24.8 C
Yogyakarta
Monday, December 23, 2024
spot_img

Ambivalensi Perguruan Tinggi Dalam Merespon Artificial Intelligence

Apakah kita harus bergantung pada teknologi? Mengingat saat ini kita berkelana di era transformasi digital, yang mana perkembangan teknologi semakin pesat. Sedangkan manusia diciptakan dengan kesempurnaan pikiran dan kebebasan berkehendak. Apa yang akan terjadi jika teknologi semakin maju, terkhusus pada ranah pendidikan? Apakah memberikan kemudahan atau keterbajakan terhadap dunia pendidikan?

Masifnya arus perkembangan teknologi saat ini memberikan dampak terhadap semua kalangan, salah satunya mahasiswa. Mahasiswa pada mulanya melakukan dialek pemikiran dengan sering menganalisis data dan berdiskusi. Hal ini dikenal dengan istilah lingkaran mahasiswa-biasa dilakukan diluar jam kuliah. Selain untuk mendapat kepuasan jawaban dari berbagai perspektif dan analisis data yang muncul, interaksi sosial dalam berdiskusi pun lebih erat.

Dibanding dengan era sekarang, yang mana tugas-tugas dapat dikerjakan dengan cara yang lebih instan sebab adanya layanan kemudahan dari AI. Hal ini dikhawatirkan dapat mengurangi budaya diskusi kritis mahasiswa dalam mengumpulkan dan menganalisis data serta fakta. AI memang di desain untuk menjadi teman mengobrol dan membantu mahasiswa, tetapi secara kinerja teknis AI tidak dapat berpikir seperti manusia-yang lebih terbuka, kompleks, dan fleksibel terhadap perspektif yang timbul. 

Sebab AI bot ini dilatih untuk menggelontarkan pola kata-kata berdasarkan data pola saja.

–Lancester.

Salah satu yang rumpang atas hadirnya AI ini adalah nalar kritis mahasiswa. Nalar kritis itu sendiri merupakan perpaduan skeptis terhadap permasalahan, meragukan informasi, dan menjawab rasa penasaran curiosity terhadap data faktual yang diperoleh dan yang akan diperoleh oleh mahasiswa. Pengertian ini merupakan nalar kritis critical thinking yang perlu dimiliki setiap mahasiswa (Baker, 2020).

Tidak tertutup kemungkinan juga bahwa nantinya kinerja serta peran-peran pendidikan dapat dikuasai oleh AI. Dalam contoh kasus survei di Standford University, USA, menunjukkan sebanyak 17% mahasiswa menggunakan chatGPT dengan sejumlah pengeditan, 60% menggunakan AI untuk brainstorming, outlining, dan mencari ide. Kemudian sekitar 30 % untuk menjawab soal pilihan ganda. Survei dibuka dari 9-15 Januari menggunakan aplikasi Fizz, yang hanya bisa diakses menggunakan email internal standford. (Standford daily).

Dalam hal ini, secara tidak langsung seluruh perguruan tinggi dituntut untuk lebih efisien, inovatif, dan responsif dalam menghadapi tantangan ambivalen AI. Seperti yang fenomenal sekarang, adanya praktik plagiarisme yang kita temui dari tugas-tugas mahasiswa sebagai salah satu pengaruh negatif penggunaan chatbot AI. Jika hal ini terus berlanjut, maka platform AI jelas mereduksi peran pendidikan secara substantial. Hal ini dikemukakan oleh Radius Setiawan, dosen Desain Komunikasi Visual (DKV) Universitas Muhammadiyah Surabaya. 

Dalam dunia kampus saat ini, diketahui terdapat lima program studi yang sistematis akademiknya  berbasiskan AI, yaitu teknik informatika, sistem informasi, ilmu komputer, matematika terapan, dan elektronika. Sedangkan untuk program studi lainnya, tidak ditemukan sistematis akademik yang berbasiskan AI, hal itu memperbesar kemungkinan terjadinya dampak negatif AI atas perilaku penggunanya. 

Plagiarisme yang menjadi salah satu dampak AI, sampai saat ini belum ada penanganan baiknya. Adapun penanganan yang disediakan AI atau aplikasi seperti turnitin, software plagiarisme checker dan lainnya dapat di bilang belum cukup memadai. Sebab kini telah hadir AI yang dapat mengcounter agar tulisan tidak terdeteksi plagiarisme atau kalimat yang digenerate menggunakan AI. Beberapa cara mengantisipasinya adalah dengan melakukan analisis semantik, melakukan tes readability atau melakukan analisis kontekstual, dan lainnya.

Lantas bagaimana cara aktor pendidikan menyikapi perkembangan teknologi ini? F. Budi Hardiman, 2021, mengemukakan bahwa ada tiga posisi dalam merespon teknologi digital. Pertama, Antusiasme Teknologis sikap yang mendewakan teknologi dengan wujud ekstremnya yang membuat kematian sebagai sebuah opsi, bukan lagi sebuah keniscayaan atau lebih dikenal dengan istilah cyborg

Kemudian Konservatisme Humanis, yang cenderung menolak perkembangan teknologi yang tidak sesuai dengan esensi kemanusiaan sebagai makhluk rasional yang memiliki kebebasan. Pandangan ini cenderung kontra terhadap dampak-dampak teknologisasi yang justru tidak humanis dan  membebaskan.

Posisi terakhir Realisme Kritis, yaitu pandangan terhadap teknologi digital yang pro, namun tetap waspada terhadap kontranya. Dalam artian mereka menyambut teknologi digital sekaligus mewaspadai akan terjadinya bahaya-bahaya yang datang akibat kian majunya teknologi digital yang tentu tidak dapat kita tolak. Oleh karena itu, diperlukan posisi yang kritis dalam memilah dampak yang akan didapatkan. 

Beberapa manfaat yang penulis yakini setelah mempelajari dan memahami ketiga posisi ini adalah menjadikan manusia yang paham akan eksistensinya sebagai makhluk rasional. Manusia tidak dapat sepenuhnnya bergantung pada teknologi digital atau kecerdasan buatan, sebab kesempurnaan akal yang difitrahkan kepada manusia. Hal ini dikhawatirkan dapat menimbulkan bahaya-bahaya akibat konsumerisme digital yang berlebihan. Diperlukan kebijakan dalam memilah dan memilih bahan, tujuan, dan dampak dalam berteknologi digital. 

Sebagaimana tujuan awal atas dihadirkannya AI ini, maka AI adalah kemudahan. Sebab sangat membantu dalam efisiensi pengelolaan waktu, referensi yang luas bagi tugas-tugas mahasiswa, memberi kemudahan dalam pembelajaran daring (online), pengumpulan tugas, serta pengumpulan data yang simpel dan kompleks-seperti modul, ppt, dan lainnya. 

Oleh karena itu, perlu adanya kerjasama antara mahasiswa dan kampus yg tertuang dalam bentuk sistemik. Baik berupa kurikulum, aturan penggunaan dan hal-hal lain yang dirasa perlu dalam menyikapi kemajuan teknologi. Sehingga ambivalensi perkembangan teknologi dalam dunia pendidikan ini dapat memperoleh inovasi dari AI, dengan menyediakan instrumen dalam beradaptasi dan selektif terhadap penggunaan AI. Serta sikap aktif mahasiswa yang tidak boleh renggang, RAKUSO (Realistis, Analitis, Kritis, Universal, Sistematis, Objektif). 

Naskah ini adalah Naskah Peserta Lomba Esai yang diadakan oleh Lapmi Ushuliyyah pada tahun 2023.

Related Articles

Stay Connected

- Advertisement -spot_img

Artikel Terbaru