Menguasai komunikasi massa merupakan salah satu kunci utama dalam memenangkan pilpres 2024. Media sosial saat ini sudah menjadi wadah candu bagi para konsumen dalam menatar setiap informasi yang hangat.
Persoalan yang beredar dari setiap komponen masyarakat saat ini tidak lepas dari Indonesia masuk dalam kategori negara dengan penikmat media sosial terbesar di dunia. Mudahnya akses media sosial dalam menjangkit setiap mata penikmatnya. Bagaimana tidak? Selama setiap orang dari penjuru dunia masih mempunyai internet, maka ribuan informasi dari berbagai penjuru dunia akan sangat mudah untuk diakses, termasuk masyarakat Indonesia yang memiliki jumlah penduduk terbanyak keempat di dunia.
Indonesia masuk dalam kategori negara dengan penikmat media sosial terbesar di dunia. Fakta tersebut menjadi kesempatan bagi setiap kalangan untuk bertukar informasi ataupun meraih keuntungan mulai dengan berbisnis hingga kepentingan kampanye politik. Kampanye merupakan sebuah bentuk marketing yang kerap kali digunakan oleh para pejabat atau elite politik yang menjadi kandidat pada suatu pemilihan umum. Fokus dari kampanye ini sebatas meningkatkan elektabilitas ketika dipilih dalam menjalankan setiap perencanaan dan pengendalian ke depan.
Anwar Arifin menyatakan bahwa kampanye adalah bentuk komunikasi yang dilakukan seseorang atau sekelompok orang atau organisasi politik dalam kurun waktu tertentu untuk memperoleh dukungan dari masyarakat. Kampanye dengan media sosial pertamakali dilakukan oleh Barrack Obama pada pemilihan umum 2008 dengan menggunakan situs web pada saat itu.
Hal ini membuktikan bahwa media sosial sebagai alat kampanye memiliki dampak yang cukup signifikan. Dimana kampanye tersebut membantunya dalam memenangkan pemilihan calon presiden Amerika Serikat. Sebenarnya kampanye memiliki berbagai macam warna dan bentuk. Seperti berdialog langsung dengan masyarakat, memakai spanduk, memasang poster di jalan, dan lain sebagainya.
Namun hal itu semakin kalah eksistensinya dengan meningkatnya penggunaan media sosial. D mana cukup banyak dari para elit politik yang memiliki ribuan followers di Instagram, Twitter, Tiktok, dan lain sebagainya. Dengan hal itu, para lawan yang tidak memiliki cara bersaing yang sama dalam berkampanye, akan mudah dikalahkan.
Hanya ketika menemukan momentum saja, bisa menjadi tren yang hangat hingga dapat mencuri hati para penikmat dunia maya. Berbagai macam elit politik banyak yang melakukan kampanye di media sosial dengan dalih untuk meraih suara atau dukungan dari masyarakat baik itu saat pemilihan umum legislatif, pemilu calon presiden, maupun pemilihan umum kepala daerah.
Hal tersebut sangat mudah dilakukan, karena sifatnya fleksibel bisa dilakukan oleh berbagai pihak, bisa dari organisasi, tim sukses, atau dari pejabat itu sendiri. Mereka membaca wacana tersebut dengan melihat realitas yang ada, di mana banyak sekali masyarakat Indonesia yang aktif dalam menggunakan media sosial. Sehingga para elit politik ini akan lebih mudah menyebarkan berbagai prestasi dan bahkan menyebarkan isu-isu panas dari lawannya.
Selain mendapatkan dukungan dari masyarakat yang terkontaminasi dengan kampanyenya, hal itu juga dapat meracuni fakta kandidat lawan bersaingnya. Acuan kestabilan dari nama setiap kandidat yang di duga akan menjadi calon dari partai politik tertentu semakin ramai.
Akhir-akhir ini beberapa elit politik telah mengembara di media sosial. Ia akan berbicara mengenai kesejahteraan dan wacana yang ditargetkan ke depannya. Hal ini bisa menjadi momok yang menakutkan.
Pasalnya, beberapa hari lalu sudah ditetapkan elit politik yang sama dengan seorang pengembara media sosial tersebut. Eksistensinya pada mata masyarakat membuat nama panggung yang dimiliki semakin meningkat pesat. Apalagi parpol yang mengusungnya adalah pemenang dari pemilu-pemilu sebelumnya.
Ini adalah pekerjaan yang besar bagi Bawaslu dalam menyikapi hal ini. Bisa dibilang itu adalah fakta yang pantas untuk dipertunjukkan. Namun setidaknya ada beberapa komponen yang perlu digarisbawahi, dengan maraknya hal tersebut akankah mata dari masyarakat akan terpacu pada berbagai informasi atau hanya satu informasi dari kubu tersebut?.
Banyak wacana akan terjadi ke depannya, mengenai setiap parpol yang mencoba berkoalisi dan memperkuat kubu mereka. Masyarakat akan menilai dari kacamata mereka masing-masing, namun racun yang disebar bisa meruntuhkan atau menumbuhkan setiap fakta yang terdata dari setiap calon yang terpilih.
Asrinaldi dalam The Conversation menyatakan bahwa KPU dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sudah menetapkan tanggal pasti terkait pelaksanaan kampanye secara fisik yakni pada 28 November 2023. Namun, tidak bisa dipungkiri bahwa materialistis dari kampanye sudah dimulai pada purnama- purnama yang lalu.
Lewat media sosial bentuk dari kampanye sudah mulai dilakukan oleh para elit politik dengan mengunggulkan kinerja yang dilakukan dari para kandidat yang di duga akan maju sebagai calon presiden. Bahkan lebih dari itu, banyak dari politisi yang menggunakannya sebagai sarana komunikasi langsung dengan masyarakat.
Dengan demikian, pertempuran sebenarnya sudah mulai dilakukan dengan skala kecil dan halus. Cara ini di bilang sangat ampuh dengan adanya peraturan baru mengenai batasan ruang gerak dari para kandidat, Dengan jatuh harinya kampanye yang hanya berkisar 75 hari. Selain hemat uang, kampanye secara konvensional juga membutuhkan tenaga dan persiapan yang kuat.
Dengan target pasar yang dijatuhkan kepada kaum muda hal ini sangat efisien, karena untuk saat ini masyarakat Indonesia khususnya remaja lebih banyak menggunakan handphone daripada televisi untuk menggaet informasi atau hiburan. Maka, mata dari para konsumen akan luluh lantah dengan belaian rayuan kinerja bagus dan janji-janji mereka.
Sesi kampanye belum dimulai namun tensi dialog dan perbincangan panas mengenai para capres sudah mulai menyeruak dari masing-masing kubu. Hal ini harusnya dipertegas oleh pihak KPU dengan menambal atau mengurusi sebagian besar problem penyalahgunaan media sosial sebagai senjata untuk marketing.
Irfan Amin pada minggu, 16 April 2023, menyatakan ada beberapa faktor yang menjadi sebab lemahnya pengawasan pada kampanye media sosial. Antara lain, kampanye media sosial masih belum diatur secara jelas dan spesifik, kedua disintegrasi antara KPU dan Badan Pengawas Pemilu (BAWASLU), ketiga bentuk dan mekanisme pemberian sanksi administratif terhadap pelanggaran di media sosial yang masih belum memadai.
Hal ini membuktikan adanya teknis mengenai kampanye di media sosial yang masih renggang aturan. Sebelum masuk pada tahapan kampanye mendatang harusnya hal demikian perlu ditekankan oleh KPU dan BAWASLU dalam menyikapi kampanye di media sosial ini, dengan memberikan spesifikasi dan aturan yang jelas mengenai kampanye di media sosial.
Karena dalam menguak fakta dari setiap video yang muncul masyarakat masih belum bisa menyikapi hal itu dengan cermat, adakalanya hal-hal yang positif membuat masyarakat lebih terfokus pada satu informasi tersebut. Adakalanya juga informasi negatif membuat masyarakat mencela hal tersebut.
Dalam Tantrum.id pada 17, April 2023 oleh ARR Vaujie M menyatakan “hasil riset yang dilakukan oleh TII yang menanggapi soal kurang efisiennya pengawasan Bawaslu mengenai kinerja kampanye dalam media sosial” riset tersebut ditanggapi oleh salah satu anggota BAWASLU yakni Puadi. Menurut dia, hasil penelitian itu bisa menjadi masukan yang tepat bagi BAWASLU dalam persiapan pengawasan kampanye pilpres 2024 mendatang. Hal ini seharusnya menjadi poin penting bagi KPU dan BAWASLU akan maraknya hoaks di media sosial yang sangat ramai.
Melakukan edukasi secara masif kepada masyarakat merupakan salah satu kunci untuk membuka kecermatan masyarakat. Dan pendekatan terhadap pemilu ini harus dilakukan secara persuasif dan efek pidana yang dilontarkan seminimal mungkin. Agaknya masyarakat juga harus semakin cermat dalam menyikapi berbagai isu saat ini. Semua hal yang berbau wacana dan rancangan sifatnya subjektif, antara nanti yang terpilih melakukan kinerjanya atau memberi harapan palsu. Selama masih dalam tahapan wacana jangan terlalu terprovokasi oleh hal yang sifatnya subjektif dan personal.
Dalam budaya masyarakat yang semakin praktis ini menjadi acuan pembenahan dari masing-masing kelompok. Entah itu dari para anggora parpol, calon kandidat, tim sukses, KPU, BAWASLU,dan masyarakat. Seharusnya ini menjadi refleksi besar-besaran, yang atas merasa rendah karena yang rendah menjadi atasannya, yang rendah menjadi atas tapi mempunyai sikap menghargai satu sama lain. Itu merupakan bentuk kepedulian dari masing-masing elemen dalam praktik spiritual sosial.