Ceritanya begini, ada satu wilayah kecil bernama Gaza, tapi penderitaannya sebesar semesta. Dan ada satu entitas negara bernama Israel yang tampaknya sedang ikut audisi jadi tangan kanan iblis, saking konsistennya membombardir warga sipil tanpa rasa malu, apalagi nurani.
Sudah ratusan rumah hancur, ribuan nyawa melayang, termasuk bayi-bayi mungil yang bahkan belum sempat belajar mengucap “mama”. Tapi di atas panggung internasional, Israel tetap berdiri gagah dengan topeng “hak membela diri”, padahal yang diserang bukan tentara, tapi sekolah, rumah sakit, dan tenda pengungsi. Kalau ini bukan genosida, kita perlu kamus baru untuk menjamahnya.
Dan yang paling menggelikan? Israel masih punya nyali bermain jadi korban, padahal jelas-jelas memegang palu, menara, dan misil. Mereka menjual narasi trauma masa lalu untuk membenarkan pembantaian hari ini. Ini bukan lagi drama, ini horor kolonialisme versi abad 21, tayang langsung tiap hari di media sosial, meski disensor sana-sini.
Israel, yang katanya negara demokrasi di Timur Tengah, ternyata lebih mirip franchise kolonialisme modern dengan senjata canggih dan propaganda licin. Mengaku sebagai korban abadi, tapi setiap harinya menciptakan ribuan korban baru, mayat-mayat kecil yang tidak tahu menahu tentang politik, dan ibu-ibu yang meratap di antara reruntuhan rumah yang dulunya sebagai “tempat pulang”.
Dunia? Oh, sebagian bungkam seperti patung pajangan di museum. Ada yang sok netral padahal bersahabat akrab dengan si algojo. Katanya “dua sisi harus menahan diri”, padahal yang satu membawa senapan canggih dan yang lain cuma punya batu dan harapan.
Palestina tak butuh simpati kosong. Mereka butuh keadilan, dan kita butuh keberanian untuk menyebut ini apa adanya, genosida berkedok keamanan. Kebiadaban berseragam diplomasi, dan sayangnya, dunia masih terlalu nyaman dalam kepengecutan.
Genosida yang Disamarkan: Kekerasan Sistematis dan Manipulasi Narasi
Kita sedang menyaksikan genosida real-time, ditayangkan gratis di layar ponsel kita. Tapi anehnya, dunia seperti lupa cara berteriak. Lupa cara membedakan antara penindas dan yang ditindas. Seolah-olah roket yang dijatuhkan ke rumah sakit itu dilempar oleh hantu. Seolah-olah bayi Palestina harus minta maaf karena lahir di tanah yang ingin dihapus dari peta.
Ada banyak yang bersuara, tapi lebih banyak lagi yang memilih aman. Negara-negara besar bersilat lidah, “Kami prihatin”, “Kami menyerukan gencatan senjata”, tapi lalu menandatangani kontrak jual beli senjata ke tangan yang menekan tombol rudal.
Israel bukan hanya menjajah tanah. Ia menjajah narasi, mengendalikan opini publik, memutar balikkan realitas, membuat yang membela Palestina dicap radikal, dan yang diam dianggap netral. Padahal dalam konteks penindasan, diam itu berpihak dan seringkali berpihak pada penjagal.
Yang paling tragis? Banyak dari kita mulai terbiasa. Seolah darah di Gaza adalah bagian dari latar belakang dunia ini. Seolah mayat anak-anak di trotoar bukan lagi berita besar, tapi sekadar notifikasi yang bisa dialihkan ke mode silent.
Inilah titik paling mengerikan dari tragedi kemanusiaan, ketika penderitaan menjadi rutinitas, dan kekejaman jadi hal biasa. Kita tidak lagi terguncang. Kita hanya menonton, berhenti sejenak, lalu melanjutkan hidup, sementara di belahan bumi yang lain, hidup hanya menunggu ledakan rudal datang.
Palestina sebagai Cermin Kemanusiaan: Antara Perlawanan dan Tanggung Jawab Moral
Ironinya, rakyat Palestina masih bertahan. Dengan tubuh yang luka, tapi kepala yang tegak. Dengan rumah yang rata tanah, tapi hati yang tak pernah roboh. Mereka tak minta belas kasihan, mereka minta dunia membuka mata dan bersuara tegakkan keadilan.
Jangan bilang “kami tidak tahu”, karena genosida hari ini tak terjadi diam-diam di lorong sejarah, ia terjadi dengan latar musik jeritan anak-anak dan visual ledakan di atas tenda pengungsian. Yang kita butuhkan bukan sekadar air mata, tapi keberanian menyebut ini apa adanya, kebiadaban sistematis, disponsori kekuatan global, dan dibungkus dalam retorika keamanan.
Gaza bukan hanya simbol perlawanan. Ia adalah cermin untuk kita semua, seberapa tegak kita berdiri ketika ketidakadilan merajalela. Apakah kita memilih aman di sisi penindas, atau berani berdiri meski hanya dengan suara di sisi yang terus diinjak?
Mari kita renungkan, dimuka dunia Israel berdalih dibalik kata “membela diri”, lantas sejak kapan membela diri berarti menghapus seluruh keluarga dari silsilah? Menghapus sebuah negara dari peta? Sejak kapan membela diri berarti memutus jaringan listrik rumah sakit, membakar sekolah, dan mengebom kamp pengungsian yang bahkan tidak punya pintu untuk ditutup?
Yang dilakukan Israel bukan “konflik dua pihak”. Ini bukan perang, ini penumpasan satu arah. Yang satu membawa drone, satelit, dan veto PBB. Yang satu lagi hanya punya doa, tekad, dan tanah yang terus direbut setiap sentimeternya.
Dan media Barat? Jangan terlalu berharap. Banyak yang masih mengulang narasi basi: “bentrokan”, “ketegangan”, “aksi saling balas”. Padahal faktanya jelas: yang satu menindas, yang satu ditindas. Yang satu mendirikan tembok, yang satu dikurung di dalamnya.
Palestina bukan sekadar tempat. Ia adalah luka yang terus terbuka. Ia adalah peringatan bahwa dunia belum sembuh dari penyakit kolonialisme. Bahwa ada harga mahal dari ketidakpedulian global. Ketika satu bangsa boleh membunuh dengan dalih “pertahanan”, dan bangsa lain bahkan tak boleh bernafas tanpa dicurigai sebagai ancaman.
Tapi Gaza masih berdiri. Bukan karena tak bisa roboh, tapi karena terus ditopang oleh keyakinan bahwa kebenaran tak selamanya kalah. Bahwa sejarah akan mencatat siapa yang diam, siapa yang berpihak, dan siapa yang pura-pura netral.
Diam yang Berpihak: Ketidakpedulian Dunia dan Kejahatan yang Dinormalisasi
Palestina hari ini bukan hanya tentang genosida. Ini tentang keberanian moral kita sebagai manusia. Ini tentang apakah kita memilih kemanusiaan yang sejati, atau kemanusiaan yang hanya berlaku bila tak merugikan kepentingan ekonomi dan politik. Jangan tunggu semuanya rata tanah baru kita bilang, “kami seharusnya bersuara”. Karena nanti, kata-kata tak akan lagi cukup untuk menebus diam kita hari ini.
Lalu apa yang terjadi jika kita diam? Diam hari ini adalah warisan rasa malu esok hari. Diam hari ini adalah persetujuan tidak langsung pada setiap bom yang dijatuhkan, setiap nyawa yang dihabisi, dan setiap anak yang dikubur sebelum sempat merasakan hidup.
Kita hidup di era di mana algoritma bisa menghapus video pembantaian lebih cepat daripada rudal dijatuhkan. Di mana berbicara tentang Palestina bisa membuatmu dibungkam, dicap ekstremis, atau dipojokkan di ruang diskusi. Tapi di sisi lain, berbicara tentang “dukungan tak bersyarat pada Israel” justru dipuja, diberi panggung, dan dibanjiri dana.
Ini bukan soal agama, ini bukan soal etnis. Ini soal kemanusiaan yang sedang disayat-sayat oleh ketamakan, keangkuhan, dan kekuasaan yang rakus. Israel membunuh dengan rudal. Dunia membunuh dengan diam. Dan kita, kita membunuh dengan abai.
Namun Palestina tidak akan punah hanya karena dijajah. Palestina akan tetap ada, selama masih ada satu suara, satu pena, satu hati, yang tak rela dunia ini berjalan seperti biasa di atas genangan darah anak-anak tak berdosa. Karena pada akhirnya, penjajah bisa menembak tubuh, tapi tak pernah bisa membunuh sejarah. Dan sejarah punya satu pekerjaan suci, mengabadikan kebenaran, bahkan jika dunia saat ini memilih untuk memalingkan wajah.