28 C
Yogyakarta
Saturday, August 2, 2025
spot_img

Kartini Menyulam Makna di Tengah Retakan Zaman

Kartini tidak sekadar nama yang diperingati setiap 21 April, ia adalah gema panjang yang menyusup relung zaman. Pada peralihan era digital, ketika notifikasi berpacu dengan detak jantung, perempuan-perempuan Indonesia masih memikul beban yang dulu kartini renungi dalam surat‑suratnya, apa itu? ruang gerak yang disekat tradisi, pendidikan yang terjerat kasta sosial, dan suara yang kerap tertelan hiruk‑pikuk kuasa. Kini, pusaran persoalan kian rapat, kesenjangan upah yang membatu, cyber‑misogyny yang membiak lini masa, hingga kekerasan daring yang menanam ketakutan bagai benalu semenjak belia. Bahkan pelakunya meliputi Guru sekolah, Dosen hingga Guru besar, memang tak di jaga nafsunya.

Di pusat kota, perempuan berjas rapi menuntaskan rapat lewat layar. Di pinggiran, buruh garmen bergelut dengan upah harian yang rapuh. Ekonomi bercabang dua wajah. Satu bertabur peluang start‑up, satu lagi terperangkap di pabrik asap abu‑abu. Memang, statistik menunjukkan produktivitas kaum hawa naik, namun takaran gajinya tertinggal setengah langkah, beda yang tak kasatmata namun terasa.

Algoritma mengubah tubuh perempuan jadi komoditas, memijat klik dan engagement demi kapital. Paras direkam, harga ditakar, martabat ditawar. Yes, di sudut yang sama, aktivis digital menyalakan api solidaritas, #GerakBersama, #PerempuanMenyala. Mereka mengubah benih ujaran kebencian menjadi pupuk harapan, membangun payung aman di tengah hujan komentar berbisa.

Pendidikan, konon, telah menggapai pelosok lewat sinyal satelit. Tapi sinyal tak selalu menjelma kesempatan. Gadis‑gadis di pesisir Nusa Tenggara masih meniti perahu kayu demi jaringan sekolah, sementara remaja di kota besar sibuk memungut micro‑credential dari kelas global. Kesenjangan digital pun melahirkan paradoks, yakni akses yang terbuka tapi nyatanya tertutup.

Tidak berhenti di ranah ekonomi dan teknologi, soal tubuh perempuan pun kian ruwet. Regulasi reproduksi kerap kali tumpul di hadapan realitas, angka stunting membayangi generasi muda, sementara layanan kesehatan seksual dibelit stigma. Di layar kaca, perempuan dipuja laksana dewi, tapi berubah 180 derajat saat di ruang bersalin, mereka kerap dibiarkan berjuang sendiri, bahkan di cabuli dokter laki-laki.

Namun sejarah telah mengajari kita, api kecil mampu menembus gelap. Dari ruangan perpustakaan kampus, hingga ruang rapat kementerian, perempuan bergerak sebagai pemimpin organisasi, peneliti, juru runding perdamaian. Mereka memadukan empati dan data, menjahit kaidah hukum dengan nalar ekonomi, menguliti bias tanpa menyebutkan namanya. Inilah kepemimpinan yang lahir bukan dari aba‑aba, melainkan dari kesadaran kolektif, jika satu tersandung, semua ikut tertatih.

Kartini pernah berkata, “Aku mau!” sebuah pekik yang menolak pasrah. Pekik itu kini bergema lewat kode perangkat lunak yang ditulis mahasiswi informatika, lewat modul pertanian organik yang digagas ibu‑ibu di Kulon Progo, lewat laporan investigatif jurnalis muda yang menyingkap korupsi dana kesehatan ibu hamil. Mereka menyalakan obor di lorong‑lorong baru, memetakan peta perjuangan di atas kanvas, merangkai data demi data agar jawaban dapat ditemukan meskipun mati membuntutinya.

Maka, ketika kita menunduk hormat pada patung Kartini, mari tengadahkan pula pada langit. Lihatlah awan data yang berkelindan di atas sana. Persoalan‑persoalan baru tengah menetas, menuntut keberanian dalam balutan untuk merajut benang merah teruntuk hati-hati bisu nan malang. Kita butuh legislasi yang melampaui dogma, teknologi yang bermoral, dan ekonomi yang berpihak pada kehidupan, bukan sekadar keuntungan.

Hari ini, perempuan Indonesia berdiri menghadap patriarki yang kokoh berdiri dengan batu bata kedzaliman dan gelombang revolusi digital yang belum ramah. Mereka berjalan di atas jembatan rapuh, meniti benang‑benang harapan serupa penenun Sumba yang sabar, menggandeng memori Kartini di satu tangan dan kompas masa depan di tangan lain. Jika bangsa ini ingin menjemput terang yang lebih utuh, dengarkanlah langkah mereka, berderap pelan tapi pasti, menulis ulang bab tentang kemerdekaan, kalimat demi kalimat, hingga dunia membaca dan beringsut berubah.

Related Articles

Stay Connected

- Advertisement -spot_img

Artikel Terbaru