29 C
Yogyakarta
Sunday, June 1, 2025
spot_img

Pendidikan Progresif dalam Pemikiran John Dewey

“Pendidikan bukanlah persiapan untuk hidup, akan tetapi pendidikan adalah kehidupan itu sendiri.”

~John Dewey~

Pendidikan merupakan sesuatu yang krusial dalam kehidupan. Seperti dikutip di atas, makna dari pernyataan John Dewey dapat dianalogikan bahwa pendidikan seperti napas: bukan sekadar kebutuhan primer, sekunder, maupun tersier, melainkan hakikat dari kebutuhan itu sendiri.

Dalam menjalankan pendidikan, diperlukan sistem yang membina peserta didik untuk mencapai suatu tujuan. Maka dari itu, sistem tersebut memerlukan acuan dan landasan sebagai bentuk tanggung jawab dalam pelaksanaannya.

Pendidikan adalah kekuatan yang dapat menghancurkan kebiasaan lama dan membangun kebiasaan baru yang lebih baik. Pendidikan tidak semata-mata merupakan proses transfer ilmu dari pendidik kepada peserta didik. Lebih jauh, pendidikan diharapkan mampu mengarahkan peserta didik untuk mengimplementasikan teori dalam perilaku dan tindakan yang bermanfaat.

Pandangan tersebut dikenal sebagai pragmatisme dalam kajian filsafat, yang mendorong penerapan metodologi progresivisme untuk mencapai kemajuan pendidikan yang praktis dan bermakna.

Progresivisme adalah gerakan dalam metodologi pendidikan yang berusaha mengadopsi pengaruh positif dari ilmu pengetahuan dan teknologi. Gerakan ini dipelopori oleh John Dewey pada abad ke-19 hingga awal abad ke-20. Ia adalah filsuf asal Amerika Serikat yang dikenal sebagai kritikus sosial pendidikan dan peletak dasar psikologi pendidikan modern.

Biografi Singkat John Dewey

John Dewey lahir di Burlington pada tahun 1859 dan menempuh pendidikan di Baltimore. Semasa hidupnya, ia menjadi profesor filsafat dan pendidikan di berbagai universitas. Ia menghasilkan lebih dari 40 buku dan sekitar 700 artikel, yang memberi pengaruh besar terhadap pemikiran tentang penerapan psikologi dalam kehidupan praktis.

Sebagai filsuf pragmatis, Dewey meyakini bahwa kebenaran suatu gagasan ditentukan oleh manfaat dan hasilnya dalam pengalaman. Ia sempat menjadi guru selama dua tahun setelah mendapatkan ijazah kandidat pada tahun 1879. Setelah itu, ia kembali menempuh pendidikan dan meraih gelar doktor dalam bidang filsafat pada tahun 1884, lalu mengajar di Universitas Michigan pada tahun 1884-1889.

Konsep Progresivisme John Dewey dalam Pendidikan

Istilah progresivisme berasal dari kata progresif yang berarti “bergerak maju”, dan progressisme, yakni “gerakan perubahan menuju perbaikan”. Dengan demikian, progresivisme adalah filsafat pendidikan yang mendukung kemajuan dan transformasi cepat, serta meyakini bahwa manusia memiliki kemampuan menyelesaikan masalah secara mandiri.

Aliran ini berupaya menyalurkan manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi sejak awal proses pendidikan. Dalam praktiknya, progresivisme menekankan pengalaman belajar langsung, peningkatan kemampuan kognitif, dan kebermanfaatan praktis. Pemikiran ini berimplikasi besar terhadap pengembangan potensi peserta didik secara holistik.

Filsafat progresivisme John Dewey menekankan bahwa pelajar harus belajar dari pengalaman hidupnya sendiri, dan pembelajaran harus relevan dengan kehidupan sehari-hari. Teori yang tidak dihubungkan dengan praktik hanya akan membuat pelajar kebingungan dalam menentukan arah dan tujuan hidup.

Melalui filsafat pragmatisme yang dikolaborasikan dengan metodologi progresivisme, Dewey ingin melahirkan pelajar yang independen, berdaya pikir, dan mampu mengaplikasikan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam kehidupan nyata bukan sekadar terjebak pada teori.

Peran Guru dalam Pendidikan Progresivisme

Lalu, bagaimana posisi guru dalam pandangan ini?

Menurut John Dewey, guru adalah Utusan Tuhan yang sebenarnya dan pengantar ke kerajaan Tuhan yang sejati. Guru bukanlah pemberi tugas semata, melainkan pembimbing dan penolong yang memahami kebutuhan serta kapasitas peserta didik, lalu menuntunnya secara tepat.

Guru dalam pandangan progresivisme adalah fasilitator, bukan pemilik otoritas mutlak. Ia harus mampu menyesuaikan pembelajaran dengan kebutuhan individu, mengaitkan materi dengan kehidupan nyata, serta mendorong kolaborasi dan diskusi. Dengan demikian, tercipta lingkungan belajar yang produktif dan inovatif.

Dewey menolak keras pendekatan guru yang mendikte murid. Seorang guru seharusnya membangun ruang belajar yang mendorong peserta didik untuk berpikir dan mengeksplorasi. Guru tidak boleh merasa bahwa pandangannya adalah satu-satunya kebenaran, melainkan harus terbuka terhadap perkembangan dan kemungkinan baru.

Dapat disimpulkan bahwa sistem memiliki peranan penting dalam membentuk dan membatasi arah pendidikan, agar tetap berjalan pada jalurnya dan menghasilkan insan yang produktif.

Dalam konteks negara demokratis seperti Indonesia, menjadi penting untuk memilih mazhab pendidikan yang tepat. Sistem pendidikan tidak boleh hanya mengikuti pola kurikulum dagang warisan budaya feodal, atau sekadar tunduk pada tawaran oligarki penguasa.

Kritik terhadap Realita Pendidikan di Indonesia

Dalam kritikan John Dewey, ia tidak setuju dengan guru yang mendikte, sebab sebagai fasilitator harus menyediakan tempat belajar dan mengajak pelajar untuk berfikir. Sangat penting bahwa seorang guru tidak pernah mengatakan bahwa pandangannya merupakan kebenaran tunggal, selalu terbuka kemungkinan terhadap pekembangan baru. Seorang guru seharusnya tidak mengajukan solusi yang tunggal tanpa argumentasi terhadap satu persoalan, artinya menawarkan jawaban tetapi siswa diminta untuk menemukan jawaban-jawaban alternatif.

Sebab yang dirasakan sejauh ini perjalanan akademik di Indonesia sangat kompleks dan rancu, seperti Taman Kanak-Kanak (TK) yang waktunya belajar dengan bersenang-senang di-cekoki hitungan matematika, Sekolah Dasar (SD) yang disuguhi teori tanpa praktik, Sekolah Menengah Pertama (SMP) yang kebingungan perhitungan karena perhitungan dilahap ketika kanak-kanak, Sekolah Menengah Atas (SMA) yang belum mengenal berfikir filosofis karena filsafat dianggap sesat, dan pada ranah Universitas pelajar Indonesia banyak kebingungan menentukan pilihan dan tujuan.

Melalui pemikiran John Dewey tentang progresivisme dan pragmatisme, kita diingatkan bahwa pendidikan bukan sekadar kumpulan teori dan hafalan. Pendidikan adalah kehidupan itu sendiri proses aktif, dinamis, dan berpusat pada peserta didik.

Pendidikan yang ideal adalah pendidikan yang membebaskan, membangun nalar kritis, serta relevan dengan kebutuhan zaman. Sudah saatnya Indonesia meninjau ulang fondasi pendidikannya dan mulai bergerak menuju sistem yang lebih humanis, kontekstual, dan berorientasi pada pengalaman hidup.

Related Articles

Stay Connected

- Advertisement -spot_img

Artikel Terbaru