25.4 C
Yogyakarta
Monday, December 23, 2024
spot_img

Rekrutmen, Pengaderan, dan Janji Palsu

Sudah terhitung 2 tahun lebih saya berkecimpung dalam organisasi yang “merasa besar” bernama Himpunan Mahasiswa Islam dan saya agaknya adalah salah satu dari sekian orang yang termakan “janji palsu”. Janji-janji palsu ini biasanya diutarakan ketika oprec (open recruitment kader baru) berlangsung dan akan semakin menjadi-jadi saat pelaksanaan LK I (Latihan Kader I).

Sudah menjadi maklum di kalangan mahasiswa bahwa anak-anak HMI lihai mengolah kata dan bernegosiasi. Dalam bahasa populernya disebut “Lobby-lobby”. Mereka seperti sales atau SPG yang telaten merayu para mahasiswa-khususnya mahasiswa baru-untuk ikut bergabung ke dalam HMI. Tentunya dengan “janji-janji manis” yang ternyata palsu itu.

Janji-janji yang mereka berikan biasanya seperti ini,

“Kamu akan menjadi seorang intelektual muda yang hebat jika masuk HMI!”

“HMI ini adalah organisasi tertua di Indonesia yang akan membentuk kamu menjadi seorang pemimpin yang hebat, cerdas, dan bernafaskan Islam.”

“HMI akan membantu kamu meng-upgrade skill serta minat dan bakatmu. kepenulisan, kejurnalistikan, kewirausahaan, kesenian, olahraga, dan lain sebagainya.”

Atau yang lebih menggelikan,

“Kamu tahu Mahfud MD, Anies Baswedan, Jusuf Kalla dan Akbar Tanjung, mereka itu semua pernah dikader di HMI, dan kamu berkesempatan menjadi orang besar seperti mereka.”

Wow!

Ironisnya, banyak mahasiswa yang tertipu-termasuk saya-dengan rayu bujuk seperti itu.

Kenyataan dan Janji-Janji

Saya dengan berani mengatakan bahwa apa ditawarkan ketika proses rekrutmen hanyalah janji-janji palsu, sebab setelah saya sah menjadi kader aktif di organisasi ini realitasnya sama sekali berbeda. Berbagai janji yang mereka tawarkan tak lain hanyalah program-program kerja kepengurusan yang dijalani dengan setengah hati. Kadang jalan kadang tidak. Kadang semangatnya berapi-api, seringnya mati.

Mengaku intelektual? Bagi saya tidak. kebanyakan kadernya hanya cakap mengutip satu-dua kalimat yang itu-itu saja dari tokoh-tokoh atau buku-buku terkenal, dan mengolahnya dalam retorika yang “mengesankan” di depan mahasiswa. Mereka juga suka berdiskusi-atau lebih tepanya berdebat kusir-tanpa data dan bahan bacaan. Tak hanya itu, banyak kader, terutama dari kalangan mahasiswa akhir jarang masuk kelas dan telat lulus. Katanya Calon Intelektual Muda!

Maklum, di HMI, khususnya di komisariat saya, terlalu banyak calon filsuf bodong yang perbuatannya tak sesuai dengan perkataan. Di kedai kopi berbicara hebat mengenai Keislaman dan Ketuhanan hingga larut malam, tetapi tidak pernah salat. Jika diajak dan diingatkan salat, suka berkelit dengan bilang bahwa ibadah adalah urusan privat. Padahal, faktor satu-satunya adalah malas. Calon pemimpin yang hebat, cerdas, dan bernafaskan Islam katanya.

Selain itu, para pengurus atau kader-kader tua itu sering menjanjikan bahwa para mahasiswa akan diberikan kesempatan untuk mempelajari entrepreneurship. Lembaga HMI yang berfokus pada bidang ini pun sebenarnya sudah ada, yaitu LEMI (Lembaga Ekonomi Mahasiswa Islam). Namun, lucunya HMI sendiri belum memiliki sistem finansial yang mandiri baik dari tataran komisariat, cabang, hingga ke kepengurusan besar. Kepengurusan masihlah bergantung kepada “ketulusan hati” para senior. Maka jangan heran jika banyak “proyek-proyek politik” yang masuk ke organisasi ini.

Yang Dikejar Tak Dapat, Yang Dikandung Berceceran

Poin ini sering saya kritisi dalam berbagai forum atau rapat internal. Kenapa HMI terlalu berambisi untuk mendidik dan melatih kader dalam berbagai macam bidang seperti yang saya sebutkan di atas, alih-alih fokus pada bidang tertentu saja, semisal literasi dan gerakan. Para pengurus-khususnya komisariat dan cabang-perlu paham bahwa mereka tidak hanya tidak sanggup, akan tetapi juga tidak kompeten untuk menindaklanjuti semua itu.

Dalam kacamata saya pribadi, inilah penyebab hilangnya identitas intelektual dan pergerakan  HMI yang sudah lama ditanam, dipupuk, dan dirawat oleh para pendahulu. Bagaimanapun, saya tak menampik kenyataan bahwa ada banyak senior-senior atau para pendahulu HMI yang cemerlang dalam bidang akademik dan “garang” dalam urusan pergerakan.

HMI pada akhirnya berada pada kondisi dilematik. Yang ingin dikejar tidak tergapai, yang telah ada malah  menghilang, sedang yang mengurus letih dan keteteran. Tak sedikit pula yang harus terpaksa dijadikan “tumbal” untuk sekedar mengisi kepengurusan bidang atau lembaga tertentu.

Reformasi Kecil-kecilan

Betapa pun saya kecewa dengan apa yang saya lihat dan alami dalam organisasi ini, saya merasa masih ada sedikit-bisa saja juga banyak-celah untuk melakukan reformasi atau setidaknya pembenahan kecil-kecilan pada HMI. Kita tidak memerlukan perubahan yang drastis dan besar-besaran seperti kudeta-kudeta konyol yang dilakukan oleh senior-senior telat lulus itu.

Yang pasti, di awal kita hanya perlu mengusir keterlibatan  dan pengaruh satu dua atau semua senior yang tak berguna. Sebab saya yakin, segala tradisi buruk tentunya banyak diwariskan oleh mereka. Telinga saya sendiri bahkan sering “gatal” mendengar cerita-cerita heroik artifisial mereka itu di masa lalu. Termasuk benturan-benturan politis dan pukul-memukul yang sering terjadi tiap mendekati masa-masa pergantian kepengurusan.

Selanjutnya, kita hanya perlu meneguhkan sikap independensi dan integritas HMI yang berpihak kepada mahasiswa dan rakyat sesuai apa yang tertera dalam Nilai Dasar Perjuangan. Bukan malah bermesraan dengan para politisi-politisi klimis dan necis itu.

Terakhir, perbanyaklah membaca koran dan buku. Begitu dulu!

Abil Arqam Lubis
Mahasiswa Aqidah dan Filsafat Islam UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Related Articles

Stay Connected

- Advertisement -spot_img

Artikel Terbaru