Islam adalah agama yang sangat menghargai akal. Hal ini termaktub di dalam Al-Qur’an, surat Al-Baqarah ayat 269: “Dia (Allah) menganugerahkan al-Hikmah (kefahaman yang dalam tentang Al-Quran dan as-Sunnah) kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan barangsiapa yang dianugerahi hikmah, ia benar-benar telah dianugerahi karunia yang banyak. Dan hanya orang-orang yang berakal lah yang dapat mengambil pelajarannya (dari firman Allah)”. Maka dari itu, salah satu surat diatas menjadi rujukan bagi orang islam untuk belajar filsafat.
Aliran filsafat parepatetik merupakan aliran pertama yang muncul di dunia filsafat yang dicetus oleh tokoh besar filsafat yunani kuno, Aristoteles. Kata peripatetik berasal dari bahasa yunani paripatos yang berarti berjalan-jalan atau berjalan mondar mandir. Secara istilah tentunya disandarkan kepada kebiasaan Aristoteles yang mengajarkan filsafat dengan cara sambil berjalan-jalan, sambil mengamati segala hal yang dijumpainya saat berjalan-jalan. Ciri khas pengajaran Sang guru pertama itu (panggilan untuk Aristoteles dikalangan filosof muslim) para murid-muridnya menamakan ajaran guru mereka dengan paripatetik (berjalan-jalan) yang kemudian diterjemahkan secara literlek oleh filsuf-filsuf muslim generasi awal dengan Masya’iyyah (dari kata masya-yamsyii-masyan yang berarti sama yakni berjalan-jalan).
Al-Kindi, Al-Farabi, dan Ibn Sina merupakan para pemikir muslim yang menerima dan mengembangkan filsafat peripatetik, secara kronologis, peripatetik islam merupakan hasil penggabungan antara doktrin agama islam dengan filsafat Aristoteles (Peripatetik) dan Neoplatonisme, filsafat Plato yang dimodifikasi oleh Plotinus. Upaya pengabungan dilakukan pertama kali oleh Al-Kindi, sekaligus sebagai filosof muslim pertama, terhadap hubungan antara agama dan filsafat. Menurutnya, tidak terdapat pertentangan diantara keduanya, karena sama-sama mencari kebenaran, melalui metode yang berbeda. Al-Kindi mengungkapkan bahwa akal merupakan alat vital dalam memaknai wahyu dan ini menjadikan filsafat dan agama dapat membentuk sebuah harmoni. selain Al-Kindi, Al-Farabi yang dikenal sebagai guru kedua (Muallim ats-Tsani) setelah Aristoteles mengembangkan pemikiran peripatetik dengan membangun sistem filsafat yang lebih sistematis dan kompleks dengan mengkorelasikan pemikiran Aristoteles dan Plato. Al-Farabi berupaya menjelaskan akal, wahyu dan kebahagiaan manusia. Salah satu gagasan yang di bawa mengenai sistem negara yang ideal, dengan pemimpin yang memiliki kebijaksaan filosofis dan spiritual. Ibnu Sina melanjutkan sistem filsafat dari Al-Kindi dan Al-Farabi dengan perkembangan yang lebih sistematik dan metafisik. namun pemikiran yang di bawa oleh para filosof muslim menjadi keritikan keras bagi Al-Ghazali, dalam Tahafut Al-Falasifah (Kerancuan para filosof), Al-Ghazali berarargumentasi kalau Ibnu Sina dan Al-Farabi telah menyimpang dari ketetapan agama islam, kata Tahafut bagi Al-Ghazali berarti kerancuan pemikiran serta kontradiksi para filsuf mengenai konsep ketuhanan dan kosmologi. Ada dua puluh kerancuan cara berfikir para filsuf: 4 dari bidang fisika dan 16 dari bidang metafisika. 3 golongan dianggap kafir dan 17 lainnya dianggap ahlul bid’ah. Jadi serangan dari Al-Ghazali terhadap filosof muslim mengakibatkan keredupan filsafat di daerah timur dunia islam, dan berkembang di barat, Andalusia, tempat filsuf terkenal lahir seperti Ibnu Rusyd, Ibnu Bajjah dan Ibnu Thufail.
Ibnu Rusyd melawan keritik Al-Ghazali dengan karya yang berjudul Tahafut al-Tahafut (Kerancuan kitab kerancuan) sebagai sanggahan terhadap kitab Tahafut Al-Falasifah milik Al-Ghazali. Melalui buku ini Ibnu Rusyd mencoba menghidupkan kembali filsafat parepatetik dan berpandangan bahwa Al-Ghazali salah faham terhadap filsafat, karena Al-Ghazali membaca ketiga pemikiran para filosof muslim malah menggunakan kacamata kalam alih-alih filsafat. Maka dari itu Ibnu Rusyd menegaskan di dalam bukunya berusaha menunjukkan bahwa filsafat tidah bertentangan dengan islam. Bahkan ia menyatakan bahwa filsafat dan agama bagaikan saudara sepersusuan. Maka, penghinaan terhadap filsafat yang berupa mempertentangkannya dengan agama serta menebar kebencian, permusuhan dan saling mencurigai diantara keduanya merupakan hal yang sangat tidak rasional. Padahal sebenarnya di antara keduanya, secara alami saling berdampingan satu sama lain. Ibnu Rusyd juga menekankan bahwa cara berfikir rasional menunjukkan suatu hal yang peting untuk memahami wahyu dengan lebih mendalam. Terkait pembelaan terhadap para filosof atas serangan Al-Ghazali. Akan tetapi, upaya Ibnu Rusyd untuk mengembalikan posisi filsafat ke dunia islam itu terbilang kalah besar dari gemaan kritik al-Ghazali, dalam analisis Seyyed Housein Nasr, Ibnu Rusyd tidak di dengar di dunia Islam malah di dengar di Barat.
Bacaan lajutan :
Mufid, Fathul, Madzhab Pertama Filsafat Islam: Filsafat Paripatetik (Al-Hikmah Al-Masya’iyah), (Kuningan: Goresan Pena, 2019).
Rusyd, Ibn. Tahafut At-Tahafut (terj. Khalifurrahman Fath), (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004).