Bulan Ramadan merupakan bulan yang dikategorikan sebagai bulan penuh keutamaan dan keberkahan, karena Allah SWT, memberi ‘diskon’ di setiap dosa yang kita perbuat dari setahun silam. Allah SWT juga melipatgandakan setiap perbuatan yang berindikasi baik. Kalau kita tahu bahwa ibadah yang paling menonjol di bulan Ramadhan merupakan puasa, itu salah. Karena Ibadah di bulan Ramadan yang mendapatkan keutamaan bukan hanya puasa tapi masih banyak ibadah-ibadah yang lain.
Keberkahan di sini antara bersifat abstrak dan juga bersifat realitas. Jika di lihat dari beberapa hadis Nabi SAW, seperti hadis yang ada di kitab Durrotun Nasihin, karya Imam Usman bin Hasan bin Ahmad al Syakiri al Hubuwi. mengenai “Sahabat mengharapkan setiap hari diganti dengan Bulan Ramadan” disandarkan pada sahabat Abu Abbas. Jika kita melihat hadis tersebut, bentuk pengharapan dari para sahabat yang membedakan antara legalitas keutamaan pada hari biasa dengan bulan Ramadan nampak terlampau sangat berbeda.
Meskipun sifat yang dihadirkan oleh hadis tersebut antara memang sahabat ingin menguji kredibilitas dari bulan Ramadan, atau memang benar-benar mengharapkan bulan Ramadan kembali datang. Tapi di sisi lain terdapat Hadis Qudsi yang berbicara tentang keutamaan mengenai ibadah yang hanya Tuhan yang tahu mengenai imbalannya, yaitu hanya puasa. Kalau ibadah yang lain masih bersangkut paut dengan ilham yang diberikan kepada Muhammad SAW, berbeda dengan puasa yang notabenya imbalan dari ibadah ini masih belum diketahui secara kalkulasi.
Kembali pada fitrah, fitrah merupakan sebuah kata yang sangat sentral di kalangan umat Islam. Kalau kita bedah kata fitrah ini, maka kita akan temukan setitik sinar jawaban dari beberapa problem yang meng- hambat kita dalam beribadah. Identifikasi bulan Ramadhan dengan kata fitrah sudah menjadi stempel sejak zaman Nabi, korelasi dari keduanya sangat harmonis bila mana Ramadan tiba, maka stempel fitrah akan mengikuti alur setiap harinya misal; Zakat Fitrah, Amalan al Fitrah, dan Adabun al Fitrah.
Kalau kita melihat atau berkaca pada sebuah realita yang kita alami saat masih kecil. Kita dulu akan merasakan bahwa di saat puasa tubuh dan perasaan kita akan terasa nyaman, lantunan suara adzan yang bergema dimana-mana saling bersahutan membuat hati terasa syahdu. Berbanding balik pada saat ini, dimana semakin lama kita berpu- asa ingin rasanya kita mem-batalkan- nya. Nah, itu merupakan segi dimana respon tubuh kita yang dulunya belum begitu aktif menerima sesuatu dari luar, sekarang sudah bisa menerima atau bahkan menolak. Hal ini tidak terlepas dari kontruksi sosial yang kita hadapi. Dimana banyak orang pada saat ini yang tergenerali- sasi oleh sosial media.
Kemunduran ini juga menjadi bahan pertimbangan bagi kurangnya literasi Islam yang eggan mengem- bangkan tulisan mengenai kajian Ramadhan atau keislaman, hanya pada sub-sub atau kepentingan tertentu baru muncul banyak sekali tulisan-tulisan mengenai keagamaan. Seperti yang terjadi pada ranah politik pasca Gus Dur (Abdurrahman Wahid) lengser, dimana terdapat percekcokan mengenai pengganti dari Gus Dur. Di satu sisi ada kelom- pok yang mencemooh lawannya menggunakan hadis “Jangan jadikan wanita sebagai pemimpin”. Di sisi yang satunya membalas dengan hadis “Jangan dekati pohon beringin”. Ini merupakan hal yang tidak perlu dibenarkan, disamping kajian Hadis yang di salahgunakan adapun mengenai semangat membangun pemahaman keislaman ke sesama lain masih sempit.
Hal ini memang sudah menjadi budaya Islam dalam fakta sejarah yang tercatat dimana setiap aliran atau lembaga memiliki arogansi untuk kepentingan mereka sendiri. Perseturuan tersebut menjadikan banyaknya aliran-aliran yang terbentuk di dunia Islam. Dalam masalah ijtihad memang mereka memiliki pemahaman tersendiri, banyaknya pandangan yang terjadi menimbulkan pemetakan setiap golongan sangat nampak sampai saat ini.
Kita tahu bahwa lembaga yang ada di Indonesia mempunya ijtihad masing-masing dalam menentukan tanggal hijriyah. Organisasi Muhammadiyah menggunakan metode hisab dalam menentukan, sedangkan Nahdhatul Ulama menggunakan Ru’yatul Hilal. Ini merupakan salah satu bukti contoh dimana adanya pemetakan yang terjadi dalam Islam mengenai ijtihad syari’at agama. Namun, itu semua, merupakan salah satu bentuk pemahaman dari masing-masing lembaga dalam melakukan kajian keagamaan, yang mana tidak semua ilmu yang dipahami masing-masing lembaga tersebut sama.
Perihal mengenai setiap organi- sasi yang memiliki perbedaan merupakan jalan dari setiap lembaga atau organisasi masyarakat mengenai ijtihad yang mereka lakukan tentang penetapan bulan Ramadhan. Akan tetapi, yang perlu diperhatikan untuk saat ini yakni, dimana polarisasi kerap terjadi entah itu antar masyarakat, maupun masyarakat dengan penegak hukum. Hal ini bisa dikatakan merupakan meredupnya makna dari ramadhan selain problem di atas.
Mengetahui akan hal ini patutnya kita mampu mengontrol diri kita dalam menelan setiap perbedaan yang terjadi. Di dalam kehidupan, perbedaan merupakan sebuah warna yang mampu melukiskan cantik parasnya dunia. Kalau kita melihat bulan Ramadhan identik dengan ibadahnya umat Islam yakni puasa. Itu tentu tidak, karena puasa bukan merupakan ibadah mutlak dari umat Islam sendiri namun ada agama lain yang melakukannya juga. Banyak dari agama lain yang melakukan puasa pada perayaan tertentu, meskipun kalau di negara tercinta ini puasa mereka tidak seidentik dengan pua- sanya orang Islam.
Sama dalam bentuk perbuatan namun tidak dengan keyakinan, ini merupakan sebuah bentuk kesatuan. perbedaan yang kita anggap general tapi ada titik balik tentang kesamaan yang sifatnya khusus. Tamparan dahsyat bagi kita untuk harus tetap kokoh berdiri di tengah perbedaan tersebut, kemunduran semakin berlangsung jika masing-masing dari setiap individu mempunyai rasa arogansi. Kesadaran sekecil apapun jika dilihat dari aspek yang luas maka akan terasa hikmahnya.