal, Butet tak ingin menjadi pahlawan. Ia bahkan merasa belum memberi apa-apa. Puncak kesadarannya muncul ketika Bungo menunjukkan surat perjanjian pengalihan tanah yang tak bisa dibacanya. Surat itu ditandatangani dengan cap jempol oleh masyarakat yang tak tahu bahwa mereka sedang menyerahkan tanah hidup mereka sendiri.

Perjalanan Bungo dan keluarganya juga membuka mata. Mereka telah berulang kali berpindah tempat tinggal demi menghindari penggusuran oleh kebun sawit dan batas-batas Taman Nasional. Akibatnya, mereka kesulitan berburu, tak bisa membakar ladang karena dianggap melanggar hukum, dan tak lagi bisa hidup bebas di tanah mereka sendiri. Mereka, yang disebut primitif, justru menjadi korban modernitas yang rakus dan buta.

Lantas, di mana posisi negara dalam semua ini? Alih-alih melindungi, kebijakan justru menyeragamkan. Dalam pendidikan, misalnya, kurikulum disamaratakan, tanpa peduli apakah ia cocok untuk masyarakat seperti Orang Rimba. Anak-anak Rimba dipaksa sekolah, memakai seragam, menggunakan bahasa yang bukan bahasa ibu mereka. Ketika adat dan budaya mereka dipertunjukkan, mereka ditertawakan. Akibatnya, mereka jadi malu terhadap budayanya sendiri. Mereka pelan-pelan tercabut dari akar.

Pendidikan yang seharusnya membebaskan justru menjadi alat penjinakan. Seperti kata Paulo Freire, pendidikan bukan sekadar proses transfer pengetahuan, tapi pembebasan kesadaran. Namun dalam sistem kita, pendidikan tampaknya lebih bertugas mencetak pekerja yang patuh, bukan manusia yang merdeka berpikir.

Lalu apa solusi negara? Memojokkan masyarakat adat agar selaras dengan arus pembangunan yang tak terkontrol? Itu sama saja dengan membunuh kekayaan budaya. Apa gunanya membanggakan keberagaman jika yang dilakukan justru menyeragamkan cara hidup?

Film Sokola Rimba bukan hanya dokumentasi atas perjuangan seorang perempuan dalam menyebarkan pendidikan. Ia adalah refleksi getir tentang bagaimana pembangunan bisa menjadi senjata pemusnah budaya. Tentang bagaimana niat baik bisa diseret ke dalam sistem yang tak peduli pada manusia. Tentang bagaimana pendidikan bisa menjelma menjadi alat penjinakan paling efektif.

Jika pembangunan adalah kata lain dari pengusiran, maka sejarah akan mencatat bahwa kita pernah lebih berpihak pada jalan aspal ketimbang jejak kaki manusia. Dan ketika itu terjadi, semboyan “Bhinneka Tunggal Ika” hanyalah jargon kosong di lembaran buku pelajaran yang bahkan tak sempat dibaca oleh anak-anak Rimba.

Related Articles

Stay Connected

- Advertisement -spot_img

Artikel Terbaru