Tema Latihan Kader (LK) II HMI Cabang Cirebon, “Mewujudkan Kader HMI yang Adaptif dan Berakhlakul Karimah,” bukanlah sekadar slogan kosong. Ia adalah sebuah manifestasi dari kesadaran historis bahwa kader HMI harus tampil sebagai jawaban atas persoalan zaman. Sejak kelahirannya pada 5 Februari 1947, HMI mengemban misi luhur: terbinanya insan akademis, pencipta, pengabdi, yang bernafaskan Islam dan bertanggung jawab atas terwujudnya masyarakat adil makmur yang diridhai Allah SWT. Kini, misi itu harus dijawab dengan kualitas kader yang adaptif dan berakhlakul karimah.
Namun, adaptasi semata, tanpa fondasi akhlakul karimah, akan melahirkan generasi oportunis yang sekadar mengejar keuntungan sesaat. Padahal, dalam pandangan Islam, moralitas adalah syarat mutlak kejayaan sebuah peradaban. Ibn Khaldun dalam Muqaddimah menegaskan bahwa keruntuhan peradaban selalu diawali dengan dekadensi moral.
Dalam hadits riwayat Imam Ahmad, Rasulullah SAW bersabda: “Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia.” Ini berarti, puncak dari risalah kenabian adalah membangun manusia berakhlak. Kader HMI harus menjadikan akhlakul karimah sebagai kompas moral dalam setiap langkah perjuangan. Tanpa akhlak, kecerdasan hanya menjadi alat manipulasi; tanpa akhlak, kreativitas hanya melahirkan kerusakan.
HMI dan Khalifah Fiil Ard
Konsep Khalifah Fiil Ard merupakan salah satu gagasan fundamental dalam ajaran Islam yang menempatkan manusia sebagai pemimpin atau wakil Tuhan di muka bumi. Istilah ini merujuk pada firman Allah dalam Al-Qur’an, khususnya Surat Al-Baqarah ayat 30, yang menegaskan bahwa Allah menciptakan manusia untuk menjadi khalifah di bumi, yaitu sosok yang diberikan amanah untuk mengelola, memakmurkan, dan menjaga keseimbangan alam serta kehidupan sosial.
Sebagai khalifah fiil ard, manusia tidak sekadar menjadi penguasa atau pemimpin dalam arti politik atau pemerintahan, melainkan juga sebagai pengelola dan penjaga bumi yang bertanggung jawab atas keberlangsungan dan kemaslahatan seluruh makhluk. Tugas ini meliputi menegakkan keadilan, menjalankan hukum Allah, serta tidak melakukan kerusakan di muka bumi setelah Allah memperbaikinya. Dengan demikian, konsep ini menuntut manusia untuk bertindak adil, bijaksana, dan bertanggung jawab dalam setiap aspek kehidupan, baik terhadap sesama manusia maupun lingkungan alam.
Lebih jauh, peran khalifah fiil ard tidak terbatas pada jenis kelamin atau status sosial tertentu, melainkan merupakan amanah universal bagi seluruh manusia, baik laki-laki maupun perempuan. Melalui konsep ini, Islam menegaskan pentingnya kepemimpinan yang berorientasi pada kemaslahatan, keberlanjutan, dan pengabdian kepada Tuhan, sehingga manusia mampu mengemban tugas mulia sebagai pengelola bumi sesuai dengan kehendak Ilahi.
Konsep khalifah fiil ard sangat erat kaitannya dengan Nilai Dasar Perjuangan (NDP) Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Sebagai khalifah atau pemimpin di muka bumi, manusia diamanahkan untuk menjaga, memakmurkan, dan menegakkan nilai-nilai keadilan, kemanusiaan, serta keberlanjutan kehidupan sesuai prinsip-prinsip ilahiah. Nilai-nilai inilah yang menjadi inti dari NDP HMI, yang menekankan keimanan kepada Allah, penghormatan terhadap martabat manusia, dan perjuangan untuk keadilan sosial serta kemerdekaan manusia yang sejalan dengan hukum Tuhan.
Iman, Ilmu, dan Amal: Tiga Pilar Kaderisasi Khalifah Fii Al-Ard
Dalam konteks ini, integrasi Iman, Ilmu, dan Amal menjadi fondasi yang tak terpisahkan. Ketiga pilar ini adalah kerangka dasar dalam membentuk kader HMI yang sejati.
Iman adalah sumber energi ruhani kader. Iman yang hidup menghidupkan hati, memurnikan niat, dan meneguhkan komitmen perjuangan. Sebagaimana dikatakan oleh Sayyid Qutb, “Iman bukan sekadar keyakinan teoritis, tetapi energi yang mengubah perilaku dan membangkitkan kekuatan perubahan dalam diri manusia.”
Ilmu adalah bekal strategis. Islam sangat mengagungkan ilmu. Ayat pertama yang diturunkan adalah Iqra’ – “Bacalah!” Dalam dunia kontemporer, ilmu bukan hanya tentang kepintaran akademik, tetapi juga literasi digital, literasi finansial, literasi budaya, dan literasi lingkungan. Tanpa penguasaan ilmu, kader HMI akan tergilas oleh roda zaman.
Amal adalah manifestasi konkret dari iman dan ilmu. Tanpa amal, iman menjadi hampa, ilmu menjadi sia-sia. Dalam QS. Al-Ashr, Allah bersumpah bahwa manusia dalam kerugian kecuali mereka yang beriman, beramal saleh, saling menasihati dalam kebenaran dan kesabaran. Maka, kader HMI harus menjadi pelaku perubahan, bukan sekadar pengamat perubahan.
Tujuan LK II HMI adalah membentuk kader yang mampu memetakan peradaban dan memformulasikan gagasan. Ini adalah misi besar. Memetakan peradaban berarti memahami dinamika besar umat manusia: dari perubahan pola pikir, transformasi ekonomi, hingga krisis ekologi global.
Kader HMI harus menjadi pembaca tajam dari world system. Sebagaimana dikatakan Immanuel Wallerstein dalam The Modern World-System, dunia ini digerakkan oleh jejaring kekuasaan ekonomi dan politik global. Maka, kader HMI tidak boleh hanya berfokus pada lokalitas sempit; ia harus berpikir global, bertindak lokal – think globally, act locally.
Lebih dari itu, kader harus mampu memformulasikan gagasan solutif yang membumi. Dalam tradisi HMI, gagasan bukan untuk dipamerkan, tetapi untuk dilaksanakan. Kader harus menulis, berbicara, bergerak, dan membangun. Sebab dalam kata-kata Ali bin Abi Thalib: “Ilmu yang tidak diamalkan seperti pohon yang tidak berbuah.”
Saat ini, Indonesia dihadapkan pada polarisasi sosial yang makin menganga, krisis identitas kebangsaan, serta disrupsi teknologi yang menciptakan ketimpangan baru. Tantangan ini menuntut kader HMI untuk tampil sebagai perekat sosial, penjaga nilai, dan pelopor inovasi sosial.
Sebagaimana Yuval Noah Harari mengingatkan dalam 21 Lessons for the 21st Century, dunia masa depan bukan hanya soal teknologi, tetapi tentang siapa yang mampu mempertahankan nilai-nilai kemanusiaan di tengah revolusi algoritma. Maka, kader HMI harus membekali dirinya dengan ketahanan iman, keluasan ilmu, dan keberanian amal.
…
Akhirnya, menjadi kader HMI sejati berarti berkomitmen menjadi agen perubahan. LK II bukanlah titik akhir, melainkan titik tolak menuju perjuangan panjang. Dalam bahasa Nurcholish Madjid, “Kita adalah umat yang tugasnya bukan semata-mata bertahan, tetapi membangun dan memperbaharui.”
Maka, mari kita meneguhkan tekad: menjadi kader yang adaptif namun teguh dalam prinsip; cerdas membaca zaman namun kukuh menjaga akhlak; dinamis dalam gagasan namun konsisten dalam amal. Karena sejarah tidak dibangun oleh mereka yang sekadar menunggu perubahan, melainkan oleh mereka yang berani menciptakan perubahan.
Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum, hingga mereka mengubah keadaan diri mereka sendiri. (QS. Ar-Ra’d: 11)
Oleh: Muhammad Rio Hardias, Abil Arqam, Haludi