28.5 C
Yogyakarta
Saturday, August 2, 2025
spot_img

Presentasi ala “Maha”siswa: baca skrip di HP…

Dalam rutinitas kampus, mahasiswa melakukan presentasi mata kuliah dan diakhiri dengan diskusi merupakan kegiatan yang mengisi ruang kosong di kepala dengan ilmu pengetahuan. Kalau kita hitung total presentasi yang dilakukan dalam rentang waktu satu semester, dengan Sembilan matakuliah sebagai patokannya, maka dalam seminggu kita sudah melaksanakan presentasi sebanyak Sembilan kali. Dan jika dikalkulasikan dalam satu bulan (empat minggu), berarti kita sudah tiga puluh enam kali melakukan presentasi dan jika ditambah sampai satu semester (ambilah lima bulanan), maka sudah seratus delapan puluh kali dalam satu semester kita habis kan untuk berpresentasi didalam kelas baik yang menjadi presenter maupun audiens, itu pun belum termasuk untuk mahasiswa yang aktif diskusi luar kampus, contohnya yang berproses di suatu organisasi belum lagi dengan buaanyyaak-nya kegiatan seperti bedah buku, seminar, workshop dan yang lainnya. Gak kebayang seberapa sering kita bertukar pikiran dengan banyak orang.

Cuma sayangnya, terbiasanya kegiatan tersebut bukannya membuat mahasiswa mahir dan handal dalam menyampaikan gagasannya dihadapan umum bahkan didepan teman-temannya sekalipun. Justru mereka hanya menuntaskan tugas presentasi dengan teks yang mereka baca sendiri lewat HP dengan slide presentasi yang sudah seperti semut-semut kecil berbaris karena saking banyaknya tulisan-tulisan di ppt.

Dan begitu diskusi yang setengah hati itu ditutup dengan pertanyaan “cukup sekian dari kami, adakah dari temen-temen yang mau bertanya?” seisi kelas akan senyap dan kalau ada yang mau bertanya itu pun menunggu orang pertama yang mau mengajukan pertanyaan (apakah ini yang namanya mahasiswa?). Presenter yang kebingungan dan planga-plongo mencari teman sekelasnya untuk mencairkan suasana. Sebuah potret mahasiswa era kini yang kurang percaya diri untuk berani memulai ini hanyalah  menumpulkan sprit mandiri berargumentasi dan keberanian mengutarakan pendapatnya.

Terlebih dengan seringnya kata “mungkin” yang mengambarkan kekurang pedeannya dengan pendapat sendiri, seperti “mungkin menurut dia”, “mungkin sepamahanaku”, “mungkin begini dan begitu” “mungkin, mungkin, mungkin, dan mungkin” segala kalimat mungkin lainnya yang memperlihatkan tidak adanya pengunann pendirian saat menjawab pertanyaan audiens (yang presenter tunggu-tunggu sendiri). Kalau kita tidak menjadikan presentasi sebagai wadah meng-upgrade diri, maka imbasnya kita selamanya menjadi orang yang gak takut berbicara. Dan menunggu teman yang “sering nanya” mengambil alih. Memangnya orang yang gak percaya diri bakal didengar oleh orang banyak?. Apa yang bisa diharapkan dari mereka yang tidak percaya dengan dirinya sendiri?. Presentasi yang tidak memantik pikiran, memanas-manaskan kepala, takkan bisa menghidupkan kelas.

Inilah yang namakan dengan Silent Quitting, Istilah silent quitting awalnya muncul dalam dunia kerja, khususnya diperkantoran, yang merujuk pada karyawan yang hanya bekerja sesuai dengan apa yang diminta untuk dikerjakan saja tanpa antusias menunjukkan performa yang terbaik. Istilah ini kemudian terjadi juga dalam dunia akademik, potret mahasiswa yang hadir dalam perkuliahan namun bersikap pasif (“yang penting kelar”) saat mengemban tanggung jawab akademisnya. Model seseorang yang seperti ini sesuai dengan ungkapan dalam pepatah arab, wujuduhu ka ‘adamihi kehadirannya sama dengan ketiadaannya. Alias, mereka berkontribusi secara pasif.

Pola pikir praktis-teknis yang tidak membawa tujuan jangka panjang ini hanya akan berakhir dengan menumpuk pengalaman tak terpakai dan tidak bisa dibanggakan. Setiap hari dilalui tanpa keterlibatan aktif dari dalam diri mustahil sampai ke tempat tujuan yang diidam-idamkan atau memang sedari awal tidak punya cita-cita?. Hari-hari silih berganti, pernahkah kamu merasakannya?. Setidaknya terpintas saja dalam diri kehendak mengubah hari-hari menjadi lebih berwarna. Perlukah uluran tangan nan ajaib datang menghampiri jiwa yang takut keluar dari kemalasan?, jangan harap.

Esok hari hanyalah mengulang hari kemarin, kesempatan itu hanya diselesaikan dengan dalih “formalitas saja itu mah…”, apakah dengan mengikuti formalitas versi terbaik diri akan terlahir?, mungkinkan Elang yang perkasa mengikuti kebiasaan hewan-hewan ternak?, hidup nyaman dan abai kalau Ia akan dimangsa ganas suatu saat nanti, tidak pasti, tapi hewan-hewan ternak itu masa bodo.

Bisa jadi, Tingkat pengangguran di negri ini bukan saja hanya sedikitnya lapangan pekerjaan atau ilmu-ilmu praktis yang berguna untuk kehidupan tidak diajarkan dibangku sekolah. Akan tetapi, siswanya saja yang mau jadi orang siap pakai, tapi tidak mau menjadi pelajar yang mewarnai orang sekitar. Menaungi dan menyinari teman-temannya. Meski mau berulang kali lingkaran diskusi digelar untuk mengkritik habis bobroknya sistem pendidikan negara, tetaplah begitu-begitu saja. Hanya api keberanian yang dapat memunculkan perbaikan yang sadar, mungkinkah para mahasiswa sekarang membiarkan api dalam dirinya itu mengecil dan mengecil oleh alur hidup teknis-formalitas. Sering lupalah kita bahwa perubahan itu hanyalah cangkang dari perbaikan. Perbaikan adalah substansi yang dibawa dalam sebuah perubahan. Pendidikan kita terlalu berfokus untuk membina peserta didik untuk diterima bekerja bukan menanamkan mindset pencipta lapangan pekerjaan. Kalau memang demikian, terus kenapa gak pedean?.

Kegiatan yang “tampak bekerja” hanya diselengarakan oleh pelajar yang tidak punya cita-cita. Pelajar yang tahu “apa” yang ia lakukan dan “bagaimana” cara melakukannya tapi mengabaikan “mengapa” saya melakukannya tidaklah mungkin bisa berkembang substansi dirinya. Jangan pernah berharap apa yang dipresentasikan (berorganisasi, dan berdiskusi diluar kampus pun juga) akan menorehkan perkembangan memuaskan kalau-kalau sebab awal pelaksanannya (alasan presentasi) masih belum diketahui. Seorang pelajar jangan pernah berharap presentasinya akan direspon dengan pertanyaan yang haus akan pencerahan dan ilmu pengetahuan, kalau saja yang dipresentasikan itu tidak memantik api yang ada dikepala para audiens, Socrates pernah berkata “The mind is not a vessel to be filled but a fire to be kindled” “Pikiran bukanlah bejana yang harus diisi, tapi api yang harus dinyalakan.”

Related Articles

Stay Connected

- Advertisement -spot_img

Artikel Terbaru