Musibah yang terjadi adalah tanda kerapuhan manusia menjalin keharmoniannya dengan alam. Kebakaran Los Angeles pada 7 Januari 2025 kemarin hingga kini, adalah peringatan yang datang dari alam itu sendiri—sebuah isyarat bahwa keseimbangan yang selama ini diabaikan, kini menuntut perhatian. Adanya hujan deras sebelumnya, tumbuhlah pepohonan rimbun yang menghijaukan lanskap kota. Namun, kekeringan datang, dan kehijauan itu berubah menjadi bara, menyulut api yang melahap 60 mil persegi tanah kota.
Kebakaran ini bukan sekadar fenomena alam. Ia adalah pesan dari bumi, sebuah protes sunyi yang tampak tanpa dijelaskan oleh kata-kata. Keseimbangan alam, seperti yang diajarkan oleh Lao Tzu (seorang fisuf tiongkok kuno), adalah fondasi dari kehidupan itu sendiri. Dalam pandangan Tao, manusia seharusnya tunduk pada hukum-hukum alam, berjalan seiring dengan arusnya, bukan melawannya. Lao Tzu menyebut bahwa harmoni hanya dapat dicapai jika manusia mengikuti Tao, prinsip universal yang tak terlihat tetapi mengatur seluruh kosmos. Ketika manusia melawan Tao—seperti memaksa tanah yang subur menjadi kering dengan eksploitasi berlebihan—alam memberikan balasannya.
Ironisnya, di belahan dunia lain, netizen Indonesia malah menyambut bencana itu dengan sorak yang tak pantas. Di media sosial, hujatan menggema, dibalut dalih religius yang dangkal. Mereka menyebut bencana sebagai hukuman Tuhan bagi negara yang “berdosa,” seolah bencana adalah panggung pembuktian moralitas mereka. Empati terhadap sesama manusia kian menipis, bahkan untuk tragedi yang jelas-jelas menyangkut kehidupan ribuan orang.
Istilah deep ecology yang dipopulerkan oleh Arne Naess filsuf ekologi asal Norwegia, menekankan bahwa manusia tidak berdiri di atas alam, melainkan sejajar dengan semua elemen kehidupan. Dalam pandangan Naess, pohon, sungai, dan hewan memiliki nilai intrinsik yang tidak tergantikan. Ketika manusia merendahkan alam menjadi sekadar sumber daya yang dieksploitasi, maka ia telah memutus jaringan kehidupan yang saling terhubung. Sayangnya, inilah yang terjadi di Indonesia.
Di tengah ancaman nyata pemanasan global, pemerintah kita, bukannya melindungi alam, malah semakin giat menebang hutan demi perkebunan sawit. Prabowo Subianto, presiden negeri ini, mencoba menenangkan publik dengan retorika deduktifnya mengatakan: “Tidak perlu khawatir, sawit adalah pohon yang menyerap karbon dioksida.” Namun, argumen ini pembaca bisa membuktikan kesalahannya. Mengganti hutan hujan tropis—yang kaya akan keanekaragaman hayati—dengan monokultur kelapa sawit bukan hanya merusak lingkungan, tetapi juga melanggar prinsip-prinsip deep ecology. Keanekaragaman adalah inti dari ekosistem yang sehat, dan ketika itu dihancurkan, keseimbangan pun runtuh.
Lao Tzu dalam filsafat Tao mengajarkan bahwa “ketika manusia melampaui batas, alam akan memperbaiki dirinya dengan cara yang sering kali kita sebut sebagai bencana.” Pesan ini relevan dengan situasi hari ini. Kebakaran, banjir, dan badai bukan sekadar fenomena alam, melainkan panggilan bagi manusia untuk kembali ke jalan harmoni. Namun, sayangnya, kita lebih sering melihat ini sebagai peringatan yang tidak dihiraukan.
Bagi Naess, memahami ekologi secara mendalam bukan hanya soal mengatasi krisis lingkungan, tetapi juga soal mengubah cara manusia memandang dirinya sendiri. Ketika manusia melihat dirinya bukan sebagai penguasa, tetapi sebagai bagian kecil dari jaringan kehidupan yang besar, ia akan belajar untuk hidup dengan rendah hati. Dalam konteks ini, kebakaran Los Angeles adalah panggilan bagi dunia, termasuk Indonesia, untuk merefleksikan hubungan kita dengan alam.
Namun, apakah kita siap untuk mendengar? Di Indonesia, kebijakan deforestasi terus berjalan dengan kecepatan yang mengkhawatirkan. Para pemimpin kita memberikan argumen-argumen yang tampak seolah rasional, tetapi sesungguhnya hanya membenarkan penghancuran lingkungan. Sawit, meski menyerap karbon, tidak bisa menggantikan keanekaragaman hutan tropis. Dalam jangka panjang, tindakan ini tidak hanya merusak alam tetapi juga memperburuk ketidakseimbangan yang ada.
Masa depan kita bergantung pada seberapa baik kita memahami pesan alam ini. Kehidupan yang harmonis bukanlah tentang mengendalikan alam, tetapi menyelaraskan diri dengannya. Tanpa itu, kita hanya menunggu waktu untuk semuanya menjadi abu—bukan hanya kota, tetapi juga moralitas, identitas, dan manusia siap “Menuju Kepunahan.”