Abu Nasr Muhammad Ibn Tarkas Ibn Auzalagh al-Farabi, seorang filsuf muslim klasik, dilahirkan di Uttar (Farab) pada tahun 257 H/870 M. Kota ini dahulu merupakan bagian dari Iran, namun kini masuk dalam wilayah Uzbekistan. Al-Farabi berasal dari keluarga bangsawan, dengan ayah seorang jenderal Persia dan ibu seorang bangsawan Turki. Dikenal di Timur maupun Barat, al-Farabi dijuluki Mu’allim As-Sani atau guru kedua karena menghidupkan kembali ajaran Plato dan Aristoteles serta menjembatani pemikiran Yunani dan Islam.
Pendidikan al-Farabi dimulai di Baghdad, pusat keilmuan dunia pada masanya. Di sana, ia belajar logika kepada Abu Bisyr Mattius Ibnu Yunus dan kaidah bahasa Arab kepada Abu Bakar al-Saraj. Kemudian, ia melanjutkan studinya ke Harran di Asia Kecil, pusat kebudayaan Yunani, sebelum kembali ke Baghdad untuk memperdalam filsafat. Selama hidupnya, al-Farabi menulis banyak kitab filsafat seperti Al-Madinah al-Fadilah, Al-Burhan, dan Al-Siyasat al-Madaniyah.
Karena kemasyhurannya, pada tahun 330 H/945 M, ia diundang oleh Sultan Dinasti Hamdan di Aleppo, Damaskus, dan diberikan keistimewaan dengan gaji besar yang sebagian besar ia sedekahkan kepada fakir miskin. Al-Farabi meninggal pada bulan Rajab 339 H/Desember 950 M di usia 80 tahun dan dimakamkan di gerbang kecil bagian selatan kota Damaskus.
Pemikiran Al-Farabi dalam Risalah Al-Siyasah
Salah satu karya al-Farabi yang penting adalah ‘Risalah Al-Siyasah’. Dalam karya ini, ia mengajukan prinsip-prinsip dasar untuk individu dan pemimpin dalam mengelola kehidupan dan negara. Al-Farabi menyatakan bahwa seseorang harus mampu membaca kelebihan dan kekurangannya, menggunakan segala sesuatu yang bermanfaat dalam berbagai situasi. Jika seseorang kurang pandai dalam mengelola harta, dia harus mempertimbangkan pendapatan dan pengeluaran dengan cermat serta mencari cara untuk mengelola keuangan dengan bijaksana.
Al-Farabi juga menekankan pentingnya etika dalam perilaku manusia. Ia mengingatkan agar manusia menjauhi sifat buruk seperti perdagangan keji, pembual, dan perjudian, untuk menjaga martabat agama dan kehormatan pribadi. Dalam pandangan al-Farabi, kehormatan pribadi harus menjadi prioritas dibandingkan dengan keuntungan materi. Menurutnya, kehormatan yang kuat secara alami akan menghasilkan keuntungan finansial, bukan sebaliknya.
Komentar dan Relevansi Pemikiran Al-Farabi untuk Masa Kini
Pandangan al-Farabi mengenai kemampuan individu dalam memahami kelebihan dan kekurangannya sangat relevan untuk konteks kepemimpinan modern. Seorang pemimpin harus mampu mengelola negara dengan baik, menerima pencerahan dari intelek aktif, dan mengembangkan diri secara terus-menerus. Majid Fakhry berpendapat bahwa pemimpin negara utama adalah individu yang mampu menggunakan daya teoritis dan praktisnya, sehingga bisa menjadi filsuf atau bahkan nabi. Harun Nasution juga menekankan pentingnya kemampuan pemimpin dalam mendidik akhlak masyarakat menjadi baik.
Selain itu, pandangan al-Farabi mengenai perilaku etis sangat relevan dalam kehidupan modern. Manusia harus menjauhi sifat buruk dan berusaha mencapai keadaan batin yang sempurna, seperti konsep euthymia dari Demokritos. Mengatur hidup dengan baik dan mengarahkan diri kepada hal yang baik adalah kunci untuk mencapai kebahagiaan.
Al-Farabi juga mengajarkan bahwa kehormatan pribadi lebih penting daripada kekayaan materi. Majid Fakhry berpendapat bahwa manusia memiliki kehendak dan hasrat yang harus dikendalikan dengan pertimbangan mendalam untuk menghindari kesalahan. Pilihan untuk mengutamakan kehormatan akan membawa manusia kepada kebahagiaan sejati, dibandingkan dengan mengejar kekayaan materi yang hanya menghasilkan kesenangan palsu.
Relevansi untuk Indonesia
Pemikiran al-Farabi mengenai negara utama dan etika sangat relevan untuk Indonesia. Dalam konsep negara utama, al-Farabi menggambarkan negara sebagai kesatuan tubuh yang sehat, di mana setiap anggota bekerja sesuai kodratnya. Pemimpin utama bertugas untuk membuat aturan yang mensejahterakan masyarakat dan menjadikan warganya memiliki akhlak mulia. Warga negara juga harus memiliki keutamaan dan bakat untuk membantu pemimpin dalam menjalankan kebijakan yang dirumuskan.
Indonesia bisa mengambil pelajaran dari pemikiran al-Farabi untuk mengembangkan sistem politik, pendidikan, dan etika yang lebih baik. Dengan mengutamakan kehormatan pribadi dan menghindari sifat buruk, masyarakat Indonesia bisa mencapai kebahagiaan sejati. Pemikiran al-Farabi mengenai pentingnya etika dan kepemimpinan yang baik bisa menjadi dasar untuk membangun negara yang lebih sejahtera dan bermartabat.
Secara keseluruhan, ajaran al-Farabi dalam ‘Risalah Al-Siyasah’ sangat relevan dan layak dikembangkan lebih lanjut di Indonesia. Dengan menerapkan prinsip-prinsip etika dan politik al-Farabi, Indonesia bisa menjadi negara yang lebih baik dan tidak jatuh ke dalam negara jahil. Teori al-Farabi harus dibumikan dan diterapkan dalam kehidupan sehari-hari untuk mencapai masyarakat yang lebih adil dan sejahtera.