Mendengar istilah “politik”, yang terbesit di benak ialah hirup pikuk keadaan negara yang gundah, sebab negara dengan sistem perpolitikannya yang begitu kompleks, menjadikan kita apatis terhadap sesuatu yang fundamental dalam berjalannya politik negara, yaitu politik desa. Himpunan Mahasiswa Islam komisariat Ushuluddin Yogyakarta, mengadakan sebuah kajian mengenai politik desa pada 18-20 April 2025 lalu. Hal tersebut merupakan upaya menyadarkan para pemuda khususnya mahasiswa seperti saya, untuk menjadi aktor penggerak desa, supaya memahami prosedur dalam sistem perpolitikan di desa. Karena suatu negara sulit untuk ideal jika tidak menghiraukan sesuatu yang paling krusial yaitu desa.
Saya merasakan sebuah kebanggaan sebagai kader Himpunan Mahasiswa Islam, sebab program kerja pengurus komasariat Ushuluddin Yogyakarta, seksi bidang Perguruan Tinggi Kemahasiswaan dan Kepemudaan (PTKP) bekerjasama dengan seksi bidang Pengembangan Wacana dan Kepustakaan (PWK), memiliki impact sangat besar terhadap pengetahuan tentang mekanisme politik desa.
Desa selalu menjadi stigma yang kurang baik bagi para pemuda ataupun mahasiswa zaman sekarang, dalam artian banyak pemuda yang kabur dari desa dan enggan mengurus desa dengan dalih merantau, yang ia pandang hanya kemegahan kehidupan di kota dengan strategisnya. Maka perlu sebuah edukasi terhadap pemuda dan mahasiswa untuk menumbuhkan kepedulian dalam membangun desa, dengan mencari tahu apa penyebab desa tidak maju, terpuruk, bahkan rakyatnya sengsara.
Sebagai masyrakat desa, saya merasakan hak masyarakat desa yang seharusnya mereka dapat namun tidak terpenuhi. Mereka hanya bisa diam seperti tidak terjadi apa-apa. Dikarenakan kurangnya akses pendidikan masyarakat desa, sehingga berdampak pada kesenjangan sosial dan hanya menjadikan masyarakat desa sebagai alat transaksi dalam perpolitikan negara. Sekolah politik desa ini menurut saya memiliki cita-cita yang luhur untuk mengagungkan masyarakat desa. Namun, perlunya antusiasme para pemuda (peserta) untuk mewujudkan cita-cita itu.
Seorang revolusioner Indonesia, Mohammad Hatta pernah berkata “Indonesia tidak akan bercahaya karena obor besar di Jakarta, tetapi bercahaya karena lilin-lilin di desa”. Dari kutipan tersebut, kita tahu bahwa desa memiliki peran penting untuk kesempurnaan negara Indonesia. Jika kita analogikan pada permainan puzzle, maka desa adalah bagian terbanyak dari kepingan puzzle itu. Demi penyempurnaan puzzle tersebut, maka jangan ada satupun bagian puzzle yang tertinggal dan harus terpasang sesuai tempatnya.
Dikutip dari lembaga survei Badan Pusat Statistik (BPS), Indonesia terdapat 84.048 desa pada tahun 2024 terakhir, angka yang bukan sedikit, dan bagaimana negara bisa meregulasi desa-desa tersebut? Apa tugas negara terhadap desa? Apakah desa-desa itu sudah menikmati haknya secara merata? Pertanyaan yang begitu sulit bagi negara, dengan berbagai permasalahan yang sangat kompleks di Indonesia. Terjadi ketimpangan terhadap desa, banyak desa yang dieksploitasi hanya untuk kepentingan segelintir orang saja, kehadiran negara justru tak banyak menghadirkan solusi. Seringkali membuat warga desa banyak yang terdesak. Implikasi dari ketimpangan ini tidak hanya pada warga desa, tetapi juga terhadap lingkungan alam desa sekitarnya, seperti konflik agraria yang sering terjadi di pedesaan. Konflik agraria merupakan permasalahan yang melibatkan kontroversi lahan perkebunan, pertambangan maupun kehutanan.
Mengapa desa darurat konflik agraria? Karena desa cenderung berada di dalam lingkup kekayaan alam dan itu merupakan aset ekonomi pertumbuhan juga pendukung berkembangnya kemajuan kota-kota besar. Lantas apa peran negara terhadap desa, jika membangun kota-kota besar yang menjadi ikonik kemajuan, apakah negara harus mengeruk dan merampas kekayaan desa? Dapat kita cermati bersama, bahwa negara tidak membangun desa, tetapi desa membangun negara. Namun perlu digaris bawahi, jika desa membangun negara seharusnya rakyat desa sejahtera bukan justru sengsara. Padahal dengan memakmurkan rakyat desa maka negara ikut makmur, sebab hampir separuh dari rakyat indonesia hidup di pedesaan.
Benar apa yang dikatakan orang Papua ataupun daerah lainnya yang alamnya kaya namun tidak dapat ia nikmati, “kami tinggal dan tidur di atas emas dan nikel, tetapi bukan kami yang menikmati kekayaan itu”, begitu kata orang-orang yang lahannya tereksploitasi. Lantas apa solusi yang ditawarkan sekolah politik desa? Dari sekian materi yang dipaparkan oleh narasumber, diantaranya menekankan pentingnya aktor untuk memahami agrikultur, karena agrikuktur merupakan upaya untuk budidaya sumber pangan manusia, seperti tanaman, peternakan, kehutanan dan perikanan, tanpa harus merusak ekosistem lingkungan.
Analisis sosial juga sangat urgen untuk merealisasikan, itu merupakan bentuk metode untuk mengetahui keadaan lingkungan desa. Langkah selanjutnya memberi edukasi kepada masyarakat desa dengan berbagai penyuluhan, sehingga masyarakat tidak terlalu diperas oleh kalangan birokrasi yang tidak bertanggungjawab. Dan aktor-aktor itu diharapkannya tumbuh dari peserta-peserta sekolah politik desa, besar harapan supaya aktor-aktor tersebut setia dan juga bertanggungjawab terhadap idealismenya.
Menurut perspektif saya, seharusnya membangun desa merupakan tugas negara, namun negara tidak akan pernah peduli selama berselimut mesra dengan oligarki. Jadi, para pemudalah yang membawa rakyat desa untuk makmur dan memberi impact terhadap Indonesia.
Dengan berbagai kasus dan solusi yang disoroti di atas, pemuda khususnya mahasiswa harus merenungi bersama mengenai pemberdayaan masyarakat desa merupakan tanggungjawabnya. Sekolah politik desa tersebut merupakan manifestasi peran pemuda untuk memahami permasalahan-permasalahan desa dan tentunya bukan hanya untuk berteori dalam berbagai diskusi tentang politik desa, tetapi harus menjawab berbagai tantangan dengan aktualisasi yang benar-benar mewujudkannya. Terlihat jenaka jika pemuda atau mahasiswa khususnya yang mengikuti sekolah politik desa dan berasal dari desa, namun enggan untuk kembali ke desa, seorang pemuda atau mahasiswa harus tahu secara langsung terhadap kondisi desa dan tidak alergi terhadap desa.
DESA MEMBANGUN: DARI DESA UNTUK INDONESIA