Semua orang dapat menebak dengan pasti mengenai persepsi khalayak umum terhadap kata hedonisme ketika pertamakali didengar. Hedonisme banyak didefinisikan sebagai sesuatu yang melekat pada hal-hal negatif, foya-foya, konsumtif, dan lain sebagainya. Gaya hidup hedonisme yang merambah di kehidupan manusia saat ini, memiliki sejarah yang sangat panjang di masa lalu.
Salah satunya, pada abad ke-18, rakyat menuntut Revolusi Prancis sebagai penolakan terhadap kesenjangan, pajak yang diberatkan kepada rakyat, dan hedonisme yang terjadi di kalangan elit pemerintahan Raja Louis XIV. Revolusi Prancis inipun dikhawatirkan oleh bangsa-bangsa dunia seperti Amerika, Rusia, Karibia, dan negara lainnya yang ditakutkan dapat memicu revolusi serupa di negara-negara mereka. Sejarah tersebut menjadi gambaran betapa kuatnya dampak hedonisme.
Pada dasarnya, walaupun hanya segelintir individu yang menjadi hedonis, tetap saja substansi hedonisme akan membentuk perkumpulan dengan kapasitas yang lebih besar dan mungkin akan berdampak pada pertumbuhan ekonomi suatu bangsa. Saat ini permasalahan hedonisme tetap menjadi misteri sosial yang tidak pernah terselesaikan. Hal ini memunculkan pertanyaan darimana hedonisme lahir dan bagaimana hedonisme dapat berkembang.
Hedonisme yang sering kita dengar saat ini adalah sebuah teori hedonisme dari Aristippus, yakni seorang filosof Yunani. Teori atau pandangan Hedonisme muncul sebagai jawaban dari pertanyaan filosofis dari Sokrates yang tidak lain adalah rekan sekaligus gurunya. “Apa hal terbaik bagi manusia?” Aristippus menjawab bahwa hal terbaik bagi manusia adalah kesenangan. Sejak kecil manusia dilahirkan untuk mencari kesenangan. Apabila tidak tercapai atau telah tercapai, manusia akan mencari pencapaian yang lain.
Kesenangan yang di maksud oleh Aristippus terbatas pada kesenangan jasmani seperti makan, minum, seks, berbelanja dsb. Mencari kesenangan adalah fitrah manusia. Tidak ada satupun makhluk di bumi yang ingin merasakan penderitaan. Akan tetapi mengejar kesenangan jasmani adalah bualan yang sia-sia. Kesenangan yang bersifat jasmani tidak akan pernah habis, terlebih lagi manusia cenderung untuk membebaskan rasa ketidakpuasan.
Bahkan, mengejar kesenangan ataupun kenikmatan jasmani yang tidak dibatasi akan menimbulkan penyesalan dan mempengaruhi kondisi Mencari kesenangan adalah fitrah manusia. Tidak ada satupun makhluk di bumi yang ingin merasakan penderitaan. Akan tetapi mengejar kesenangan jasmani adalah bualan yang sia-sia. Psikologis dari seorang hedonis. Sebagaimana makan dan minum, jika terlalu berlebihan dilakukan akan menimbulkan rasa begah. Selain itu, motivasi membeli barang branded dan didesak gengsi akan memicu kekhawatiran dan ketakutan ketika tidak mengikuti perkembangan zaman fomophobia.
Semua pengaruh gaya hidup hedonisme yang diperantarai fomofobia saat ini tidak terlepas dari anggapan pencetus hedonisme terdahulu. Aristippus melihat kesenangan sebagai sesuatu yang aktual, artinya kesenangan terjadi sekarang, bukan di masa lalu atau masa depan. Masalalu dilihat sebagai kenangan atas kesenangan yang dirasa tidak perlu diingat sedangkan masa depan adalah sesuatu yang tidak bisa dilihat secara pasti.
Karena itu Aristippus menggiatkan teori bersenang-senang hari ini karena esok hari adalah misteri. Jika esok dan seterusnya hidup akan menderita, setidaknya dalam hidup pernah bersenang senang walaupun hanya sekali. Manusia hidup untuk memaksimalkan kesenangan dan meminimalisir penderitaan. Aristippus menyetujui pendapat Sokrates bahwa hal yang paling utama adalah mencari “yang baik” namun ia menyamakan sebutan “yang baik” sebagai kesenangan.
Di samping itu, teori hedonisme ini menuai pro dan kontra terutama jika mengingat kesenangan jangka pendek di dalam konteks teori Aristippus. Pernyataan Sokrates yang terkait cara untuk meraih kebahagiaan, menuturkan kebahagiaan tidak ditemukan dalam mencari yang lebih banyak, tetapi dalam mengembangkan kapasitas untuk menikmati yang lebih sedikit. Kebahagiaan tidak akan datang dengan mencari dan menumpuk semua hal yang diinginkan, justru dengan menikmati dan mensyukuri apa yang dipunya. Teori kebahagiaan versi Socrates sejalan dengan aliran filsafat hedonisme versi Epicurus.
Mengikuti Aristippus , Epicurus juga percaya bahwa Aristippus menyetujui pendapat Sokrates bahwa hal yang paling utama adalah mencari “yang baik” namun ia menyamakan sebutan “yang baik” sebagai kesenangan. kebaikan terbesar adalah mencari “kesenangan” dan menghindari rasa sakit. Tetapi pemaknaan kesenangan versi Epicurus lebih bijaksana dan sederhana. Ia menganggap kesederhanaan dalam kesenangan berpantangan dengan keinginan jasmani. Artinya, kesenangan Rohani menduduki level yang lebih tinggi dari sekedar kesenangan jasmani. Misalnya, kebutuhan manusia adalah makan sebagai cara memberikan nutrisi kepada tubuh untuk bertahan hidup. Sedangkan makan dengan porsi berlebih atau makan di tempat mahal dan trendy adalah keinginan dan kesenangan yang tidak perlu dipenuhi. Dengan kata lain aliran ini mengajarkan pengikutnya bersikap wara’ dalam terminologi Islam.
Aliran filsafat ini pada dasarnya juga mendekati asketisme yang berpantang terhadap kenikmatan indrawi dan menekan hawa nafsu. Namun, definisi ini terlalu menekan dan tidak relevan lagi dengan kondisi masyarakat saat ini. Pengendalian diri dalam waktu yang lama dianggap sebagai suatu yang sangat ekstrim jika dianggap sebagai satu satunya jalan kebahagiaan hidup. Seperti halnya bertahun-tahun rela menahan diri untuk menabung dan memperkaya diri. Namun, ketika tua kondisi fisik malah sudah tidak mumpuni untuk menikmati kenikmatan dan kekayaan yang sebelumnya sudah ditabung.
Sebaliknya, jika meraup kesenangan secara terus menerus terutama kesenangan yang bersifat materialis akan menimbulkan ketidaknikmatan di kemudian hari. Analogi yang mudah dicerna seperti, seseorang yang terbiasa hidup mewah, memakai barang branded, dan makan di tempat mahal, akan tertimpa kesedihan yang berarti ketika terdesak dengan keadaan yang mengharuskan mereka hidup di bawah standar kesenangan mereka.
Sementara itu, orang-orang yang sederhana tidak akan bermasalah jika hidup mereka ditempatkan di bawah s tandar kebahagiaan kebanyakan orang, sebab mereka memiliki standar kebahagiaan sendiri. Dan ketika mereka mendapat kesenangan yang lebih tinggi mereka akan memperoleh kenikmatan dengan level yang lebih tinggi. Pernyataan bahwa kesenangan adalah satu-satunya tujuan hidup manusia di bumi tidak banyak ditolak jika dimaknai secara mendalam dan bijaksana. Namun, kesenangan sebagai tujuan hidup dirasa kurang memiliki nilai lebih.
Kesenangan lebih tepat jika diletakkan sebagai daya dorong manusia untuk tetap bersemangat melanjutkan hidup. Dan tujuan hidup “yang baik” versi Socrates memiliki kedudukan yang lebih sesuai jika dibandingkan dengan “kesenangan” karena kesenangan belum tentu baik. Manusia saat ini pun tumbuh di zaman serba modern, serba ada, dan instan sehingga menjadikan mereka cenderung tidak tahan dengan penekanan-penekanan hawa nafsu, terlebih lagi jika berjalan dalam rentang waktu yang lebih lama. Saat ini yang dibutuhkan adalah keseimbangan hidup antara kesenangan dan pengendalian diri. Tidak semua bentuk kesenangan harus dipenuhi. Segala kesenangan yang berlebihan termasuk terlalu konsumtif dan foya-foya juga tidak baik bagi diri. Menurut beberapa literatur psikologi, tuntutan kemewahan akan memunculkan stimulus-stimulus berperilaku egois, materialis, ekstravagan, superfisial, dan fomophobia. Sebenarnya jawaban dari fenomena ini berasal dari irisan ketiga teori mengenai hedonisme. “ yang baik” sebagai tujuan hidup, kesenangan sebagai daya dorong mempertahankan hidup, dan pengendalian diri sebagai batasannya.
Menimbang tiga variabel ini, hedonisme tidak selamanya buruk dan bahkan dampak negatif dari hedonisme dapat dikendalikan dengan hedoni- sm itu sendiri. Ada beberapa hal yang dapat dilakukan untuk menjaga keseimbangan hidup, diantaranya adalah:
Pertama, hindari hal-hal yang tidak esensial dan tidak terlalu penting. Jalan hidup boleh rumit tetapi mindset tetap simple.
Kedua, memfokuskan diri Saat ini yang dibutuhkan adalah keseimbangan hidup antara kesenangan dan pengendalian diri. Tidak semua bentuk kesenangan harus dipenuhi. hedonism yang lain yaitu versi Epicurus. Keduanya saling beririsan dan membentuk hedonisme yang dibutuhkan oleh masyarakat saat ini. keduanya menghasilkan keseimbangan satu sama lain. Satu hal lagi yang perlu disoroti adalah pemaknaan “kesenangan” yang lebih baik ditempatkan sebagai faktor pendorong keberlanjutan hidup daripada sebagai tujuan final dari kehidupan duniawi tersebut. Pada kebutuhan yang utama, kebutuhan di luar itu boleh terpenuhi asalkan memprioritaskan kebutuhan utama.
Ketiga, harus memiliki kesadaran bahwa di dalam kehidupan ini tidak ada kesenangan yang abadi. Menganggap kematian sebagai hal yang memberikan ketenangan dalam tanda kutip, mampu memberikan kedamaian tersendiri.
Keempat, Epicurus percaya bahwa hidup bahagia tidak hanya tentang materi tetapi juga mencoba hidup bahagia dan sederhana bersama dengan teman-teman. Menghadapi banyak masalah bersama teman akan membuat kita banyak menertawai banyak kejadian, baik positif maupun negatif.
Kelima, Kebahagiaan dan kesenangan adalah mindset, bukan masalah uang apalagi barang. Pada setiap aliran hedonisme memiliki sisi negatif dan sisi positif masing-masing. Hedonisme saat ini lebih dekat pada pengertian hedonisme menurut Aristippus yang juga tidak dapat terhindar dari sisi negatifnya. Tapi ternyata, sisi negatif Aristippus dapat dikendalikan melalui aliran.
Tulisan ini pernah tayang di bultein Ushuliyyah edisi 31 dalam rubrik Opini.